Kamis, 31 Oktober 2013

Abuya Syaikh H. Muhammad Muda Waly al-Khalidy an-Naqsyabandy

Kelahiran

Syaikh Muda Waly al Khalidy dilahirkan di Desa Blang Poroh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Syaikh H. Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da`i. Sebelumnya, paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Pelumat yang nama aslinya Syaikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji. Tak lama setelah Syaikh Muhammad Salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Syaikh Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syaikh Muhammad salim sangat menyayangi Syaikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau pergi mengajar dan berda`wah Syaikh Muda Waly selalu digendong oleh ayahnya. Mungkin Syaikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada saat Syaikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun kedalam pangkuannya.

Nama Syeikh Muda Waly pada waktu kecil adalah Muhammad Waly. Pada saat beliau berada di Sumatra Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri dengan Muhammada Waly atau lengkapnya Syaikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.


Perjalanan Pendidikan

Syaikh Muda Waly belajar belajar A-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqh,dan dasar ilmu bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu beliau juga masuk sekolah Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks School, beliau dimasukkan kesebuah pesantren di Ibukota Labuhan Haji, Pesantren Jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang dari Aceh Besar sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun beliau belajar di pesantren al-Khairiyah beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di Ibukota Kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama`ah sama seperti Pesantren al-Khairiyah, yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar yaitu Syaikh Mahmud. Di Pesantren Bustanul Huda, barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah seperti I`anatut Thalibin, Tahrir dan Mahally dalam ilmu Fiqh, Alfiyah dan Ibn `Aqil dalam ilmu Nahwu dan Sharaf.

Setelah beberapa tahun di Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu masalah antara beliau dengan gurunya,Teungku Syaikh Mahmud yaitu perbedaan pendapat antara beliau dengan gurunya tersebut tentang masalah berzikir dan bershalawat sesudah shalat di dalam masjid secara jihar. Syaikh Muda Waly ingin melanjutkan pendidikan kepesantren lainnya di Aceh Besar, tetapi sebelumnya, ayah beliau ,Haji Muhammad Salim meminta izin kepada Syaikh Mahmud, meminta do`anya untuk dapat melanjutkan pendidikan kepesantren lainya dan yang terpenting meminta maaf atas kelancangan Syaikh Muda Waly berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah tersebut. Berkali kali beliau dan ayahnya meminta ma`af kepada Syaikh Mahmud tetapi beliau tidak menjawabnya. Pada akhirnya kemaafan beliau dapat setelah beliau kembali dari Sumatra Barat dan Tanah suci Makkah. Kejadian ini berawal dari kasus di kecamatan Blang Pidie. Ada seorang ulama dari kaum muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang bernama Teungku Sufi, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blang Pidie, berda`wah dan membangkitkan masalah-masalah khilafiyah. Dalam satu perdebatan terbuka di Ibukota kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya sehingga hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal Yatim dapat dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku Sufi tersebut dengan Syaikh Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau tolak, beliau hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total didepan umum. Tak lama setelah itu barulah Syaikh Mahmud mema`afkan kesalahan Syaikh Muda Waly yang berani berbeda pendapat dengannya pada waktu masih belajar di Bustanul Huda.

Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya kepesantren di Aceh Besar kepada ayahnya, Syaikh H. Muhammad Salim. Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat beliau. Apalagi Syaikh H.Muhammad Salim telah mengetahui bahwa putranya ini telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari di Pesantren Bustanul Huda.

Sebagai bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan sebuah kalung emas yang lain merupakan milik kakak kandung Syaikh Muda Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata “Biarkan aku antarkan engkau sampai ke Blang Pidie”. Sesampainya di Blang Pidie, Syaikh Muhammad Salim berkata kepada putranya Syaikh Muda Waly “biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong”. Pada kali yang ketiga ini Syaikh Muda Waly merasa keberatan, karena seolah-olah beliau seperti tidak rela melepaskan anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu. Syaikh Muda Waly berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan dari pesantren Busranul Huda, namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar.

Sesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin oleh Syaikh H. Hasan Krueng Kale, ayahanda dari Syaikh H. Marhaban, Menteri Muda Pertanian Indonesia para masa Sukarno. Beliau sampai di Pesantren Krueng kale pada pagi hari, pada saat Syaikh Hasan Krueng Kale sedang mengajar kitab-kitab agama. Diantara kitab yang dibacakan adalah kitab Jauhar Maknun.Syaikh Muda Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum Dhuhur selesailah pembacaan kitab tersebut, dengan kalimat terakhir Wa huwa hasbi wa ni`mal wakil. Setelah selesai pengajian Syaikh Muda Waly merasa bahwa syarahan yang diberikan oleh Syaikh Hasan Krueng Kale tidak lebih dari pengetahuan yang beliau miliki. Walaupun demikian beliau tetap menganggap Syaikh Hasan Krueng Kale sebagai guru beliau. Bagi Syaikh Muda Waly cukuplah sebagai bukti kebesaran Syaikh Hasan Krueng Kale, apabila guru beliau Syaikh Mahmud Blang Pidie adalah seorang alumnus Pesantren Krueng Kale.Syaikh Muda Waly hanya satu hari di Pesantren Krueng Kale. Beliau bersama Tengku Salim mencari pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah. Pada saat itu ada seorang ulama lain di Banda Aceh yaitu Syaikh Hasballah Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di Indrapuri. Pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat dan lainnya. Syaikh Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu al-Quran masih kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri. Pesantren Indrapuri tersebut dalam simtem belajar sudah mempergunakan bangku, satu hal yang baru untuk kala itu. Pada saat mengikuti pelajaran, kebetulan ada seorang guru yang membacakan kitab-kitan kuning, Syaikh Muda Waly tunjuk tangan dan mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan dan syarahannya, maka beliau meluruskan bacaan yang benar beserta syarahannya. Dari situlah Ustad dan murid-murid kelas itu mulai mengenal anak muda yang baru datang kepesantren itu dan memiliki pengetahuan yang luas. Maka Ustad tersebut mengajak beliau kerumahnya dan memerintahkan kepada pengurus pesantren untuk mempersiapakan asrama temapat tinggal untuk beliau, kebetulan sekali pada saat itu perbekalan yang dibawa Syaikh Muda Waly sudah habis, maka dengan adanya sambutan dari pengurus pesantren tersebut beliau tidak susah lagi memikirkan belanja.

Pimpinan Pesantren Indrapuri tersebut, Teungku Syaikh Hasballah Indrapuri sepakat untuk mengangkat Syaikh Muda Waly sebagai salah satu guru senior di Pesantren tersebut. Semenjak saat itu Syaikh muda Waly mengajar di pesantren tersebut tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam semua waktunya dihabiskan untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang hanya antara jam dua malam sampai subuh. Waktu itupun tetap diminta oleh sebagian santri untuk mengajar. Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah tersebut. Karena padatnya jadwal, beliau kelihatan kurus, tetapi Alhamdulillah walaupun demikian beliau tidak sakit.

Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran dari salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang Payoeng kepada Syaikh Muda Waly untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang, Normal Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan al-Azhar Mesir Ustad Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi Syaikh Muda Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke al-Azhar Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama yang telah menamatkan pendidikannya di al-Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang bernama Ustad Mamud Yunus yag telah mendirikan sebuah perguruan di Padang yang bernama Normal Islam School yang sudah terkenal kala itu melebihi perguruan perguruan sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan mengirimkan Syaikh Muda Waly ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau pendahuluan sebelum melanjutkanke al Azhar.
Berangkatlah Syaikh Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut.Beliau sama sekali tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, dimana letak Normal Islam School dan kemana beliau harus singgah. Tiba tiba saja ada seorang penumpang yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak gerik Syaikh Muda Waly selama di kapal bersedia membantu Syaikh Muda Waly untuk bisa sampai ketempat yang beliau tuju.

Setelah sampai di Normal Islam beliau segera mendaftarkan diri di Sekolah tersebut. Lebih kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya beliau mengundurkan diri dan keluar dengan hormat dari Lembaga pendidikan tersebut. Hal ini beliau lakukan dengan beberapa alasan :
1.     Cita-cita melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan memperdalm ilmu agama,karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi seorang ulama sperti ulama ulam besar lainnya.Tetapi rupanya ilmu agama yangdiajarkan di normal Islam amat sedikit.Sehingga seolah olah para pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut.
2.      Di Normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajrakan ketimbang pelajaran agama. Disana diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Belanda, ilmu khat dan pelajaran olahraga.  

Di Normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan peraturan di lembaga tersebut. Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi, ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas. Menurut hemat Syaikh Muda Waly, kalau begini lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.

Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `Ulumuddin. Bapak Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syaikh Muda Waly supaya jangan cepat cepat pulang ke Aceh, tetapi menetaplah dulu di Padang, barangkali ada manfaatnya.

Pada suatu sore beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah Surau yaitu di Surau Kampung Jao. Setelah shalat maghrib, kebiasaan disurau itu diadakan pengajian dan seorang ustaz mengajar dengan membaca kitab berhadapan dengan para jamaah. Rupanya apa yang di baca oleh ustaz itu beserta syarahan yang di sampaikan menurut Syaikh Muda Waly tidak tepat, maka beliau membetulkan, sehingga ustaz itu dapat menerima. Sedangkan jamaah para hadirin bertanya-tanya tentang anak muda yang berani bertanya dan membetulkan pendapat ustaz itu.

Akhirnya para jamaah beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya datang ke Surau itu untuk menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke hari, beliau mulai dikenal dari satu Surau ke Surau yang lain dan dari satu Mesjid ke Mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang Padang, tetapi dari daerah Aceh dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan ummat Islam Sumatra Barat. Dan yang lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran beliau dalam ilmi Fiqh, Tasawwuf, Nahu dan ilmu lainnya. Barulah sejak itu beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo atau Angku Aceh.

Pada masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra Barat tentang masalah- masalah keagamaan yang sifatnya adalah sunat, seperti masalah usalli, masalah hisab dalam memulai puasa Ramadan, hari raya ‘Id al-Fitri dan lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum tua dengan kelompok kaum muda.

Syaikh Muda Waly berasal dari Aceh dalam kelahiran dan pendidikannya, tentu saja berpendirian dalam semua masalah tersebut seperti pendirian para Ulama Aceh sejak zaman dahulu, karena semua Ulama Aceh khususnya dalam bidang Syari’at dan Fiqh Islam tidak ada bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Apalagi Ulama Aceh zaman dahulu seperti syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abdul Rauf al-fansuri al-singkili [Syiahkuala], Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Syamsuddin Sumatrani dan lain lain semuanya bermazhab Syafi`i dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari``at dan Fiqh Islam kecuali hanya perbedaan pendapat dalam masalah Tauhid yang pelik dan sangat mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita menjadi raja.

Karena itulah maka semua masalah-masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syaikh Muda Waly dalil-dalil hukum dan alasan-alasannya, al Qur’an dan Hadist dan juga dari kitab kitab kuning. Karena itulah, maka terkenallah beliau di kota Padang dan mulai dikenal pula oleh seorang Ulama besar di kota Padang, yaitu Syaikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof. Drs. H. Amura. Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah di Padang. Murid dari pada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al- Mukarramah. Beliu mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-Mukarramah. Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertankan `Aqidah Ahli al-Sunnah wa al-Jama`ah dan mazhab Syafi`i di samping pula beliu adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu Syari`at dan Tariqat yaitu Syeikh Sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad Mungka dan Syaikh Khatib Ali sangat tertarik kepada Syaikh muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syaikh Muda Waly dengan seorang family beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syaikh Prof. Muhibbuddin Waly. Sejak itulah kemasyhuran Syaikh Muda Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal-hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji Rasul.

Kemudian Syaikh Muda waly juga berkenalan dengan Syaikh Muhammad Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syaikh Muda Waliy pada mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syaikh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau, murid Syaikh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa Arab. Di Pesantren Jaho itulah Syaikh Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan Syaikh Muda Waly, pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syaikh Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syaikh Muda Waly dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syaikh Muda Waly. Dari situlah, Syaikh Muda Waly semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syaikh Muda Waly dinikahkan dengan putri Syaikh Muhammada Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim, Hajjah Rabi`ah yang akhirnya melahirkan Syaikh H. Mawardi Waly. Syaikh Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah Rasimah. Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat, pada bagian bawahnya di gunakan sebagai madrasah dan tempat majlis ta`lim.

Apabila datang hari hari besar Islam ummat Islam di Kota Padang beramai ramai datang kerumah tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut karena bila tak ada undangan Syaikh Muda Waly sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para ulama lainnya apalagi dalam rumah itu juga tinggal seorang ulama besar lain, Syaikh Hasan Basri, menantu dari Syaikh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri beliau Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syaikh Muda Waly menunaikan ibadah haji ke tanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah rabi`ah. Selama di Makkah beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Selain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama ulama yang mengajar di Masjidil Haram antara lain Syaikh Ali Al Maliki, pengarang Hasyiah al - Asybah wan nadhaair bahkan beliau mendapat ijazah kitab-kitab Hadits dari Syaikh Ali al-Maliki.

Selama di Makkah Syaikh Muda Waly seangkatan dengan Syaikh Yasin Al fadani, seorang ulaam besar keturunan Padang yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah al-Mukarramah.

Pada waktu Syaikh Muda Waly berada di Madinah pada setiap saat shalat, beliau selalu menziarahi kuburan yang mulia Saiyidina Rasulullah Saw. Pada waktu itu siapa saja yang menziarahi kuburan Nabi secara dekat, akan dipukul oleh polisi dengan tongkatnya. Tetapi pada saat Syaikh Muda Waly sedang bermunujat dekat makam Rasullualah, beliau didekati oleh polisi, ingin memukul beliau, maka Syaikh Muda Waly langsung berbicara dengan polisi tersebut dengan bahasa arab yang fasih sehingga polisi tersebut tertarik dengan beliau dan membiarkan beliau duduk lama di dekat maqam Rasulullah. Di Madinah Syaikh Muda Waly berdiskusi dengan para ulama ulama dari negeri lain terutama dari Mesir. Beliau tertarik dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di negeri Mesir, sehingga beliau sudah bertekat menuju ke Mesir, tetapi beliau lupa bahwa pada saat itu beliau membawa istri beliau Hajjah Rabi`ah. Istri beliau keberatan ditinggalkan untuk pulang ke Indonesia akhirnya beliau urung berangkat ke Mesir.

Selama beliau di Makkah ataupun Madinah beliau tak sempat mengambil ijazah dalam Tahariqat apapun. Hal ini kemungkinan besar karena dua hal :
1.      Karena beliau berada di tanah suci lebih kurang hanya tiga bulan, waktu yang sangat singkat bagi beliau yang mempunyai cita-cita besar untuk menggali ilmu dari berbagai ulama. Sehingga habislah waktu beliau hanya untuk menemui dan berdiskusi dengan para ulama lainnya.
2.      Pada umumnya para pelajar yang datang ke Tanah suci untuk mengamalkan thariqat, mengambil ijazah dan berkhalwat harus berada di tanah suci pada bulan Ramadan. Karena pada bualn Ramadan halaqah pengajian sepi bahkan libur. Semua waktu dalam bulan Ramadhan dutujukan untuk beribadah. Sedangkan Syaikh Muda Waly berada di Tanah suci bukan dalam bulan Ramadhan .

Kepulanngan Syaikh Muda Waly dari tanah suci mendapat sambutan dari murid-murid beliau serta dari Ulama-ulama Minangkabau lainnya seperti Syaikh `Ali Khatib, Syaikh Sulaiman Ar Rasuli, Buya Syaikh Jamil Jaho. Hal ini dikarenakan, dengan kembalinya Syaikh Muda Waly maka bertambah kokoh dan kuatlah benteng Ahlussunnah wal Jamaah di padang khususnya. Dikalangan Ulama tersebut, Syaikh Muda Waly merupakan yang termuda diantar mereka, sehingga dalam perdebatan-perdebatan ilmu keagamaan yang populer pada masa itu, Syaikh Muda Waly lebih didahulukan oleh Ulama dari kelompok kaum tua untuk menghadapi Ulama dari kaum muda .Uniknya kedua belah pihak (Ulama kaum Tua dan Ulama kaum Muda) menampilkan orang orang muda dari kedua belah pihak. Sehingga antara ulama dari kedua belah pihak seolah olah tidak terjadi perbedaan pendapat.

Walaupun Syaikh Muda Waly telah memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, namun ada hal yang belum memuaskan hati beliau yaitu ilmu yang beliau miliki belum mampu menenangkan batin beliau, akhirnya beliau memutuskan untuk memasuki jalan Tasauf sebagaiman yang telan ditempuh oleh ulama- ulama sebelumnya. Apabila ar-Raniri di Aceh mengambil tariqat Rifa`iyah dan Syaikh Abdur Rauf yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Teungku Syiah Kuala mengambil tariqah Syatariyah maka Syaikh Muda Waly memilih Thariqat Naqsyabandiyah, sebuah tariqat yang popular di Sumatra Barat kala itu. Beliau berguru kepada seorang Ulama besar Tariqah di Sumatera Barat kala itu yaitu Syaikh Abdul Ghaniy al-Kamfary bertempat di Batu Bersurat, Kampar, Bangkinang. Beliau bersuluk disana selama 40 hari lamanya. Menurut sebagian kisah menyebutkan bahwa selama dalam khalwatnya dengan riyadhah dan munajat berupa mengamalkan zikir-zikir sebagaimana atas petunjuk Syaikh Abdul Ghany, beliau sempat mengalami lumpuh sehingga tidak bisa berjalan untuk mandi dan berwudhuk.

Setelah selesai berkhalwat beliau merasakan kelegaan batin yang luar biasa jauh melebihi kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang bersifat lahiriyah selama ini. Beliau mendapat ijazah mursyid dari Syaikh Abdul Ghani sebagai pertanda bahwa beliau sudah diperbolehkan untuk mengembangkan Thariqah Naqsyabandi yang beliau terima. Setelah mendapat ijazah Thariqah beliau kembali ke Kota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang bernama Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang. Sebuah pesantren yang terdiri dari beberapa surau dan asrama. Banyak murid yang mengambil ilmu di Pesantren tersebut bahkan juga santri-santri dari Aceh. Tetapi pada saat Jepang masuk ke Padang, Syaikh Muda Waly mengambil keputusan pulang ke Aceh karena di Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki. Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun di Padang lumpuh.
Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar