Kawasan Wisata Bromo memang menjadi salah satu andalah sektor pariwisata di wilayah Probolinggo. Tak hanya terkenal di kancah nasional, keindahan matahari terbit dan pemandangan alam di Kawasan Bromo ini bahkan sudah mendunia sehingga banyak dikunjungi oleh turis manca negara. Kabupaten Probolinggo menjadi salah satu pintu masuk utama menuju kawasan Wisata Bromo. Banyak wisatawan yang memilih masuk ke kawasan Bromo melalui Kabupaten Probolinggo karena akses jalan maupun kendaraan umum yang cukup memadai dari wilayah ini.
Sesuai dengan tema yang diangkat yaitu kolaborasi warisan alam dan penyelamatan lingkungan, seluruh peserta Tour De Probolinggo tak hanya diajak untuk berjalan-jalan menikmati keindahan alam Kawasan Bromo Tengger Semeru, melainkan melakukan aksi nyata untuk penyelamatan lingkungan. Salah satu kegiatan tersebut adalah memungut sampah di kawasan lautan pasir hingga kawasan di sekitaran Pura Luhur Poten Bromo. Seluruh peserta berjalan kaki dari penginapan di kawasan Bromo Permai hingga menyusuri kawasan kaldera pasir. Mungkin banyak dari kita ketika menyusuri kawasan ini menggunakan kendaraan bermotor seperti jeep maupun sepeda motor tidak terlalu menyadari keberadaan sampah yang cukup banyak berserakan mengotori kawasan ini. Cukup miris juga, ternyata di kawasan ini banyak sampah bekas bungkus makanan yang dibuang begitu saja oleh pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Sangat disayangkan karena ulah tangan-tangan tidak bertanggung jawab ini berdampak pada kotornya lingkungan yang seharusnya kita jaga bersama kebersihannya.
Usai memungut sampah kami pun bersiap mendaki Gunung Bromo. Jalur pendakian didominasi medan berpasir dengan jalan yang cukup menanjak sebelum akhirnya tiba di bagian anak tangga. Kita memang harus rela berbagi jalur dengan kuda-kuda yang mengantarkan pengunjung hingga ke bagian anak tangga. Belum lagi dengan kotoran mereka yang berceceran di sepanjang jalan setapak menuju anak tangga. Di musim penghujan seperti pada awal tahun sekarang memang menjadikan perjalanan menuju anak tangga pendakian sedikit lebih ringan dibandingkan pada musim kemarau. Setidaknya tidak banyak debu-debu beterbangan mengiringi perjalanan. Namun perlu diwaspadai juga karena hembusan angin yang bertiup cukup kencang kadang menyapa kita sambil membawa partikel-partikel pasir yang dapat membuat mata kelilipan.
Setelah acara bersih-bersih kawasan kaldera pasir, pada sore harinya para peserta diajak menuju Kantor Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Di lokasi ini terdapat sebuah teater mini. Para peserta Tour De Probolinggo pun disuguhkan video dokumentasi yang berisi tentang keunikan yang ada di Gunung Bromo. Selain keindahan alam, dalam video tersebut juga digambarkan keunikan-keunikan budaya masyarakat suku Tengger. Salah satu budaya yang terkenal adalah Upacara Kasada, untuk mengenang pengorbanan Raden Kusuma, putra bungsu pasangan Roro Anteng dan Joko Seger yang dipercaya sebagai leluhur Suku Tengger. Upacara Kasada ini bertujuan sebagai wujud rasa syukur masyarakat Suku Tengger atas berkat yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi serta memohon keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka.
Setelah melihat video yang diputar di bioskop mini milik Kantor TNBTS, peserta pun diberi kesempatan untuk berkeliling menikmati sisi lain keindahan alam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Saya dan kawan-kawan memilih untuk duduk di kursi taman, yang berlokasi tak jauh dari Kantor TNBTS. Taman ini juga menjadi salah satu lokasi favorit para wisatawan untuk mengabadikan gambar berlatar belakang Gunung Batok dan Gunung Bromo. Semangkuk bakso, udara dingin, pemandangan Gunung Batok dan Gunung Bromo serta pembicaraan hangat bersama warga Tengger menjadi pelepas waktu sore kami di Kawasan Bromo.
Dari sebuah obrolan lepas dengan seorang bapak-bapak warga Tengger tersebut akhirnya saya memahami sebuah keunikan dari kehidupan masyarakat Tengger yang tinggal di Kawasan Bromo. Kerukunan antar umat beragama di Kawasan Bromo cukup harmonis. Antara pemeluk agama Hindu dan Islam pun saling toleran satu dengan yang lain. Mereka dapat hidup berdampingan tanpa mengusik kehidupan beragama antara agama satu dengan agama yang lain. Menurut penuturan beliau kehidupan masyarakat di Kawasan Bromo ini cukup adem ayem, tidak pernah ada konflik yang berhubungan dengan SARA. Segala kegiatan kemasyarakatan selalu dilakukan dengan musyawarah.
Saya pun tercekat ketika si bapak bertanya sebuah pertanyaan, "masnya udah nikah belum?". Saya pun hanya bisa tertawa lepas, selesai kuliah saja belum, apalagi memikirkan untuk menikah, gumam saya dalam batin. Beliau bertutur bahwa rata-rata masyarakat di kampungnya sudah menikah pada usia belasan. Jika seseorang sudah selesai menempuh pendidikan di bangku sekolah menengah, maka dapat dipastikan bahwa dia akan segera dinikahkan. Banyak yang akhirnya mencari nafkah di ladang maupun berkecimpung menjadi joki kuda atau tukang ojek di Bromo untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Ah, sebuah sore yang menyenangkan, dapat berbincang dan sedikit mengenal seluk-beluk kehidupan masyarakat Suku Tengger yang mendiami kawasan Bromo ini.