Tanjakan demi tanjakan sepanjang jalan setapak pun kami lalui disertai dengan hujan gerimis dan jatuhnya senja yang setia menemani. Udara dingin yang menyelimuti seolah tidak terlalu kami hiraukan sama sekali. Hingga pada akhirnya senja pun berganti dengan gelapnya malam yang kini menemani. Kami putuskan untuk mendirikan tenda di pos kedua. Sembari mengistirahatkan badan untuk kemudian melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya. Hangatnya mie rebus, kopi hitam, dan beberapa cemilan seolah semakin melengkapi obrolan hangat dalam pendakian gunung kali ini. Hari pun semakin larut, kami pun mulai terlelap tidur di dalam tenda yang beralaskan sleeping bag yang kami bawa.
Kamis, 31 Januari 2013
Suara gemuruh dan bau belerang yang sedikit menyengat yang berasal dari aktivitas sumur vulkanik pegunungan pun membangunkan saya dari tidur singkat semalam. Udara pegunungan yang segar, suasana hening diselingi dengan kicuan burung liar seolah menyambut pagi saya ketika keluar dari dalam tenda. Sesekali terlihat buurung-burung liar yang berlarian melompat-lompat di atas rerumputan seolah-olah mengajak untuk berkenalan. Selesai mengisi perut dan merapikan tenda, kami pun kembali melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan setapak untuk mencapai puncak.
Perjalanan menuju pos puncak kali ini memakan waktu seharian, dari pagi hingga sore menjelang. Maklum, sebagian dari kami merupakan pendaki pemula, dan waktu pendakian bukanlah target utama. Jalan yang semula cukup datar kemudian berganti dengan jalan setapak yang cukup terjal. Beberapa kali saya harus berhenti untuk mengatur nafas sebelum menaiki jalanan terjal tersebut. Di dalam setiap tempat peristirahatan, saya melihat pemandangan alam yang cantik dengan latar perbukitan yang menjulang. Awan-awan putih yang berjalan perlahan seolah berada di bawah kaki kita. Sayang, saya tak sempat mengabadikan karena terlalu sibuk mengatur nafas yang sedikit tersengal. Langkah demi langkah pun kami lalui hingga pada akhirnya tiba di pos ketiga. Di pos ini pun kami bertemu dengan rombongan pendaki dan tak lupa kami pun bertegur sapa, serasa seperti keluarga.
Selepas pos ketiga kami menemukan sebuah mata air yang sangat jernih. Kami pun berhenti untuk mengambil air yang sudah mulai habis untuk perbekalan selama perjalanan nanti. Jujur, perjalanan menuju pos keempat merupakan perjalanan yang paling berat menurut saya, apalagi jika sudah melalui daerah Pasar Setan, tempat yang konon ketika malam sering terdengar suara kegaduhan. Lokasi Pasar Setan ini berupa jalan setapak kecil yang penuh dengan bebatuan dengan tanjakan-tanjakan yang cukup curam serta diapit oleh jurang di salah satu sisinya. Cuaca di kawasan ini juga cukup labil, kadang cerah, namun tiba-tiba kabut tebal turun seketika. Untuk menghemat waktu beberapa teman saya memilih melewati jalur short cut dengan kemiringan yang cukup curam. Hal ini semakin menguras tenaga kami dalam perjalanan pendakian ini.
Rasa lelah dengan medan yang curam seolah hilang setelah kami melihat sebuah gubug sederhana, gubug yang dijadikan sebagai pos peristirahatan yang diberi nama pos keempat. Di sini kami merasa kegirangan karena menemukan sebuah padang rumput dengan tanah yang cukup lapang. Di bagian ini juga terdapat monumen peringatan pendaki yang menjadi korban dan meregang nyawa di Gunung Lawu ini. Satu hal yang saya petik dari tugu monumen tersebut, kita harus selalu waspada dan berhati-hati selama melakukan pendakian. Dari pos empat perjalanan pun kami lanjutkan menuju Hargo Dalem, sebuah warung makan sederhana sekaligus sebagai tempat peristirahatan para pendaki sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak tertinggi Gunung Lawu ini.
Tak terasa senja pun hampir tiba ketika kami tiba di Hargo Dalem. Sebuah gubug sederhana seolah menyambut kedatangan kami yang ingin segera merebahkan kaki. Ah, akhirnya kami juga di warung makan sederhana miliki Mbok Yem ini. Kami pun segera masuk ke dalam warung untuk meletakkan barang sambil memesan nasi pecel untuk memberi jatah makan perut kami yang semenjak tadi sudah tidak dapat diajak kompromi.
Kamis, 31 Januari 2013
Suara gemuruh dan bau belerang yang sedikit menyengat yang berasal dari aktivitas sumur vulkanik pegunungan pun membangunkan saya dari tidur singkat semalam. Udara pegunungan yang segar, suasana hening diselingi dengan kicuan burung liar seolah menyambut pagi saya ketika keluar dari dalam tenda. Sesekali terlihat buurung-burung liar yang berlarian melompat-lompat di atas rerumputan seolah-olah mengajak untuk berkenalan. Selesai mengisi perut dan merapikan tenda, kami pun kembali melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan setapak untuk mencapai puncak.
Perjalanan menuju pos puncak kali ini memakan waktu seharian, dari pagi hingga sore menjelang. Maklum, sebagian dari kami merupakan pendaki pemula, dan waktu pendakian bukanlah target utama. Jalan yang semula cukup datar kemudian berganti dengan jalan setapak yang cukup terjal. Beberapa kali saya harus berhenti untuk mengatur nafas sebelum menaiki jalanan terjal tersebut. Di dalam setiap tempat peristirahatan, saya melihat pemandangan alam yang cantik dengan latar perbukitan yang menjulang. Awan-awan putih yang berjalan perlahan seolah berada di bawah kaki kita. Sayang, saya tak sempat mengabadikan karena terlalu sibuk mengatur nafas yang sedikit tersengal. Langkah demi langkah pun kami lalui hingga pada akhirnya tiba di pos ketiga. Di pos ini pun kami bertemu dengan rombongan pendaki dan tak lupa kami pun bertegur sapa, serasa seperti keluarga.
Selepas pos ketiga kami menemukan sebuah mata air yang sangat jernih. Kami pun berhenti untuk mengambil air yang sudah mulai habis untuk perbekalan selama perjalanan nanti. Jujur, perjalanan menuju pos keempat merupakan perjalanan yang paling berat menurut saya, apalagi jika sudah melalui daerah Pasar Setan, tempat yang konon ketika malam sering terdengar suara kegaduhan. Lokasi Pasar Setan ini berupa jalan setapak kecil yang penuh dengan bebatuan dengan tanjakan-tanjakan yang cukup curam serta diapit oleh jurang di salah satu sisinya. Cuaca di kawasan ini juga cukup labil, kadang cerah, namun tiba-tiba kabut tebal turun seketika. Untuk menghemat waktu beberapa teman saya memilih melewati jalur short cut dengan kemiringan yang cukup curam. Hal ini semakin menguras tenaga kami dalam perjalanan pendakian ini.
Rasa lelah dengan medan yang curam seolah hilang setelah kami melihat sebuah gubug sederhana, gubug yang dijadikan sebagai pos peristirahatan yang diberi nama pos keempat. Di sini kami merasa kegirangan karena menemukan sebuah padang rumput dengan tanah yang cukup lapang. Di bagian ini juga terdapat monumen peringatan pendaki yang menjadi korban dan meregang nyawa di Gunung Lawu ini. Satu hal yang saya petik dari tugu monumen tersebut, kita harus selalu waspada dan berhati-hati selama melakukan pendakian. Dari pos empat perjalanan pun kami lanjutkan menuju Hargo Dalem, sebuah warung makan sederhana sekaligus sebagai tempat peristirahatan para pendaki sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak tertinggi Gunung Lawu ini.
Tak terasa senja pun hampir tiba ketika kami tiba di Hargo Dalem. Sebuah gubug sederhana seolah menyambut kedatangan kami yang ingin segera merebahkan kaki. Ah, akhirnya kami juga di warung makan sederhana miliki Mbok Yem ini. Kami pun segera masuk ke dalam warung untuk meletakkan barang sambil memesan nasi pecel untuk memberi jatah makan perut kami yang semenjak tadi sudah tidak dapat diajak kompromi.