Enam organisasi sipil Aceh menyatakan konflik Pemilukada mulai mengarah kepada radikalisasi massa dan berpotensi menciptakan kemandegan politik serta ketidakpercayaan publik kepada Pemerintah Pusat.
Sekitar 1000-an massa dan anggota Komite Mahasiswa Pemuda Aceh (KMPA) Pidie berdemo meminta DPRK, Pemkab dan KIP Pidie agar menunda Pilkada di Pidie sebelum selesainya konflik regulasi yang sesuai dengan UUPA.(Harian Aceh/Marzuki)
Keenam elemen sipil itu adalah AJMI, GeRAK Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan PB HAM Pidie.
“Kami menyakini konflik Pemilukada mulai mengarah kepada radikalisasi massa, jika Pemerintah Pusat tidak segera mengambil sikap,” kata juru bicara enam elemen itu, Hendra Fadli dalam surat yang dikirim kepada Presiden SBY, Jumat (21/10).
Kata Hendra, kekhawatiran itu muncul berdasarkan beberapa pertimbangan yang mengacu pada bacaan situasi objektif di Aceh dan peta kekuatan politik lokal yang masih eksis di Aceh.
Pertama, konflik regulasi dalam pelaksanaan Pemilukada Aceh menyebabkan Partai Aceh (PA) tidak mendaftarkan calon kepala daerah mereka, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Kedua, soliditas dan loyalitas yang dimiliki seluruh pimpinan PA/KPA di Aceh akan berimpilkasi pada kesamaan sikap para anggota legislatif di tingkat provinsi dan anggota legislatif di beberapa kabupaten/kota. Paling tidak, di tingkat propinsi dan 7 (tujuh) kabupaten/kota dimana PA merupakan pemilik kursi mayoritas di parlemen.
Ketiga, sulit untuk memungkiri bahwa PA/KPA sebagai jelmaan dari GAM masih memiliki dukungan arus bawah yang kuat. Apalagi paska keputusan penting yang disampaikan oleh Muzakir Manaf dengan argumentasi yaitu mempertahankan eksistensi MoU dan UUPA secara konsisten dan konsekuen demi marwah Aceh.
Keempat, kekuatan kelompok Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh incunbent) dan kubu pro dan pengguna jalur independen lainnya juga tidak bisa dianggap kecil. Selain Irwandi Yusuf ada 73 kandidat bupati, walikota dari jalur independen yang telah mendaftarkan dirinya di berbagai kabupaten/kota.
Kelima, kekuatan politik Partai Nasional (Parnas) nyaris tidak memiliki kepentingan langsung dalam kisruh Pilkada Aceh. Karena, apa pun situasinya Parnas tidak memiliki kerugian politik yang serius. Sehingga sikap Parnas cenderung terkesan oportunis dan mengalir ke arus yang kuat.
Artinya, pimpinan Parnas di Aceh tetap tidak bisa diandalkan sebagai solusi dalam kisruh Pilkada di Aceh, meskipun secara politik Parnas merupakan kekuatan politik potensial yang memiliki daya bisik yang kuat kepada otoritas politik nasional.
“Atas dasar itu dan melihat perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa kisruh Pilkada Aceh mulai mengarah pada fase konfrontasi melalui unjuk kekuatan massa oleh masing-masing kubu politik,” sebutnya.
Enam elemen sipil itu memprediksi, dalam beberapa waktu ke depan mobilisasi masa dalam jumlah besar dan masif akan terus terjadi di Aceh, seperti yang telah diawali di Pidie, Kamis (20/10) lalu.
Dan di sisi lain, kelompok pro indepependen tentu tidak akan diam. Mereka akan melakukan hal serupa untuk menangkal serangan mobilisasi masa lawan politiknya.
Karena itu, katanya, pihaknya menyarankan kepada Presiden SBY untuk mengarahkan para pihak yang berseteru Irwandi Yusuf dan Muzakir Manaf agar bersikap arif sehingga tidak terjebak dalam politik antagonis melalui pengerahan kekuatan politik masing-masing, maupun kampanye publik yang bakal menyulut perlawanan arus bawah.
Tidak membiarkan konfrontasi Politik Aceh terus bergulir dan secara konsisten mengarahkan semua pihak yang terkait dengan pengambilan kebijakan strategis mengenai Aceh di tingkat nasional agar menghormati kekhususan Aceh serta seluruh kewenangan Pemerintahan Aceh.
Surat itu juga ditembuskan pada media lokal dan nasional, Kedutaan negara-negara sahabat di Jakarta, jaringan organisasi masyarakat sipil lokal dan nasional, Crisis Management Initiative (CMI) dan Uni Eropa.(bay)
Sumber : Harian Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar