Sekilas Sejarah
Pariwisata Indonesia
Sejarah pariwisata Indonesia lebih panjang daripada usia Republik. Ketika Indonesia diproklamasikan, 17 Agustus 1945, beberapa destinasi wisata sudah relatif dikenal luas. Ini berkat didirikannya semacam dewan perjalanan wisata, Vereeniging Toeristenverkeer (VT) pada 1910 di Batavia (lihat Dieny Ferbianty, Sejarah Pariwisata Indonesia, Program Magister, ITB, Bandung, 2007). Dan VT membuat buku panduan wisata India-Belanda pertama kali, dalam bahasa Inggris, isinya tentang daerah wisata di Jawa, Bali, Lombok, Sumatra, Toraja (Sulawesi Selatan). Pariwisata Hindia-Belanda makin popular (di kalangan orang Eropa, memang) setelah terbit koran mingguan tentang pariwisata, Java Tourist Guide, 1923. Selain artikel tentang daerah wisata, koran ini juga menginformasikan perjalanan kereta api, tentang hotel, dan ada juga semacam pelajaran praktis bahasa lokal. Beberapa hotel pun menerbitkan panduan wisata untuk satu situs, misalnya, panduan wisata Pegunungan Dieng, panduan wisata Jawa Barat, dan lain-lainnya. Boleh dikata prasarana wisata ketika itu lengkap sudah: ada dewan wisata tingkat “nasional” yang memiliki cabang di sejumlah daerah, ada media wisata, hotel, asosiasi turis --misalnya Asosiasi Turis Garut, Asosiasi Turis Magelang (lihat Dieny Ferbianty: 2007) Biro perjalanan yang menawarkan tour pun bermunculan sejak itu. Namun semua itu berantakan begitu Jepang menjajah Indonesia. Penjajah dari Asia ini seperti hanya memiliki satu tujuan: memenangkan Perang Pasifik. Karena itu segala sesuatu dimanfaatkan untuk prasarana perang, termasuk kesenian yang dijadikan proganda Asia Timur Raya, termasuk dunia wisata dengan antara lain mengubah hotel menjadi rumah sakit bahkan asrama tentara. Zaman bergerak dan Republik Indonesia berdiri. Meski ketika itu di republik baru ini penuh perjuangan sehubungan agresi Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali dengan cara menumpang Sekutu, pemerintah tak melupakan pariwisata. Pelanpelan semuanya dipulihkan –dari perhotelan sampai transportasi, dari organisasi sampai sekolah wisata.Sebuah peristiwa MICE, khususnya conference, bisa dibilang langsung atau tak langsung merangsang perkembangan dunia wisata Indonesia: Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung. Paling tidak panitia konferensi ini mestinya membawa delegasi-delegasi ke beberapa situs wisata di sekitar Bandung. Yang jelas, setelah Konferensi ini berdirilah Yayasan Tourisme Indonesia, lembaga nirlaba yang bertujuan menggairahkan dunia wisata Indonesia lewat segala jalan:kerjasama dengan pers, dengan lembaga wisata Negara lain, dengan pihak imigrasi dan beacukai, dengan kementerian luar negeri. Semua kerja sama bertujuan mempermudah hal-hal yang berkaitan dengan turisme, misalnya urusan visa. Sewindu kemudian, 1963, urusan wisata dimasukkan ke dalam lembaga struktural, menjadi bagian dari kementerian perhubungan darat, pos, telekomunikasi, dan pariwisata. Pada tahun inilah Indonesia pertamakali menjadi tuan rumah PATA (Pacific Asia Travel Association). Selanjutnya dunia wisata diurus oleh pejabat struktural, dengan atau tidak dicantumkan kata “pariwisata” dalam kementerian. Pada 1988 pariwisata berada di depan dalam kementerian pariwisata, pos, dan telekomunikasi. Dan pada 2000 pariwisata disatukan dengan kebudayaan menjadi kementerian kebudayaan dan pariwisata.Perlu dicatat, meski destinasi wisata terkait dengan geografi, kebijakan dalam perwisataan tak terpengaruh oleh pembagian provinsi yang berubahubah. Pada 1945 Indonesia hanya dibagi dalam delapan provinsi (Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, Maluku).Kemudian provinsi dimekarkan dari tahun ke tahun. Pada 1950 ada 11 provinsi; pada 1956, 15; pada 1957, 17; pada 1958,20; pada 1959, 20; pada 1960, 21; pada 1967, 25; pada 1969, 26; pada 1976, 27; pada 1999, tetap 27 provinsi (Timor Timur merdeka, dan Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara); pada 2000, 32; dan pada 2002, 33 provinsi.
Lalu apa tantangan wisata di Negara kepulauan terbesar di dunia ini? Indonesia terdiri dari lebih 17.500 pulau, dengan panjang pantai total lebih dari 6.360 km. dari Sabang sampai Merauke adalah lebih dari 1.120 suku bangsa. Ini sebuah kekayaan tak terkira sehubungan dengan wisata bahari dan budaya. Ditambah bukit dan pegunungan, wisata alam pun tertebar luas. Dengan harta seperti itu sesungguhnya tinggal masalah manajemen dan kerja keras untuk menjaga, mengatur, mengembangkan, dan mempromosikan pariwisata Indonesia ke segala penjuru. Sehingga hal yang dirumuskan oleh Dewan Pariwisata Nasional pada 1969 bisa dicapai. Dewan Pariwisata merumuskan antara lain, pariwisata untuk “menghasilkan devisa dan pendapatan masyarakat, kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, dan mendorong usaha industri lainnya,” juga untuk “meningkatkan persahabatan dan persaudaraan nasional dan internasional.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar