Lembabnya udara pagi yang berkumpul menjadi embun, berpadu dengan syahdunya desiran suara angin gunung yang menggema. Aktivitas di Bromo memang bisa dikatakan sedikit tidak biasa. Kehidupan dimulai ketika waktu menunjukkan pukul tiga pagi, di mana setiap orang mulai terlelap dalam tidur nyenyaknya. Di saat itulah justru kehidupan di Bromo mulai menggeliat, di mana orang-orang bersiap keluar menembus dinginnya udara gunung demi mengejar terbitnya matahari dari ufuk timur.
Menjelang pukul tiga pagi suasana homestay yang saya tinggali pun terdengar cukup riuh. Suara bapak-bapak mengetok-ngetok pintu kamar dibarengi seruan dengan suara yang cukup nyaring mencoba membangunkan setiap tamu yang sedang menikmati peraduan. Suara panggilan tersebut tidak saya hiraukan, walau sempat mengganggu ketenangan istirahat saya. Sengaja memang, kedatangan saya ke Bromo kali ini khusus untuk menikmati acara jazz gunung, bukan untuk memburu sunrise di penanjakan.
Pukul 06.00 pagi saya pun terbangun karena sorotan sinar mentari yang masuk dari balik kaca jendela kamar. Saya pun bergegas bangun dan merapikan jaket yang saya kenakan. Tak perduli dengan muka bantal karena belum cuci muka maupun sikat gigi. Boro-boro cuci muka, membayangkan dinginnya air saja sudah membuat saya bergidik terlebih dahulu. Saya bergegas keluar dari penginapan untuk menuju view Gunung Batok dan Gunung Bromo.
Langit biru, embun pagi, udara segar khas pegunungan, serta hawa dingin yang mencoba menembus kulit menyambut saya pagi itu ketika keluar dari penginapan. Ah, menyenangkan sekali kembali dapat menikmati udara pagi khas pegunungan seperti ini. Tak berapa lama berjalan saya pun tiba di lokasi untuk melihat pemandangan Gunung Batok dan Gunung Bromo yang saling bersebelahan.
Sungguh sempurna lukisan Sang Hyang Widhi pagi ini. Gunung Bromo yang terlihat mengeluarkan asap, Gunung Batok yang terlihat menghijau, kabut pagi yang tebal menutupi bagian lautan pasir pada bagian bawah, dipadu dengan birunya langit. Sungguh indah, sebuah pemandangan yang begitu sempurna dari Gunung Bromo memasuki musim kemarau.
Usai mengambil gambar, pandangan saya pun tertuju pada pohon cemara yang berada tak jauh dari tempat saya berdiri mengamati keindahan Gunung Bromo pagi ini. Terlihat embun pagi yang membeku perlahan mencari terpapar hangatnya sinar matahari pagi. Cantik ! Sulit untuk saya ungkapkan dengan kata-kata lukisan dari Sang Hyang Widhi pagi itu.
Tak lama memang saya mengamati keindahan Gunung Bromo dari samping penginapan. Saya pun bergegas kembali ke penginapan untuk membereskan barang-barang. Lalu lalang kendaraan cukup ramai melintasi jalanan di depan penginapan. Ada hal yang unik di antara ramainya kendaraan yang lalu-lalang. Sekumpulan bapak-bapak satu per satu menuntun kuda, menuruni bukit melalui jalan setapak menuju lautan pasir untuk mencoba peruntungan menyewakan jasa kuda-kuda kesayangan mereka. Tidak bisa saya bayangkan betapa curamnya bukit tersebut untuk dituruni. Entah, sepertinya jalan setapak tersebut memiliki jarak tempuh lebih dekat untuk segera menuju lautan pasir barangkali.
Menjelang pukul tiga pagi suasana homestay yang saya tinggali pun terdengar cukup riuh. Suara bapak-bapak mengetok-ngetok pintu kamar dibarengi seruan dengan suara yang cukup nyaring mencoba membangunkan setiap tamu yang sedang menikmati peraduan. Suara panggilan tersebut tidak saya hiraukan, walau sempat mengganggu ketenangan istirahat saya. Sengaja memang, kedatangan saya ke Bromo kali ini khusus untuk menikmati acara jazz gunung, bukan untuk memburu sunrise di penanjakan.
Pukul 06.00 pagi saya pun terbangun karena sorotan sinar mentari yang masuk dari balik kaca jendela kamar. Saya pun bergegas bangun dan merapikan jaket yang saya kenakan. Tak perduli dengan muka bantal karena belum cuci muka maupun sikat gigi. Boro-boro cuci muka, membayangkan dinginnya air saja sudah membuat saya bergidik terlebih dahulu. Saya bergegas keluar dari penginapan untuk menuju view Gunung Batok dan Gunung Bromo.
Langit biru, embun pagi, udara segar khas pegunungan, serta hawa dingin yang mencoba menembus kulit menyambut saya pagi itu ketika keluar dari penginapan. Ah, menyenangkan sekali kembali dapat menikmati udara pagi khas pegunungan seperti ini. Tak berapa lama berjalan saya pun tiba di lokasi untuk melihat pemandangan Gunung Batok dan Gunung Bromo yang saling bersebelahan.
Sungguh sempurna lukisan Sang Hyang Widhi pagi ini. Gunung Bromo yang terlihat mengeluarkan asap, Gunung Batok yang terlihat menghijau, kabut pagi yang tebal menutupi bagian lautan pasir pada bagian bawah, dipadu dengan birunya langit. Sungguh indah, sebuah pemandangan yang begitu sempurna dari Gunung Bromo memasuki musim kemarau.
Usai mengambil gambar, pandangan saya pun tertuju pada pohon cemara yang berada tak jauh dari tempat saya berdiri mengamati keindahan Gunung Bromo pagi ini. Terlihat embun pagi yang membeku perlahan mencari terpapar hangatnya sinar matahari pagi. Cantik ! Sulit untuk saya ungkapkan dengan kata-kata lukisan dari Sang Hyang Widhi pagi itu.
Tak lama memang saya mengamati keindahan Gunung Bromo dari samping penginapan. Saya pun bergegas kembali ke penginapan untuk membereskan barang-barang. Lalu lalang kendaraan cukup ramai melintasi jalanan di depan penginapan. Ada hal yang unik di antara ramainya kendaraan yang lalu-lalang. Sekumpulan bapak-bapak satu per satu menuntun kuda, menuruni bukit melalui jalan setapak menuju lautan pasir untuk mencoba peruntungan menyewakan jasa kuda-kuda kesayangan mereka. Tidak bisa saya bayangkan betapa curamnya bukit tersebut untuk dituruni. Entah, sepertinya jalan setapak tersebut memiliki jarak tempuh lebih dekat untuk segera menuju lautan pasir barangkali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar