Tampilkan postingan dengan label Daud Beureueh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Daud Beureueh. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Juli 2011

Teungku Muhammad Daud Beureueh ( 15 September 1899 - 10 Juni1987 )

Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah salah satu tokoh ulama besar Aceh. Bersama ulama lain pada zamannya, beliau berjuang mengibarkan dan menegakkan panji-panji Islam di bumi Aceh. Sebagaimana yang pernah dituturkannya kepada Boyd R. Compton dalam sebuah wawancara, "Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu". (Boyd R. Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1995)

Teungku Muhammad Daud Beureueh

Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.

Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah, ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat Aceh.

Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud ditempa dan dididik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.

Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).

Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena ia merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan "mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum cita-cita tercapai. Kendatipun pihak lawan menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam perlawanan tersebut.
Dari PUSA Menuju Darul Islam

Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat para ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga secara de facto menjadi "Bapak Orang-Orang Aceh".

Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut catatan Compton, "M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam di Timur Dekat. Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran."

Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh orang-orang sebagai "Bapak Darul Islam".

Daud Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun revolusi. Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup tenang-tenang di desanya --tampaknya seperti pensiun.

Setelah Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji Pancasila, Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur Kehormatan dan diminta menetap di Jakarta sebagai penasihat di Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak menerima penghormatan ini. Satu-satunya tindakan pentingnya yang diketahui umum adalah pada saat ia mengetuai Musyawarah Ulama Medan, April 1951. Setelah musyawarah itu, Daud Beureueh melakukan tur singkat keliling Aceh, memberikan ceramah-ceramah provokatif bernada mendukung ide Negara Islam. Ia kemudian kembali ke desanya, dan --membuat takjub penduduk Medan yang sudah maju-- membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.

Teungku Daud Beureueh adalah "Bapak Orang-Orang Aceh" yang tetap tegar meski dikecewakan oleh kaum fasiqun di Jakarta. Dengan postur tubuhnya yang kurus tapi kuat, ia adalah tipe manusia ideal. Sebagaimana dicatat oleh Compton, dari bawah pecinya, rambut kelabunya yang dipangkas pendek kontras dengan wajahnya yang muda dan coklat kemerahan. Bicaranya lugas, bahkan pernyataannya banyak yang blak-blakan. Misal: "Saya tanya, apakah pemerintahan seperti itu mampu mengatasi masalah-masalah Aceh sekarang ini? Ya, ambillah pengairan sebagai contoh. Pada zaman Iskandar Muda, dibuat saluran dari sungai yang jauhnya sebelas kilometer dari sini menuju laut. Daerah Pidie menjadi sangat makmur. Dibuat pula saluran lain tak jauh dari yang pertama, keduanya dikerjakan oleh ulama. Beda dengan ulama zaman sekarang, pemimpin-pemimpin di masa itu tak takut sarung mereka kena lumpur. Sekarang saluran-saluran itu sudah rusak, dan hasil panen padi merosot. Sebelum terjadi perang, Aceh biasa mengekspor beras untuk kebutuhan seluruh wilayah Mardhatillah Sumatera Timur. Sekarang kita mengimpor beras dari Burma".

Dalam impiannya, ia melihat sebuah Aceh yang sejahtera di bawah pimpinan kelompok ulama yang ditampilkan kembali. Di masa keemasan itu, hanya orang-orang yang benar-benar berpengetahuan yang dapat menjadi ulama. Sedangkan di zaman modern ini, hampir setiap orang dengan bermodalkan "taplak meja dililitkan di leher" bisa mengaku berhak untuk disebut ulama.

Daud Beureueh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaruan. Setelah semua kemungkinan terbentuknya sistem politik Islam sirna dan janji-janji Soekarno akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam tidak pernah ditepati, maka jiwa jihad Teungku Daud Beureueh pun bergolak. Ia kemudian menjadikan Aceh sebagai "Negara Bagian Aceh-Negara Islam Indonesia" (NBA-NII) dan berjuang hingga tahun 1964 di gunung-gemunung Tanah Rencong. Soekarno, meskipun terkenal hebat di mata orang-orang Aceh, namun karena penipuannya terhadap orang Aceh, nama Soekarno identik dengan berhala yang harus ditumbangkan.

Compton bisa memahami mengapa orang-orang membandingkan Daud Beureueh dengan Soekarno yang cemerlang sebagai orator massa. Seandainya keduanya berpidato di sebuah acara yang sama, konon Soekarno akan menjadi juara kedua jika pendengarnya orang Aceh, terutama kalau sang "Singa Aceh" sudah mulai gusar dan marah.

Sementara ia terus bicara tentang pemerintahan Islam di Aceh, Compton merasa bahwa aneka kasak-kusuk yang ia bawa dari Medan menjelang Pemilu 1955 telah sangat menyesatkannya. Ketika Compton menanyakan apakah sikap ini tak mengandung semacam kontradiksi, Teungku Daud Beureueh menandaskan, sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia harus tunduk pada kehendak-kehendak mayoritas Muslim. Ia yakin partai-partai Islam akan menang besar dalam sebuah pemilihan umum.

Daud Beureueh melihat ada tiga kelompok di Indonesia dewasa ini: kaum komunis yang menginginkan negara Marxis-ateistik, umat Islam yang menghendaki Negara Islam, dan golongan nasionalis tertentu yang mau menghidupkan kembali Hinduisme-Jawa (Negara Pancasila). Ia cemas bahwa golongan Hindu dan Marxis sedang mengakar, tapi mereka sendiri khawatir kalau pemilihan umum diadakan, sebab mereka pasti kalah. Karena alasan ini, menurut Daud Beureueh, mereka akan berusaha habis-habisan untuk menunda-nunda pelaksanaan pemilu. Ketika itu Teungku Daud Beureueh masih berharap dengan Pemilu, namun setelah ia sendiri terjungkal oleh seorang Perdana Menteri yang merupakan output dari sistem pemilu, ia kemudian melabuhkan harapan hanya pada perjuangan fisik. Islam telah dikalahkan secara diplomatis oleh kemenangan-kemenangan Partai Islam yang tidak memberi manfaat apapun bagi asersi politik Islam.

Akibat sikapnya ini, Teungku Abu Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan buta --buta yang disengaja oleh Orde Baru-- dan dalam suatu prosesi pemakaman yang sangat sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang Aceh yang sudah terkontaminasi oleh ide-ide sekuler. R William Liddle yang sempat menghadiri upacara pemakaman Teungku Daud Beureueh menggambarkan bagaimana mengenaskannya saat-saat terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di paruh kedua abad keduapuluh. "Saya hadir di situ, antara lain, sebagai ilmuwan sosial dan politik untuk mengamati sebuah kejadian yang bersejarah, yang mungkin akan melambangkan sesuatu yang lebih besar dan penting dari upacara pemakaman biasa. Namun, --menurut penglihatan Liddle sebagai pengamat asing-- dalam kenyataannya, meninggalnya Teungku Abu Daud Beureueh adalah "meninggalnya seorang suami dan ayah yang dicintai, seorang alim yang disegani, dan seorang pemimpin masyarakat sekitar yang dihormati." Tidak lebih dari itu. Seakan-akan dan memang inilah kesimpulan Liddle waktu itu bahwa zaman kepahlawanan Teungku Abu Daud Beureueh telah berlalu, hampir tanpa bekas. Bersamaan berpulangnya "Bapak Orang-Orang Aceh", maka Aceh kemudian memasuki babak baru pembangunan dan modernisasi yang gempita di mana kemaksiatan dan sekulerisme adalah agama baru yang disambut kalangan terpelajar perkotaannya secara sangat antusias.

Al Chaidar

Copyright© Suara Hidayatullah, 1999

Sumber : Media Isnet

Daud Beureueh : Ulasan Percakapan Soekarno Presiden RI Dengan Tokoh Aceh Daud Beureueh

Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.



Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :

auh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.

Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :

Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”

Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”

Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”

Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”

Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”

Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”

Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”

Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”

Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,

Soekarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”

Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno mengucap janji dan bersumpah,

Bung Karno bersumpah : “Waallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Waallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”

Daud Beureueh menjawab, : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”

Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.

Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Acehbersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.

Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telahmenjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannyaatas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah termaafkan.

Mohammad Said, Pengarang Buku "Aceh Sepanjang Abad Jilid Ke Dua"

Sumber : Firdy Atjeh

Daud Beureueh : Balada Tangis Iba Soekarno Awal Mula Petaka Di Bumi Aceh

“Waallah Billah..., Atjeh nanti akan saya beri hak untuk menjusun rumah tangganja sendiri sesuai Syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakjat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu...??”

Kata-kata di atas diucapkan oleh Soekarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Soekarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh. Soekarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, Syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.

Tapi ternyata janji tinggal janji, Belum kering bibir Soekarno berjanji, Ia menghianati janji yang di ucapkannya sendiri. Dan penerapan Syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara. Deraian Air Mata Bung Karno ternyata adalah titik awal mula penderitaan Rakyat Pemodal Kemerdekaan Bangsa ini.

Dialah Teungku Muhammad Daud Beureu'eh, Lahir 17 September 1899, dengan nama asli Muhammad Daud di sebuah dusun kecil bernamaBeureu’eh di Aceh Pidie. Nama dusun itulah yang kelak yang lebih dikenal sebagai namanya. la bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku, ia seorang rakyat biasanya saja. Gelar Teungku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Selain Abu Jihad, orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Daud atau Abu Beureueh. Dialah sosok yang menjdi cikal bakal semua gerakan Kemederkaan Aceh.

Pada zamannya, Daud Beureueh dikenal sebagai seorang ulama yang tegas dan keras pendiriannya. la tak segan-segan menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi setiap orang yang telah melanggar aturan agama. Menurut beberapa catatan dan keterangan orang-orang yang dekat dengan Abu Daud, ia termasuk salah seorang yang buta huruf (tapi akhimya ia bisa juga baca dan tulis huruf latin). Ia hanya bisa membaca aksara Arab. Tapi jangan ditanya soal kemampuannya dalam masalah agama dan siasat perang.



Pendidikan yang ia jalani adalah pendidikan dari beberapa pesantren di daerahnya. Beberapa pesantren yang pernah menempa tokoh yang satu ini adalah Pesantren Titeue dan Pesantren Leumbeue. Kedua pesantren itu terkenal sebagai “pabrik” yang melahirkan pribadi-pribadi dengan militansi tinggi di Bumi Serambi Makkah.

Abu Daud terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli.

Sembilan tahun kemudian, bersama seorang sahabatnya, Daud Beureuehmendirikan sebuah organisasi sebagai wadah para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.

Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.

Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. “Aceh juga harus merdeka,” pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun seperti tertulis di atas, air susu dibalas air tuba.

Selain dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda kasih pada Rl itu antara lain adalah saat ibukota Rl masih di Yogyakarta. Ketika kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, rakyat Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.

Begitu juga saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittingi dipindahkan ke Bireuen. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya “akomodasi” pemerintahan darurat. Daftar sumbangsih rakyat Aceh untuk Rl akan semakin panjang jika kita masih mau mencari. Sebut saja cikal bakal penerbangan Indonesia. Rakyat Aceh-lah yang memulai dengan pesawat terbang Seulawah I dan II yang disumbangkan untuk Rl. Namun, tuntutan untuk hidup di bawah Syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi “anak tiri” Rl, ketika Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan melebumya menjadi bagian dari Sumatera Utara.

Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan Rakyat Aceh. Daud Beureuehyang menjadi gubernur pertama Aceh, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”



Puncaknya pada 21 September 1953, ia memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Rl, lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.

Untuk meredakan aksi tersebut, pemerintah mengirim M. Natsir ke Aceh, dengan disepakatinya tuntutan rakyat Aceh dan diberikannya otonomi untuk Aceh. Namun masa tenang itu tak berlangsung lama. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan pada anggota DI/TII terus berlanjut karena isu-isu rapat rahasia antaraDaud Beureueh dengan Kartosoewiryo.

Banyak orang menyebut Daud Beureueh sebagai Pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah sekian lama memberikan baktinya teradap negara tapi malah dera derita untuk Aceh yang diterimanya…??

Sumber : Atjeh Cyber Warrior