Kamis, 31 Oktober 2013

Abuya Syaikh H. Muhammad Muda Waly al-Khalidy an-Naqsyabandy (2)

Pulang ke Aceh

Setelah Syaikh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah s.w.t., perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat Ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan Pesantren di tempat beliau dilahirkan, di Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan Pesantren di desa beliau sendiri.

Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji. Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.

Lahan tempat mendirikan Musholla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke Surau beliau. Ibu-ibu pada malam selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya. Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya, yang dalam istilah Aceh disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji dan dari Kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai Propinsi di Pulau Sumatra.

Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut :

Pertama : Darul-Muttaqin, di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabanditah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal

Kedua : Darul `Arifin, dilokai ini bertempat tinggal guru guru yang sebagian besar sudah berumah tangga. Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia

Ketiga : Darul Muta`allimin, di tempat ini tinggal para santri pilihan diantaranya anak Syaikh Abdul ghani Al kampari, guru tasauf Syaikh muda Waly .

Keempat : Darus Salikin, dilokasi ini banyak asrama-asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.

Kelima : Darul zahidin, lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini. Kalau bukan karena tempat lainnya sudah penuh, maka jarang sekali santri yang mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan .

Keenam : Darul Ma`la, lakasi ini merupakan lokasi nomor satu karena tanahnya tinggi dan udaranyapun bagus dan terletak dipinggir jalan .

Semua lokasi ini dinamakan oleh Syaikh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadai hamba-hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba-hamba yang Zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin), hamba-hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat .

Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari Desa Pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di Ibukota Kecamatan. Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus, pelajarnya juga tidak banyak, para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum yang berfaham wahabi sehingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatan yang diadakan para pelajar membahas masalah-masalah khilafiyah dengan dalil-dalilnya menurut pendirian ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalangan Muhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syaikh Muda Waly, namun semuanya dapat di jawab oleh Syaikh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.



Pendidikan Pesantren Darussalam

Di pesantren yang beliau bangun itu Syaikh Muda Waly mengajarkan kepada masyarakat ilmu agama. Khusus untuk kaum ibu pada hari malam selasa, hari senin, dan malam senin. Pada malam senin kaum ibu mendapat ceramah agama dari guru-guru yang telah ditetapkan oleh beliau. Sedangkan pada selasa pagi sebelum zuhur, setelah pengajian subuh, semua kaum ibu-ibu yang bermalam di pesantren ikut membangaun Pesantren dengan menimbun sebagian lokasi Pesantren yang belum rata dengan batu yang diambil dari pantai. Satu hal yang aneh dan luar biasa, batu itu dihempaskan oleh gelombang air laut ke pantai dan batu-batu itu semuanya berwarna putih bersih. Batu-batu ini hanya terdapat di pantai yang berada di dekat pesantren. Setelah shalat Dhuhur para ibu-ibu tersebut mendapat ceramah dari guru yang telah ditentukan oleh Syaikh Muda Waly yang kemudian lanjutkan dengan tawajuh dalam tariqat Naqsyabandiyah dan shalat Ashar. Sedangkan waktu untuk kaum laki-laki adalah pada selasa malam mulai maghrib hingga larut malam.

Pada setiap bulan Ramadan Syaikh Muda Waly mengadakan khalwat untuk masyarakat yang dimulai sejak sepuluh hari sebelum Ramadan sampai harai raya Idul Fitri. Ada yang berkhalwat selama 40 hari ada juga yang 30 hari dan ada juga yang 20 hari. Selain dalam bulan Ramadan, khalwat juga diadakan dalam bulam Rabiul awal selama 10 hari. Demikian juga pada bulan Zulhijjah selama 10 hari semenjak tanggal satu sampai 10 Zulhijjah.

Sistem pendidikan pesantren yang diterapkan oelh Syaikh Muda Waly terbagi kepada dua :

Pertama : sistem qadim, yakni sitem pendidikan yang telah berjalan bagi para Ulama sebelumnya. Sistem ini menekankan supaya kitab-kitab yang dipelajari mesti khatam. Guru hanya membaca, menerjemahkan dan menjelaskan sepintas lalu makna yang terkandung di dalamnya. Menurut beliau sitem ini kita bagaikan naik bus pada malam hari, yang kita lihat hanyalah jalan yang disorot oleh lamu bus saja, walaupun perjalanannya panjang dan banyak yang kita lihat tetapi hanyalah sekedar jalan yang diterangi oleh lampu bus saja, sedangakan dikiri kanannya kita tidak melihatnya .

Kedua : sistem madrasah. Pada sitem ini para pelajar sudah mengunakan bangku dan papan tulis. Pada sitem kedua ini tidak ditekankan pada khatam kitab, tetapi harus banyak diskusi untuk pendalaman. Sebagai contoh, apabila pelajaran Fiqh yang dibaca adalah kitab Tuhfah al-Muhtaj Syarah Minhajul Thalibin, maka yang dibaca hanya sekitar 10 baris saja, dilanjutkan dengan pembahasan pada matannya, syarahnya serta hasyiah hasyiahnya serta pendalaman berdasarkan dalil-dalilnya baik dari Al Qur an, Hadits ataupun disiplin ilmu lainnya. Ini memang memakan waktu yang lama, tetapi bila para santri terbiasa dengan sistem ini maka akan menghasilkan pemahaman yang mendalam dalam memahami kitab kuning. Rupanya kedua sitem ini sangat menarik sehingga banyak santri yang berdatangan ke Darussalam yang berasal dari berbagai daerah.

Syaikh Muda Waly mengamalkan ilmunya dengan luar biasa. Pukul 6.00 pagi beliau mengajar semua santri muali dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Disini terbuka pintu bagi semua santri untuk menanyakan segala sesuatu tentang lafaz yang beliau baca. Pukul 9.00 pagi setelah sarapan dan Shalat Dhuha belaiu menagjar pada tingkat yang lebih tinggi, yang terdiri dari para dewan guru. Kitab yang dibaca adalah Tuhfah al-Muhtaj, Jam`ul Jawami` dan kitab besar lainnya samapai waktu ashar. Sesudah Asar beliau juga menyediakan waktu bagi siapa saja yang berminat mengambil ilmu dari beliau. Syaikh Muda Waly sangat disiplin dalam mengajar sehingga dalam kondisi sakitpun beliau tetap mengajar. Pernah pada satu kali pada saat beliau sakit, para murid beliau sepakat untuk tidak mendebat beliau, tetapi hanya mendengarkan penjelasan dari beliau. Rupanya hal ini membuat beliau marah, kenapa para murid beliau tidak mendebat beliau. Pertanyaan dan debatan dari murid-murid beliau rupanya menjadi obat yang sangat mujarab bagi beliau. Tetapi beberapa saat setelah mengajar beliau kembali jatuh sakit. Ketekunan dan kedisiplinan beliau dalam mendidik muridnya telah membuahkan hasil yang luar biasa, sehingga dari beliau lahirlah puluhan Ulama-ulama yang menjadi benteng Ahlussunnah di Aceh dan sekitarnya. Hampir seluruh pesantren di Aceh sekarang ini mempunyai pertalian keilmuan dengan beliau dan dari murid-murid beliau lahir pulalah Ulama-ulama terpandang dalam masyarakat. Dengan adanya perjuangan beliau perkembangan faham wahabi dan ide pembaruan terhadap ajaran islam yang telah menjalar ke sebagian tokoh-tokoh di Aceh dapat ditekan. Beliau sangat istiqamah dengan faham Ahlussunnah dan mazhab Syafi’i.


Murid-murid Beliau :

1.      al-Marhum Tgk. H. Abdullah Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireuen.
2.      al-Marhum Tgk. H. Abdul Aziz bin Shaleh, pimpinan Pesantren LPI MUDI Mesra (Ma`hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya) Samalanga, Bireuen.
3.      al-Marhum Tgk. H. Muhammad Amin Arbiy Tanjongan, Samalanga, Bireuen.
4.      Tgk. H. Muhammad Amin Blang Bladeh (Abu Tumin) pimpinan Pesantren al-Madinatut Diniyah Babussalam, Blang Bladeh, Bireuen.
5.      Teungku H. Daud Zamzamy. Aceh Besar.
6.      al-Marhum Tgk. H. Syaikh Syihabuddin Syah (Abu Keumala) pimpinan Pesantren Safinatussalamah, Medan.
7.      Teungku Adnan Mahmud pendiri Pesantren Ashabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan.
8.      al-Marhum. Tgk. H. Syaikh Marhaban Krueng Kalee (putra Syaikh H. Hasan Krueng kale) mantan Menteri Muda era Sukarno.
9.      al-MarhumTgk. H. Muhammad Isa Peudada, Bireuen.
10.  al-Marhum Tgk. H. Ja`far Shiddiq, Kuta Cane.
11.  al-Marhum Tgk. H. Abu Bakar sabil, Meulaboh, Aceh Barat.
12.  al-Marhum Tgk. H. Usman fauzi, Cot Iri, Aceh Besar.
13.  Abuya Prof. H. Muhibbuddin Waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
14.  al-Marhum Syaikh Jailani.
15.  al-Marhum Syaikh Labai Sati, Padang Panjang.
16.  al-Marhum Tgk. H. Qamaruddin, Teunom, Aceh Barat.
17.  Tgk. H. Syaikh Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon, Aceh utara.
18.  Tgk. H. Syaikh Ahmad Blang Nibong, Aceh Utara.
19.  Tgk. H. Syaikh Abbas Parembeu, Aceh Barat.
20.  Tgk. H. Syaikh Muhahammad Daud, Gayo.
21.  Tgk. H. Syaikh Ahmad, Lam Lawi, Aceh Pidie.
22.  Tgk. H. Muhammad Daud Zamzami, Aceh Basar.
23.  Tuanku H. Idrus, Batu Basurek, Bangkinang.
24.  al-Marhum Tgk. H. Syaikh Amin Umar, Panton labu. Aceh Utara.
25.  Syaikh H. Nawawi Harahap, Tapanuli.
26.  al-Marhum Tgk. H. Syaikh Usman Basyah, Langsa.
27.  Tgk. H. Syaikh Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara.
28.  Tgk. H. Syaikh Basyah Kamal Lhoung, Aceh Barat
Dan lain lain banyak lagi.


Karya Beliau

1.      al-Fatwa, Sebuah kitab dalam bahasa Indonesia dengan tulisan arab, berisi kumpulan fatwa beliau mengenai berbagai macam permasalahan agama.
2.      Tanwirul anwar, berisi masalah masalah aqidah.
3.      Risalah Adab Zikir Ismuz Zat.
4.      Permata Intan, sebuah risalah singkat berbentuk soal-jawab mengenai masalah i`tidaq.
5.      Intan Permata, risalah singkat berisi masalah tauhid
Dalam risalah yang terakhir (Intan Permata) beliau memberi keputusan tentang perdebatan Syaikh Ahmad Khatib dengan Syaikh Sa`ad Mungka, beliau menyebutkan :
“Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah wal Jamah, bahwasanya karangan yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syaikh yang mulia itu, karena beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syaikh Sa`ad Mungka Payakumbuh (Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula oleh yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib dengan kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syaikh As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan Syaikh Ahmad al-Khatib. Karena itu maka hamba yang faqir ini, Syaikh Muhammad waly al-Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syaikh Ahmad Khathib dan karangan karangan Syaikh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua Ulama itu sifatnya soal-jawab dan debat-berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syaikh Ahmad Khatib itu murid Sayyid Syaikh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syaikh As`ad Mungkar murid Mufti az-Zawawy, gurunya Syaikh Usman Betawi yang masyhur itu. Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syaikh Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as-Saiful Maslul karangan Ulama Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi murid-muridku yang melihat karanagn Syaikh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.”
Syaikh Muda Waly bukan hanya berperan dalam menyebarkan ilmu agama saja. Tapi beliau memiliki andil yang besar dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Republik Indonesia. Dalam mempertahankan proklamasi 17 agustus 1945 para ulama Aceh tampil kedepan dengan mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah dan mendirikan barisan barisan perjuangan. Pada tanggal 18 Zulqa`dah 1364 Teungku Syaikh Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa dengan menyatakan bahwa perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dan berperang menetang musuh-musuh Allah adalah suatu kewajiban dan apabila mati dalam peperangan itu akan mendapat pahala syahid. Disamping itu juga diterangkan pula hendaklah ummat islam mengorbankan jiwa dan harta untuk menolong agama Allah dan menolong negara yang sah. Fatwa itu disebarkan luas ke seluruh Aceh melalui pemuda-pemuda Aceh yang tergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi Pemuda Republic Indonesia.

Berdasarkan itu Syaikh Muda Waly di Labuhan Haji memperkuat fatwa tersebut melalui pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah umum. Bahkan beliau menjabat sebagai pimpinan tertinggi dalam bariasan Hizbullah, meskipun dalam pelaksanaannya banyak diserahkan kepada keponakannya yang juga merupakan seorang Ulama muda yang kemudian menjadi menantu beliau. Di samping itu PERTI yang dipimpin oleh Nya` Diwan telah membawa satu barisan perjuanagan dari Sumatra Barat yang disebut Lasymi (Laskar Muslimin Indonesia). Antara kedua laskar ini saling mengisi demi memperjuangkan Ahlussunnah dan mempertahankan kedaulatan Negara dari tangan penjajah..


Peristiwa Berdarah di Aceh

Dalam mempertahankan keutuhan negara Indonesia beliau juga memiliki peran ynag sangat penting. Pada tanggal 13 Muharram 1373 / 21 september 1953 meletuslah peristwa berdarah di Aceh yaitu peristiwa DI/TII yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Bereueh, mantan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo dan mantan Gubernur Aceh dan merupakan salah seorang pemimpin utama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Syaikh Muda Waly tidak bergabung dalam PUSA karena sebagian besar ulama ynag bergabung dalam PUSA telah terpengaruh dengan ide pembaruan dalam Islam dari Minangkabau.

Dalam hal ini para Ulama besar di Aceh yang terdiri dari Kaum Tua antara lain Syaikh Muda waly, Syaikh Hasan Krueng Kalee, Teungku Abdul Salam Meuraksa, Teungku Saleh Mesigit Raya dan Ulama lainnya tidak mendukung gerakan ini, karena mereka mengetahui bahwa latar belakang kejadian ini bukanlah hal yang dikaitkan dengan agama tetapi hanyalah hal yang dikaitkan dengan dunia semata. oleh karena itu para Ulama tersebut mengeluarkan fatwa mengutuk pemberontakan tersebut atas nama para mereka. Tetapi karena semua ulama tersebut berada dalam PERTI maka penonjolannya lebih terlihat atas nama PERTI. Teungku Syaikh Muda Waly pada tanggal 18 November 1959 dalam suatu rapat umum di Labuhan Haji mengharamkan pemberontakan tersebut dan beliau menyatakan siap memberi bantuan menurut kesanggupan beliau. Para Ulama-ulama tersebut sangat menyayangkan kenapa faktor pemberontakan tersebut tidak di musyawarahkan terlebih dahulu dengan para ulama-ulama besar di Aceh. Sehingga segala permasalahan dapat diselesaikan tanpa harus melalui peristiwa berdarah. Karena jasa beliau itu, beliau pernah diundang oleh Presiden Sukarno ke Istana Bogor pada tahun 1957 untuk menghadiri Konferensi Ulama Indonesia untuk memutuskan kedudukan Presiden Sukarno menurut Islam. Dalam konferensi tersebut beliau dan para ulama dari seluruh Indonesia sepakat menyatakan bahwa presiden Sukarno itu Presiden yang sah dengan prediket Wali al-Amri adh-Dharury bisyl Syaukah.


Wafat Beliau

Setelah berjuang demi tegaknya agama ini, akhirnya Syaikh Muda Waly kembali kehadapan Allah pada tanggal 11 syawal 1381 / 20 maret 1961 tepat pukul 15.30 WIB hari selasa. Jenazah beliau di shalatkan oleh Ulama dan murid-murid beliau serta masyarakat yang terjangkau kehadirannya ke Dayah Labuhan Haji, karena pada zaman itu kendaraan umum masih sangat minim di Aceh selatan. Beliau dimakamkan dalam komplek Dayah Labuhan Haji yang beliau pimpin. Selanjutnya kepemimpinan Pesantren tersebut dilanjutkan oleh putra-putra beliau secara bergantian antara lain Syaikh Muhibbuddin Waly, Syaikh Jamaluddin Waly, Syaikh Mawardi Waly, Syaikh Nasir Waly, Syaikh Ruslan Waly dan putra-putra beliau lainnya. Hal ini karena hampir semua putra beliau menjadi Ulama-ulama terkemuka. Beliau bukan hanya berhasil dalam mendidik murid-muridnya tetapi juga berhasil mendidik putra-putranya menjadi Ulama-ulama yang gigih mempertahankan faham Ahlussunnah wal Jamaah. Keberhasilan beliau dapat terlihat dengan jelas, dimana sekarang ini hampir semua pesantren tradisional di Aceh mempunyai silsilah keilmuan dengan beliau. Coba kita lihat beberapa pesantren di Aceh saat ini antara lain :

1.      Pesantren LPI .MUDI MESRA, Samalanga dipimpin oleh Teungku H.Hasanoel Basry(Abu Mudi)murid dari Syaikh Abdul Aziz (murid Syaikh Muda Waly, pimpinan MUDI MESRA sebelumnya)
2.      Pesantren Al Madinatud Diniyah Babusslam Blang Bladeh, Bireun dipimpin oleh Syaikh H.Muhammad Amin Blang Bladeh (murid Syaikh Muda Waly)
3.      Pesantren Malikussaleh Panton Labu Aceh utara, dipimpin oleh Syaikh .H. Ibrahim Bardan (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
4.      Pesantren Darul Huda Lhueng Angen, Lhok Nibong, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Abu Daud(murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
5.      Pesantren Darul Munawwarah, Kuta Krueng, Bandar Dua. Pidie Jaya, dipimpin oleh Tgk. H. Usman Kuta Krueng (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
6.      Pesantren Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireun, dipimpin oleh Tgk. Muhammad Wali, putra Syaikh Abdullah Hanafiah (murid Syaikh Muda waly dan pimpinan Pesantren tersebut sebelumnya)
7.      Pesantren Raudhatul Ma`arif Cot Trueng Aceh Utara, dipimpin oleh Tgk. H. Muhammad Amin (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
8.      Pesantren Darul Huda, Paloh Gadeng, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Mustafa Ahmad (Abu Mustafa Puteh, murid Syaikh Muhammad Amin Blang Bladeh)
9.      Pesantren Ashhabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan, dipimpin oleh Syaikh Marhaban Adnan (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga, putra Syaikh Adnan Mahmud Bakongan)
10.  Pesantren Ruhul Fata, Seulimum, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. H. Mukhtar Luthfy (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
11.  Pesantren Serambi Makkah, Meulaboh, Aceh Barat, dipimpin oleh Syaikh Muhammad Nasir L.c (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga putra Abuya Syaikh Muda waly)
12.  Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah (BUDI) Lamno, Aceh Jaya, dipimpin oleh Tgk. H. Asnawi Ramli, sebelumnya dipimpin oleh Tgk. Syaikh Ibrahim Lamno (murid Syaikh Abdul `Aziz, Samalanga)
13.  Yayasan Dayah Ulee Titi, Ulee Titi, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. Syaikh `Athaillah (murid Syaikh Ibrahim Lamno)
Kesemua Pesantren tersebut dan beberapa pesantren lainnya mempunyai pertalian keilmuan dengan Syaikh Muda Waly. Demikianlah manaqib singkat Syaikh Muda Waly yang lebih populer dalam masyarakat Aceh dengan sebutan Abuya Muda Waly, seorang Ulama yang sangat berperan dalam mempertahankan Faham Ahlussunnah dan mazhab Syafii di bumi Aceh. Seorang Ulama besar yang bisa dikatakan sebagai Mujaddid untuk Aceh dan sekitarnya. Semoga Allah menempatkan beliau disisi-Nya yang tinggi dan semoga Allah melahirkan Syaikh Muda Waly lainnya untuk Aceh ini khususnya dan untuk ummat Islam umumnya. Amin ya Rabbal’alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar