Awal keberadaan pantai ini sempat gencar dibicarakan di sosial media pada penghujung tahun 2012 yang lalu. Sebuah pantai yang masih sepi karena belum banyak orang yang mengetahui. Pantai Pok Tunggal, sebuah pantai pasir putih khas pesisir selatan Gunung Kidul dengan ikon sebuah tanaman yang mirip seperti tanaman bonsai yang dibentuk sedemikian rupa namun berukuran cukup besar seperti layaknya pohon-pohon yang tumbuh normal.
Jalan menuju Pantai Pok Tunggal memang sedikit berliku dengan jalan setapak bebatuan yang belum dibangun secara permanen. Ah tidak, saya memilih untuk lewat jalur lain, yaitu dengan melalui jalur susur pantai. Kendaraan saya parkirkan di Pantai Pulang Syawal, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Pantai Goa Watu Lawang. Dari pantai tersebut saya lanjut berjalan kaki menyusuri tepian pantai, melewati bongkahan batu karang, hingga akhirnya menuju Pantai Pok Tunggal. Saya tidak menyarankan melewati jalur ini, hanya orang-orang yang sedikit "nekat" saja silahkan melalui jalur tersebut. Medan yang dilalui cukup menguras tenaga dan sedikit menguji mental, karena kita harus melewati jalur bebatuan karang yang cukup terjal dengan hempasan ombak laut selatan yang sesekali mengganas. Jalur ini cocok bagi Anda yang gemar akan sensasi berpetualang di alam bebas.
Selama kurang lebih 30 menit menyusuri tebing dan hempasan ombak, tibalah kita di hamparan pasir Pantai Pok Tunggal, pantai yang dulunya masih relatif sepi, namun sekarang sudah cukup ramai dengan kedatangan wisatawan. Ini bukan kali pertama saya datang ke Pantai Pok Tunggal. Pertama kali saya menyambangi pantai ini sekitar bulan September 2012, ketika sedang mengikuti tes travel writer di salah satu portal pariwisata. Dulu, ketika itu Pantai Pok Tunggal masih terasa sepi, belum terlalu banyak warung-warung yang dibangun seperti sekarang ini. Pengunjung yang datang pun tidak terlalu ramai. Suasananya masih hening, cocok bagi yang sedang ingin menyendiri menikmati keindahan alam yang terhampar di berbagai sisi, mulai dari hamparan pasir pantai hingga bukit-bukit yang menjulang tinggi.
Kedatangan kedua saya sekitar bulan Februari 2013. Sudut barat Pantai Pok Tunggal yang dulunya masih sepi dan dipenuhi semak belukar kini berubah menjadi bangunan warung-warung sederhana yang dikelola oleh penduduk setempat. Instalasi pipa-pipa air pun makin banyak terlihat. Pipa-pipa iniah yang menyalurkan air bersih yang berasal dari sumber mata air tawar yang terdapat di dekat pantai. Mata air yang berasal dari aliran sungai bawah tanah khas daerah karst. Mata air inilah yang dulunya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk memenuhi kebutuhan air tawar, namun kini lebih banyak dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata, salah satunya adalah untuk mengaliri toilet umum yang ada. Ah, Pok Tunggal, nasibmu kini, makin banyak orang yang datang kemari, semoga kau tak merasakan lagi sepi.
Salah satu ikon Pantai Pok Tunggal adalah keberadaan pohon duras yang sekilas mirip seperti tanaman bonsai, namun berukuran besar. Pohon yang konon katanya langka ini dahulu benar-benar dijaga oleh penduduk setempat. Pohon tersebut tidak boleh dipanjat, bahkan menggelantungkan barang di batangnya saja pun dilarang. Menurut penuturan penduduk setempat hal tersebut demi menjaga kelestarian si pohon duras. Jika patahakan membutuhkan waktu yang lama untuk pertumbuhannya, belum lagi pohon ini katanya termasuk pohon langka. Tapi apa yang saya lihat sekarang sedikit memprihatinkan. Banyak wisatawan yang menggelantungkan barang bawaan mereka seenaknya di batang pohon duras tersebut. Jika pohon duras tersebut dapat berbicara, pastilah dia sudah menangis dengan beban yang dia bawa.
Jika dilihat sekarang, Pantai Pok Tunggal memang mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Setidaknya fasilitas pariwisata yang ada sekarang lebih memadai seperti warung-warung makan sederhana yang berjajar di sepanjang tepi pantai maupun fasilitas toilet umum dan mushola. Payung parasol yang berjajar pun siap disewakan untuk menemani Anda menikmati pantai tanpa takut harus kepanasan.
Jika Anda sedang beruntung, Anda akan menemukan penduduk yang berjualan buah srikaya. Buah yang berbetuk bulat berwarna hijau kekuningan dengan kulit yang bermata banyak. Daging buahnya berwarna putih dengan biji yang cukup banyak dengan rasa buah yang manis. Buah srikaya memang tumbuh subur di wilayah Gunung Kidul yang memiliki kontur tandus. Tak hanya di Pantai Pok Tunggal, buah ini dapat kita temui di beberapa lokasi yang tersebar di kawasan Gunung Kidul ini.
Waktu seolah berputar begitu cepat. Tidak terlalu lama memang saya menginjakkan kaki di Pantai Pok Tunggal ini. Saya harus bergegas untuk kembali menuju Pantai Goa Watu Lawang sebelum matahari kembali ke peraduan. Ah, mari kembali mendaki bukit melewati bongkahan batu karang serta menikmati hempasan ombak yang sesekali terlihat mengganas menerjang batu karang yang kokoh menghadang !
Selama kurang lebih 30 menit menyusuri tebing dan hempasan ombak, tibalah kita di hamparan pasir Pantai Pok Tunggal, pantai yang dulunya masih relatif sepi, namun sekarang sudah cukup ramai dengan kedatangan wisatawan. Ini bukan kali pertama saya datang ke Pantai Pok Tunggal. Pertama kali saya menyambangi pantai ini sekitar bulan September 2012, ketika sedang mengikuti tes travel writer di salah satu portal pariwisata. Dulu, ketika itu Pantai Pok Tunggal masih terasa sepi, belum terlalu banyak warung-warung yang dibangun seperti sekarang ini. Pengunjung yang datang pun tidak terlalu ramai. Suasananya masih hening, cocok bagi yang sedang ingin menyendiri menikmati keindahan alam yang terhampar di berbagai sisi, mulai dari hamparan pasir pantai hingga bukit-bukit yang menjulang tinggi.
Kedatangan kedua saya sekitar bulan Februari 2013. Sudut barat Pantai Pok Tunggal yang dulunya masih sepi dan dipenuhi semak belukar kini berubah menjadi bangunan warung-warung sederhana yang dikelola oleh penduduk setempat. Instalasi pipa-pipa air pun makin banyak terlihat. Pipa-pipa iniah yang menyalurkan air bersih yang berasal dari sumber mata air tawar yang terdapat di dekat pantai. Mata air yang berasal dari aliran sungai bawah tanah khas daerah karst. Mata air inilah yang dulunya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk memenuhi kebutuhan air tawar, namun kini lebih banyak dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata, salah satunya adalah untuk mengaliri toilet umum yang ada. Ah, Pok Tunggal, nasibmu kini, makin banyak orang yang datang kemari, semoga kau tak merasakan lagi sepi.
Salah satu ikon Pantai Pok Tunggal adalah keberadaan pohon duras yang sekilas mirip seperti tanaman bonsai, namun berukuran besar. Pohon yang konon katanya langka ini dahulu benar-benar dijaga oleh penduduk setempat. Pohon tersebut tidak boleh dipanjat, bahkan menggelantungkan barang di batangnya saja pun dilarang. Menurut penuturan penduduk setempat hal tersebut demi menjaga kelestarian si pohon duras. Jika patahakan membutuhkan waktu yang lama untuk pertumbuhannya, belum lagi pohon ini katanya termasuk pohon langka. Tapi apa yang saya lihat sekarang sedikit memprihatinkan. Banyak wisatawan yang menggelantungkan barang bawaan mereka seenaknya di batang pohon duras tersebut. Jika pohon duras tersebut dapat berbicara, pastilah dia sudah menangis dengan beban yang dia bawa.
Jika dilihat sekarang, Pantai Pok Tunggal memang mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Setidaknya fasilitas pariwisata yang ada sekarang lebih memadai seperti warung-warung makan sederhana yang berjajar di sepanjang tepi pantai maupun fasilitas toilet umum dan mushola. Payung parasol yang berjajar pun siap disewakan untuk menemani Anda menikmati pantai tanpa takut harus kepanasan.
Jika Anda sedang beruntung, Anda akan menemukan penduduk yang berjualan buah srikaya. Buah yang berbetuk bulat berwarna hijau kekuningan dengan kulit yang bermata banyak. Daging buahnya berwarna putih dengan biji yang cukup banyak dengan rasa buah yang manis. Buah srikaya memang tumbuh subur di wilayah Gunung Kidul yang memiliki kontur tandus. Tak hanya di Pantai Pok Tunggal, buah ini dapat kita temui di beberapa lokasi yang tersebar di kawasan Gunung Kidul ini.
Waktu seolah berputar begitu cepat. Tidak terlalu lama memang saya menginjakkan kaki di Pantai Pok Tunggal ini. Saya harus bergegas untuk kembali menuju Pantai Goa Watu Lawang sebelum matahari kembali ke peraduan. Ah, mari kembali mendaki bukit melewati bongkahan batu karang serta menikmati hempasan ombak yang sesekali terlihat mengganas menerjang batu karang yang kokoh menghadang !