Tampilkan postingan dengan label Pahlawan Aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pahlawan Aceh. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Juli 2011

Teungku Cik Di Tiro

Teungku Cik DiTiro atau Muhammad Saman, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Teungku Cik Di Tiro (Tiro, Pidie, 1836–Aneuk Galong, 1891), adalah seorang pahlawan dari Aceh. Ia adalah putra dari Teungku Sjech Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Sjech Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dajah Jrueng kenegerian Tjombok Lamlo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Teungku Cik Di Tiro sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian kebih dikenal dengan Perang Sabil.

Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukan Cik Di Tiro. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng Belanda Lambaro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun Cik Di Tiro memakannya, dan akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.

Salah satu cucunya adalah Hasan Di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.

Sumber : Aceh Blogging

Senin, 18 Juli 2011

PANGLIMA POLEN

Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang jelas ia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim Aceh Besar.

Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang puteri dari Tuanku Hasyim Bantamuda, tokoh Aeeh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat sebagai Panglima Polem IX paada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda setia Perkasa Muhammad Daud.

Dalam perjuangannya Panglima Polem Raja Daud secara tidak langsung juga memperoleh dukungan dari para ulama Aceh. Sebagai pendukung utama, Teungku Muhammad Amin dan Teungku Beb diangkat menjadi panglima besar.

Sampai tahun 1896, Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan Aeeh. Umar bersama 15 orang panglimanya pada bulan September 1893, secara para-para menYerahkan pada $elanda, setelah terjadi penyerahan, patroli Belanda di daerah Lam Kra' VII, Mukim Ba'et Aeeh Besar. Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Sementara itu Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut pasukan Belanda sangat marah karena dari pihak mereka ada jatuh koraban sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka.

Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah pasukannya di Aceh. Seajak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan Teuku Umarpun mengambil jalan pintas mengundurkan dini ke daerah Daya Hulu. Untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya, teuku Umar meninggalkan Panglima Polem bersama pasukannya di wilayah pegunungan Seulimeum.

Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng dengan kekuatan 4 kompi infantri Belanda akhirnya berhasil menguasai 3 buah benteng yang didirikan oleh Panglima Polem. Dalam pertempuran ini, jatuh korban 27 orang tewas dan 47 orang luka-luka. Pada bulan Oktober 1897, wilayah Seulimeum akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan Panglima Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.

Pada bulan November 1897, kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah). Dia mengadakan suatu musyawarah bersama tokoh pejuang Aceh lainnya.

Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta Uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah.

Pada awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif secara bersama-sama menyingkir ke daerah gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pertahanan Aceh.

Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem dan pasukannya kembali menyusun strategi barn untuk mempersiapkan penyarangan terhadap Belanda.

Karena Belanda gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem, maka meraka menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Kemudian $elanda menyusun strategi barn yang sangat licik yaitu dengan menangkap keluarga-keluarga dekat Sultan. Mereka berhasil menangkap isteri Sultan yang bernama Teungku Putroe di Glumpang Payong dan isteri sultan yang bernama Pocut cot Murong dan juga Putera Sultan di Lam Meulo. Setelah menangkap mereka, Belanda mengancam Sultan; apabila Sultan tidak menyerahkan dini dalam tempo satu bulan, maka kedua isterinya akan dibuang.

Menerima berita ancaman itu, pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke Batavia sampai Sultan wafat pada tanggal 6 Februari 1939. Hal ini menyebabkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud secara terpaksa juga berdamai dengan Belanda pada tanggal 7 September 1903.

Sumber : Aceh Blogging

Minggu, 17 Juli 2011

Pocut Di Biheu ( Pocut Meurah Intan )

Ia menyerang seorang diri patroli 18 marsose di Padang Tiji. Belanda menggelarnya heldhaftig.

Heldhaftig bermakna yang gagah berani, gelar itu diberikan Veltman, perwira Belanda yang melihat sendiri keberanian Pocut Di Biheue menyerang patroli pasukan Belanda ketika hendak ditangkap.

Biheue merupakan sebuah desa di Padang Tiji, Kabupaten Pidie. Di desa itulah sejarah itu bermula. Pocut Di Biheue berarti Pocut yang berasal dari Biheue, sementara nama aslinya Pocut Meurah Intan. Namanya kini ditabalkan pada taman hutan raya (Tahura) antara perbatasan Kabupaten Pidie dan Aceh Besar di ketinggian gunung Seulawah.

Pada zaman kerajaan Aceh, Biheue berada di bawah wilayah sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad XIX, kenegerian ini kemudian menjadi bagian wilayah XII Mukim, yang mencakup Pidie, Batee, Padang Tiji, Kalee dan Laweung.

Dalam Prominent Women in The Glimpse of History (Wanita-wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah) riwayat singkat dan asal usul Pocut Di Biheue dijelaskan oleh T Ibrahim Alfian dkk. Dalam buku yang diterbitan Bank Exim pada tahun 1994 itu dijelaskan, Pocut Di Biheue merupakan keturunan keluarga Bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh.



Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan. Keterangan itu sesuai dengan keterangan Veltman dalam “Nota over de Geschiedenis van het Landscap Pidie (1919). Keteragan lainnya juga diungkap Zentgraaff, dalam buku Atjeh, terbitan Beuna, Jakarta, 1983 terjemahan Aboe Bakar. Selain itu, Aboe Bakar juga mengambil sumber dari De Atjeh-Oorlog, yang ditulis Paul Van’t Veer yang memuat tentang Koloniaal Verslag, 1905, terbitan Uitgeverij De Arbeiderspres, Amsterdam 1969.

Dari beberapa sumber yang jadi rujukan Aboe Bakar itu disebutkan, suami Pocut Di Biheu bernama Tuanku Abdul Majid, putra Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid merupakan salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang tidak mau berdamai dengan Belanda. Ia gigih melawan Belanda di Selat Malaka sekitar Laweung dan Batee, yang kerap menyerang kapal-kapal dari maskapai berbendera Beanda. Karena itu pula ia dicap Belanda sebagai Zeerover, yakni perompak laut.

Sebutan itu dipopulerkan oleh C Snouck Hourgronje dalam buku De Atjeher, untuk memojokkan orang Aceh dengan sebutan perompak dan pengganggu keamanan kapal-kapal yang melewati Selat Malaka. Padahal apa yang dilakukan Tuanku Abdul Majid sesuai dengan tugasnya dari Kesultanan Aceh, yakni sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di Pelabuhan Kuala Batee.

Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Muerah Intan memperoleh tiga orang putra yaitu Tuanku Muhammad yang dipanggil Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin. Dalam Koloniaal Veslag tahun 1905 diriwayatkan, Pocut Di Biheue merupakan figur dari keluarga kerajaan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Ia satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang tidak tunduk pada Belanda hingga tahun 1904.

Suatu ketika dalam tahun dan tangal yang tak disebutkan, Tuanku Abdul Majid ditawan Belanda. Hal itu tidak menyurut langkan Pocut Di Biheue untuk melanjutkan perlawanannya. Ia mengajak serta ketiga puteranya untuk terus melawan Belanda di daerah kekuasaannya di Biheue. Mereka berperang secara gerilya. Dua dari tiga putra Pocut Di Biheue kemudian terkenal sebagai pemimpin perlawanan yang menjadi buronan Belanda yakni Tuanku Muhamamd Batee dan Tuanku Nurdin.

Belanda bersama pasukan marsosenya terus menyerang Biheue dan wilayah XII Mukim, Pidie dan sekitarnya. Namun gagal menemukan Pocut Di Biheue bersama putra-putranya itu. Sejumlah perwira Belanda bersama pasukannya ditugaskan ke Pidie untuk melacak keberadaan Pocut Di Biheue.

Doup, penulis Belanda dalam tulisannya, Gedenkboek van het Marechausse van Atjeh en Onderhoorigheden (1940), menulis sejumlah nama komandan pasukan marsose yang bertugas melacak dan mengejar kedua putra Pocut Di Biheue itu. Para komandan marsose yang kebagian tuga itu antara lain Letnan J J Burger, Letnan Jhr J J Boreel, dan Sersan Feenstra.

Seorang Diri Melawan 18 Marsose
Untuk mengejar Pocut di Biheue dan putranya, Belanda terus meningkatkan aktivitas patrolinya. Karena itu ruang gerak gerilyawan Aceh jadi sempit. Akhirnya, setelah sekian lama melakukan pengejaran, pada Februari 1900, Tuanku Muhammad Bate tertangkap di kawasan Tangse.

Meski ditawan Belanda, Tuanku Muhamamd Batee tetap menolak untuk mengakui Belanda. Ia tetap bersikukuh tak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial tersebut. Karena itu, berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda nomor 25, ia dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara.

Tak lama kemudian, keberadaan Pocut Di Biheue juag diketahui Belanda. Ia berhadapan seorang diri dengan patroli marsose. Karena terdesak oleh belasan tentara Belanda, Pocut Di Biheue mencabut rencong dari pinggangnya, ia menyerang patroli itu seorang diri. “Kalau begini, biarkan aku mati,” teriaknya.

Pocut Di Biheue memilih menyerang patroli itu dari pada ditangkap. Melihat itu, tentara marsose terkejut. Mereka tak menyangka, seorang perempuan paruh baya berani menyerang patroli 18 tentara Belanda lengkap dengan senjata. Ia menikam ke kiri dan ke kanan sehingga mengenai tubuh beberapa marsose. Sementara tubuhnya sendiri juga ditebas dengan sabetan pedang marsose.

Pocut Di Biheue mengalami dua luka sabetan pedang di kepalanya dan dua sabetan di bahu. Salah satu urat keningnya juga putus. Ia terbaring di tanah bersimbah darah dan lumpur. Melihat Pocur Di Biheue yang sudah tak berdaya, seorang sersan bertanya pada Veltman komandannya. Ia minta ijin untuk mengakhiri penderitaan Pocut Di Biheue, ia ingin menembaknya hingga meninggal. “Bolehkan saya melepaskan tembakan pelepas nyawa?” tanya sersan itu.

Veltman kemudian membentak sersan tersebut. “Apa kau sudah gila.” Veltman kemudian membungkuk dan menjulurkan tangannya untuk membantu Pocut Di Biheue, tapi mukanya diludasi, “Jangan kau pegang aku kaphe,” kata Pocut Di Biheue sambil setelah meludah wajah Veltman.

Veltman yang dikenal sebagai tuan pedoman, perwira Belanda yang bisa berbahasa Aceh itu kemudian meniggalkan Pocut Di Biheue seorang diri. Veltman ingin agar Pocut Di Biheue yang sekarat itu meninggal bisa menghembus nafasnya di hadapan bangsanya sendiri.

Namun dugaan Veltman bahwa Pocut Di Biheue akan meninggal karena lukanya itu ternyata meleset. Beberapa hari setelah kejadian itu, Veltman bersama pasukannya kembali patroli ke kawasan Keude Biheue, antara Sigli dan Padang Tiji mendengar bahwa Pocut Di Biheue bukan saja masih hidup, tapi juga berencana untuk kembali menyerang patroli Belanda.

Veltman pun mencari tahu bagaimana wanita perkasa itu bisa bertahan dari lukanya. Dari warga di sana diketahui bahwa untuk menyembuhkan lukanya, Pocut Di Biheue mengoleskan kotoran lembu di lukanya. Veltman kagum dengan keberanian Pocut Di Biheue, karena itu ia membawa seorang dokter bersamanya ketika menjenguk Pocut Di Biheue dalam masa penyembuhan di kediamannya.

Ketika Veltman sampai, Pocut Di Biheue masih sangat lemah akibat banyak kehilangan darah. Tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan. Meski begitu, ia tetap menolak bantuan dokter yang dibawa Veltman untuk merawatnya. “Jangan kau sentuh aku, lebih baik aku mati dari pada tubuhku dipegang kaphe,” katanya.

Veltman yang fasih berbahasa Aceh terus membujuk Pocut Di Biheue agar mau diobati. Akhirnya ia menerima juga bantuan dokter itu, tapi tentara pribumi dari pasukan marsose pimpinanVeltman yang mengobatinya. Ia tidak mau tubuhnya dipegang oleh Belanda. Lukanya yang sudah berulat dibersihkan diobati dan dibalut dengan perban. Masa penyembuhan Pocut Di Biheue berlangsung lama. Meski demikian, ia akhirnya sembuh wajau pincang seumur hidup.

Berita tentang Pocut Di Biheue akhirnya sampai kepada Scheuer, komandan militer Belanda. Ia menyatakan keinginannya untuk bertemua dengan perempan yang dinilainya sangat luar biasa, yang menyerang 18 tentara Belanda dengan 18 karaben seorang diri.

Ketika Scheuer sampai ke kediaman Pocut Di Biheue, wanita gagah perkasa itu belum sembuh betul. Di hadapan Pocut Di Biheue, Scheuer, komandan militer Belanda itu mengambil sikap sebagai seorang prajurit. Ia mengangkat tabik tanda hormat dengan meletakkan ujung jari-jarinya di ujung topi petnya. “Katakan padanya, bahwa saya sangat kagum padanya,” kata Scheuer pada Veltmant. Veltman pun menterjemahkan apa yang dikatakan Scheuer terhadap Pocut Di Biheue itu. Pocut Di Biheue yang sudah kelihatan kurus pun tersenyum. “Kaphe ini boleh juga,” katanya.

Setelah sembuh dari luka, Pocut Di Biheue bersama putranya, Tuanku Budiman dipenjarakan di Kutaraja. Sementara Tuanku Nurdin putra Pocut Di Buheue lainnya terus melanjutkan perjuangan melawan Belanda di kawasan Laweung dan Kale.

Dalam Koloniaal Verslag, 1905 dijelaskan, setelah ibunya tertangkap Tuanku Nurdin melakukan siasat perlawanan baru. Pada Juni 1904, ia melapor kepada Belanda di Padang Tiji seolah-olah menyerahkan diri agar Pocut Di Biheue dan Tuanku Budiman dibebaskan, tapi di tolak Belanda.

Ia kemudian pada Agustus tahun itu juga kembali ke Biheue, bergabung kembali dengan rekan-rekan seperjuangannya untuk meneruskan perlawanan terhadap Belanda. Tapi pada 1 November 1904, pasukan marsose yang dipimpin J J Burger mengepung tempat persembunyiannya.

Di tempat persembunyian itu terdapat wanita dan anak-anak. Burger memerintahkan agar anak-anak dan wanita keluar. Ketika semua perempuan dan anak-anak keluar, Burger mendekati tempat persembunyian Tuanku Nurdin. Melihat itu, Tuanku Nurdin menembak Burger hingga terjerembah ke tanah. Pasukan marsose jadi panik. Dalam kepanikan itu, Tuanku Nurdin menyelinap dan meloloskan diri dari blokade Belanda. Ia meninggalkan empat pengikutnya yang gugur di tempat itu, dua marsose juga tewas tertembak. Sementara J J Burger sendiri menderita luka parah.[]

Sumber : http://iskandarnorman.blogspot.com

Kamis, 07 Juli 2011

TEUKU NYAK ARIEF ( 17 JULI 1899 - 4 MEI 1946 )

Teuku Nyak Arief dilahirkan di Ulee Lheu (5 Km dari Kuta Raja, sekarang Banda Aceh) tepatnya pada tanggal 17 Juli 1899. Ayahnya bernama Teuku Nyak Banta, sedangkan ibunya bernama Cut Nyak Rayeuk. Kedudukan Ayah Teuku Nyak Arief adalah sebagai Panglima Sagi 26 Mukim (wilayah Aceh Besar). Teuku Nyak Arief merupakan anak yang ke 3 dari 5 bersaudara dua diantaranya laki-laki dan tiga perempuan, adapun saudara kandung Teuku Nyak Arief adalah sebagai berikut :

1. Cut Nyak Asmah.
2. Cut Nyak Mariah.
3. Teuku Nyak Arief.
4. Cut Nyak Samsiah.
5. Teuku Mohd. Yusuf.



Teuku Nyak Arief ketika masih kanak-kanak termasuk anak yang cerdas, berani dan mempunyai watak yang keras seperti Ayahnya. Beliau selalu menjadi pemimpin diantara teman-teman sepermainannya, baik dalam pergaulan maupun di sekolah.

Permainan sangat digemari oleh Teuku Nyak Arief adalah sepak bola yang merupakan sebagai bintang lapangan.

Setelah Teuku Nyak Arief menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar (SD) Kuta Raja (Banda Aceh), beliau melanjutkan pendidikannya di sekolah Raja (Kweekschool) Bukit Tinggi dan kemudian pada pamongpraja (OSVIA) di Serang (Banten). Sekolah ini khusus diadakan oleh Belanda untuk anak-anak Raja dan Bangsawan dari seluruh Indonesia.

Teuku Nyak Arief dikenal sebagai orator walaupun selalu berbicara seperlunya saja. Sangat gemar membaca terutama menyangkut politik dan pemerintahan serta mendalami pengetahuan Agama. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau dalam usia muda Beliau telah giat dalam pergerakan.

Kegiatannya antara lain ikut membawa Aceh ke dalam wadah persatuan Hindia (Nusantara/Indonesia) serta mencurahkan perhatian yang besar untuk peningkatan kesejahteraan Rakyat. Beliau diangkat menjadi ketua Nasional Indische Party (N.I.P) cabang Banda Aceh pada tahun 1919. Setahun kemudian (1920) Beliau menggantikan Ayahnya sebagai panglima sagi 26 Mukim. Kemudian di tahun 1927 Beliau diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat (Volkraat) sampai dengan tahun 1931.

Teuku Nyak Arief merupakan salah seorang pendiri dan anggota dari fraksi Nasional di Dewan Rakyat yang diketuai oleh M.H. Thamrin. Dalam berbagai kesempatan yang diperolehnya ini Beliau banyak memberikan sumbangan dalam bentuk perjuangan politik baik untuk kesejahteraan rakyat maupun kemerdekaan.

Dalam menentang penjajahan Belanda di Aceh salah satu aksi yang pernah dilakukannya adalah memimpin gerakan dibawah tanah (tahun 1932). Diakhir kekuasaan pemerintahan Belanda di Aceh (awal tahun 1942) Beliau menuntut untuk diserahkan kekuasaan/pemerintahan kepada Beliau, tetapi karena tidak dikabulkan oleh Residen Aceh J. Pauw maka Beliau memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda. Kolonel Gosenson memerintahkan KNIL/Marsose dapat dipukul mundur dan Beliau terhindar dari penangkapan dari penangkapan penembakan, walau dua kali berturut-turut kediaman Beliau di Lamnyong (Darussalam) diserang dengan kekerasan. Peristiwa tersebut sekaligus berarti pula bahwa Belanda mulai menarik diri dari Aceh Besar.

Jepang mendarat di Aceh pada tanggal 12 Maret 1942. berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari ini sudah melahirkan suatu momentum dalam sejarah Aceh khususnya dan sejarah Indonesia pada umumnya dimana kekuasaan penjajahan baru telah datang di Aceh dan sempat berkuasa selama 3,5 tahun.

Pendaratan Tentara Jepang di Ujong Batee, Teluk Balohan (Pulau Weh) dan Kuala Bugak Peureulak (Aceh Timur), disambut oleh rakyat dengan semangat persaudaraan sesuai dengan semboyan yang tiap malam yang didengungkan melalui pemancar radio Jepang bahwa mereka datang ke Indonesia untuk membebaskan saudaranya-saudaranya dari cengkraman penjajahan Belanda.

Kegembiraan Rakyat menyambut kedatangan Tentara Jepang tidak membuat mereka lupa daratan, setiap gerak-geriknya diikuti dengan teliti. Setiap langkah Jepang yang menguntungkan diterima dengan baik dan sebaliknya jika terjadi hal-hal yang mencurigakan segera dibuat perhitungan baik melalui meja perundingan oleh pemimpin- pemimpin mereka maupun melalui mata pedang sebagaimana yang telah dibuktikan oleh rakyat Aceh dalam perang Bayu di Aceh Utara pada bulan November 1942 yang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil.

Selanjutnya dapat juga kita lihat dalam peristiwa Fandrah di Aceh Utara pada bulan Mei 1945. Kesemuanya itu merupakan bukti nyata daripada ketidaksenangan rakyat Aceh terhadap kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh penjajah. Memang pada mulanya kehadiran Jepang di Aceh, rakyat beranggapan bahwa juru selamat telah tiba. Namun tidak lama kemudian tindakan-tindakan mulai dilakukannya berupa tekanan terhadap organisasi dan partai-partai politik. Akibatnya organisasi seperti Muhammadiyah, PUSA, parindra mengalami kemunduran bahkan Taman Siswa dibubarkan oleh Gunseibu, hal ini mengurangi simpati rakyat terhadap Jepang.

Kebencian rakyat semakin bertambah setelah Jepang memeras tenaga rakyat untuk kepentingan proyek mereka, seperti membuat jalan raya, Takengon- Blangkeujeren, kubu pertahanan Gunung Setan. Lapangan Udara dan lain-lain. Akibatnya rakyat tidak mempunyai waktu untuk mengurus kepentingan pribadi, sehingga keadaan ekonomi sosial mereka sangat menyedihkan. Hal-hal tersebut di atas menyebabkan perasaan benci terhadap Jepang tidak terkendalikan lagi. Akhirnya Jepang menyadari kedudukannya bahwa mereka bukan saja menghadapi musuh-musuh dari luar yang sedang melakukan serangan balasan, dari dalampun rakyat sudah menaruh benci dengan tingkah yang menyakiti hati rakyat.

Kemerosotan yang dialami oleh tentara Jepang dalam perang Asia Timur Raya, mendorong pemerintahan pendudukan memperluas Aceh Shu sangai Kai (Dewan penasehat Daerah Aceh) pada tanggal 17 November 1943. Badan ini semacam legislatif dibawah pimpinan Teuku Nyak Arief yang beranggotakan 30 orang, anggotanya terdiri dari berbagai kelompok elit di Aceh. Setahun kemudian keanggotaan Shu Sangi Kai diperluas oleh Shu Tjokan (Residen Aceh) S. Iinoo. Perluasan ini disamping dimaksudkan untuk mempergunakan susunan anggota juga untuk menarik kembali simpatik para elit dan berbagai macam kelompok di Aceh kedalam lembaga tersebut.

Sejalan dengan politik ingin mendekati rakyat dari berbagai golongan, maka pada bulan Juli 1945 para pembesar Jepang menghubungi tokoh-tokoh pemuda yang ada di Kutaraja. Dalam pertemuan itu pihak Jepang kembali menegaskan bahwa Dai Nippon pasti akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu mereka meminta untuk mengkoordinir pemuda-pemuda sehingga lahir suatu angkatan pemuda yang kuat di Aceh.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 yang bertempat di Aceh Bioskop Kutaradja diadakan rapat pemuda yang dihadiri juga oleh unsur masyarakat. Suatu hal yang mengejutkan para pemuda, tidak diketahuinya Jepang telah menyerah kalah ditandai dengan tidak hadirnya Syu Tjokan pada rapat tersebut. Satu-satunya yang hadir dari pihak Jepang adalah Matsyubushi yang mengucapkan pidato singkat tanpa bersemangat. Sedangkan di pihak pemuda telah menyampaikan pidatonya dengan membakar semangat rakyat, tidak saja dari unsur pemuda seperti Ali Hasjmy, Tuanku Hasyim, tetapi telah turut berbicara dengan bersemangat sekali dua orang pimpinan Aceh yaitu Teuku Nyak Arief dan Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Rapat pemuda yang diadakan tepat pada hari menyerahnya Jepang kepada sekutu telah memberikan arti yang penting bagi para pemuda terutama yang berada di Kutaradja dan Aceh Besar. Mereka telah mendengar langsung pengarahan-pengarahan yang diberikan oleh para pemimpin mereka waktu itu. Karenanya tidak mengherankan setelah Indonesia merdeka para pemuda-pemuda tersebut mengorganisir dirinya dalam satu barisan yang diberi nama Ikatan Pemuda Indonesia

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang telah menyerah pada sekutu tanpa syarat bersamaan dengan kekalahan Jepang, Soekarno dan Hatta sebagai pemimpin Indonesia segera mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya, mereka mengadakan persiapan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan dipersiapkan dengan matang, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tepatnya jam 10.00 pagi diproklamasikan kemerdekaan Indonesia keseluruh pelosok tanah air. Namun berita proklamasi ini terlambat beberapa hari diterima di Aceh.

Berita proklamasi kemudian diterima oleh pemuda Gazali dan Rajalis yang kemudian disampaikan pada Teuku Nyak Arief. Berita selanjutnya diterima melalui medis gram Bukit Tinggi yang dikirim oleh Adionegoro. Kemudian Teuku Nyak Arief memanggil tokoh-tokoh penting sesudah menerima berita tersebut. Dihadapan pemimpin-pemimpin itu Teuku Nyak Arief menyatakan sumpah setia kepada Negara Republik Indonesia.

Seiring dengan diterimanya berita proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka dilakukanlah pengibaran Sang Merah Putih diberbagai tempat, namun yang terpenting adalah yang dilakukan pada tanggal 24 Agustus 1945 didepan Kantor Polisi Kepang (Kantor Baperis sekarang) oleh para pegawai bangsa Indonesia. Dalam penaikan Bendera disini timbul insiden dengan serdadu Jepang yang sedang mengawal Tyokan (Pendopo sekarang). Insiden ini terjadi sewaktu Muhammad Hasyim, wakil Kepala Polisi yang diangkat oleh Jepang sedang memimpin penaikan Bendera Merah Putih, pada waktu itu Muhammad Hasyim ditegur dan dihalang-halangi, bahkan kemudian Bendera yang telah dikibarkan itu diturunkannya.

Perbuatan serdadu Jepang itu tidak diterima dan pada saat itu juga seorang peserta yaitu Muhammad Amin Bugis dengan bersemangat merampas kembali Bendera Merah Putih dari serdadu Jepang itu, lalu menaiki tiang bendera untuk selanjutnya mengikat tali bersama Bendera dan berkibarlah Sang Merah Putih tersebut.

Pada tanggal 29 Agustus 1945 Teuku Nyak Arief diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (K.N.I) daerah Aceh, untuk memikul biaya perang (perjuangan) yang semakin berat maka Teuku Nyak Arief menjual harta benda pribadinya termasuk segala perhiasan emas milik istrinya, demi kelancaran perjuangan untuk mempertahankan tanah air Indonesia.

Revolusi berjalan terus, rakyat Aceh yang terkenal heroik terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, pada saat ini telah bertekad untuk mempertahankan kemerdekaan, jalannya revolusi harus dipimpin dan diarahkan untuk pengarahan jalanya revolusi aparat pemerintah harus disempurnakan, meskipun pemerintah Indonesia mulai tanggal 3 Oktober 1945 dengan surat ketetapan Gubernur Sumatera dari negara Republik Indonesia No. 1/X telah mengangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen Aceh. Teuku Nyak Arief sebagai Residen Aceh pernah menodongkan pistol pada orang-orang yang menghalangi pengibaran Sang Merah Putih, termasuk orang Jepang. Bahkan beliau dengan gagah berani memasang Bendera Merah Putih dimobilnya, sedangkan pemimpin- pemimpin lainnya belum berani melakukannya pada saat itu.

Perjuangan terus ditingkatkan, aparatur terus disempurnakan. Komando perjuangan dipegang oleh Teuku Nyak Arief, biarpun hubungan dengan pemerintahan pusat pada saat itu tidak selancar seperti keadaan sekarang ini, akan tetapi garis-garis yang telah ditetapkan oleh pemerintahan pusat sedapat mungkin dilaksanakan.

Pada bulan Oktober 1945 utusan sekutu tiba di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) yang bernama Mayor Knotienbelt untuk membicarakan pendaratan Sekutu di Aceh dalam rangka melucuti senjata-senjata Jepang dan mengurus para tawanan perang. Residen Teuku Nyak Arief menolak rencana sekutu ini. Beliau berjanji akan mengatur pemulangan tentara Jepang dengan sebaik-baiknya.

Kekuatan persenjataan terus diperkuat oleh Teuku Nyak Arief. Tangsi-tangsi (asrama) yang ditinggalkan oleh Jepang, ditempati oleh Polisi istimewa dan TRI yang dilatih dengansistem tempur modern. Bekas opsir Gyu Gun dilantik kembali menjadi perwira-perwira TRI seperti ; Kolonel Syamaun Gaharu, Mayor T.A. Hamid, Kapten Hoesen Yoesoef, Said Usman, Said Ali, Nyak Neh dan Kapten T. Muhammadsyah.

Pada upacara pertama dilakukan Deville Meliter di lapangan Blang Padang dengan Insfektur Upacara Residen Teuku Nyak Arief dan Komandan Upacara adalah Kapten Muhammadsyah.

Memasuki bulan Desember 1945 Residen Teuku Nyak Arief sering digantikan oleh Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polem Moh. Ali sebagai Wakil Residen. Hal ini diakibatkan karena residen sering mengadakan perjalanan dan peninjauan ke daerah- daerah, terutama di daerah yang kurang aman.

Teuku Nyak Arief sangat berjasa yang luar biasa dibidang kemiliteran, maka beliau diangkat menjadi anggota staf umum TRI dengan pangkat "Jenderal Mayor Tiituler" oleh Panglima TRI Komandemen Sumatera melalui surat ketetapannya No. 10 tanggal 17 Januari 1946.

Beliau dalam melaksanakan tugas sangat aktif dan tanpa mengenal lelah, jarang berada dirumah dan tidak ada istilah istirahat. Akibat terlalu letih dalam menjalankan tugas mengakibatkan Beliau mengidap penyakit gula (kencing Manis) yang semakin parah, maka dari itu beliau meminta cuti selama 2 (dua) bulan untuk berobat, sebagai penggantinya ditunjuk Teuku Panglima Polem Moh. Ali sebagai wakil residen.

Sementara Teuku Nyak Arief menjalankan cuti, terjadi peristiwa Cumbok mengakibatkan perpecahan antara golongan Ulama. Pada saat itu Teuku Nyak Arief merasa sedih ketika mendengar peritiwa tersebut, karena Beliau telah berusaha mempersatukannya sejak zaman Hindia Belanda dan Jepang, ternyata berhasil. Pertentangan kedua golongan ini sengaja dipertajam oleh pemerintah Hindia Belanda dalam rangka politik "Devide et Impera" nya.

Penangkapan terhadap Teuku Nyak Arief dilakukan oleh Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) pada saat beliau dalam keadaan sakit, yang dilakukan dengan cara baik- baik dan dengan penghormatan, karena mereka itu menyadari bahwa pengaruh Teuku Nyak Arief masih besar. Kepada keluarganya dikatakan bahwa Teuku Nyak Arief akan dibawa untuk istirahat, kebetulan pada waktu itu Beliau masih dalam keadaan sakit.

Kemudian beliau dibawa ke Takengon dengan sebuah Seda yang dikawal oleh dua orang Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) yang berpakaian Hitam dan bertopeng. Setelah satu bulan Teuku Nyak Arief berada di Takengon barulah keluarganya diperbolehkan menyusul untuk mengunjungi Teuku Nyak Arief, yang diizinkan untuk mengunjungi beliau selama di Takengon adalah istri Beliau Cut Nyak Jauhari, anak beliau Teuku Syamsul Bahri dan adik Beliau Teuku Abdul Hamid.

Dalam keadaan sakit Teuku Nyak Arief masih dapat memikirkan tawanan lainnya dan keadaan rakyat Aceh pada umumnya. Sehubungan dengan keadaan sakitnya semakin bertambah, keadaan kesehatannya semakin kritis, dan ajalpun tidak dapat ditolak.

Beliau berpulang ke Rahmatullah disamping istri Beliau Cut Nyak Jauhari dan anak Beliau Teuku Syamsul Bahri serta adik beliau Teuku Abdul Hamid, tepatnya pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon. Jenazah Beliau dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh) dan dikebumikan di tanah pemakaman keluarga Beliau, yaitu di Lamreung, lebih kurang dua kilometer dari Lamnyong.

Teuku Nyak Arief yang menjadi Panglima sagi 26 Mukim pada tahun 1927 - 1931 dan pada tahun 1927 tepatnya pada tanggal 16 Mei diangkat sebagai anggota Volksraad disamping tetap memegang jabatan selaku Panglima Sagi 26 Mukim. Beliau dijuluki sebagai Rencong Aceh. Pada tahun 1945 - 1946 Beliau diangkat sebagai Residen Aceh yang pertama. Perjuangan Beliau tanpa mengenal lelah dan tanpa pamrih, rela mengobarkan harta benda demi perjuangan. Beliau merupakan pahlawan tiga zaman, seorang pejuang yang gigih, karena jasanya dibidang kemiliteran (ketentaraan) maka Beliau diangkat sebagai anggota staff Umum TRI dengan pangkat "`Jenderal Mayor Tirtuler" oleh panglima TRI Komandemen sumatera dengan Surat Ketetapan No. 10 tanggal 17 januari 1946.

Teuku Nyak Arief telah meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya, dan beliau sebagai seorang pemimpin rakyat yang telah berjuang bersama-sama rakyat sampai dengan akhir hayatnya, dan Beliau meninggal dunia pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon (Aceh Tengah) dalam status tahanan/tawanan dan dimakamkan pada pekuburan keluarga Beliau di lamreung ± 2 km dari Lamnyong Banda Aceh.

Teuku Nyak Arief adalah Pahlawan Nasional yang dikukuhkan dengan surat Keputusan Presiden RI No. 0711/TK/tahun 1974, tanggal 9 November 1974.

Sumber : Aceh Prov.go.id