Di daerah Yogyakarta dan sekitaran Jawa Tengah banyak ditemukan bangunan-bangunan candi yang hingga kini masih bisa nikmati keberadaannya. Peradaban Hindu-Budha mulai dari Dinasti Sanjaya hingga Dinasti Syailendra tumbuh subur di kawasan ini, maka tak heran jika beberapa peninggalan mereka masih bisa kita nikmati hingga sekarang. Hari Sabtu kemarin (18/10) saya diajak oleh kawan untuk jalan-jalan menuju kawasan Candi Abang. Bagi saya, candi ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan candi-candi kecil lain yang pernah saya kunjungi sebelumnya.
Matahari pagi ini cukup terik, laju motor pun saya arahkan menuju kawasan Berbah yang tak jauh dari daerah Prambanan. Udara panas dan berdebu khas musim kemarau menyambut perjalanan kami pagi ini sepanjang menyusuri kawasan Berbah. Beberapa pepohonan nampak meranggas, namun terlihat kontras dengan tanaman palawija nampak cukup subur tumbuh di ladang-ladang yang dikelola oleh penduduk sekitar. Tibalah kami di sebuah bukit, dengan jalan aspal baru berkontur menanjak menuju sebuah perkampungan yang tak jauh dari lokasi di mana Candi Abang berada. Kami pun berhenti di salah satu rumah penduduk, kemudian meminta izin untuk menitipkan motor kami.
Dari perkampungan sekitar, kami lanjutkan perjalanan menuju Candi Abang dengan berjalan kaki. Nampak hutan jati yang meranggas diterjang panasnya musim kemarau setia menemani sepanjang perjalanan menuju lokasi. Bukit kecil pun harus kami daki sebelum tiba di mana Candi Abang berada. Seperti yang saya utarakan sebelumnya, candi ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan candi-candi kecil yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Anda tidak akan menemukan bangunan candi yang sepenuhnya utuh, yang terbuat dari bongkahan material batu andesit sebagaimana ciri khas bangunan candi yang tersebar di Yogyakarta dan sekitaran Jawa Tengah, malainkan sebuah gundukan tanah yang menjulang membentuk sebuah bukit. Jika diperhatikan dengan seksama, maka Anda akan menemukan banyak potongan batu bata merah yang sebagian terkubur di dalam tanah, sebagian lagi tampak berserakan di sekitaran bukit tersebut.
Candi Abang berlokasi di atas perbukitan. Pembangunan candi yang berada di atas bukit memang memiliki sebuah alasan. Orang-orang jaman dahulu menganggap bahwa tempat yang tinggi, dalam hal ini adalah perbukitan, dipercaya sebagai tempat bersemayamnya dewa-dei yang mereka puja dalam ajaran mereka. Maka dari itulah dibangun sebuah candi yang berguna sebagai tempat pemujaan, salah satunya adalah untuk memohon kesuburan. Bukit di Candi Abang tersebut akan nampak gersang, tertutup oleh rerumputan yang tampak menguning di musim kemarau. Pun jika musim penghujan, bukit tersebut akan nampak terlihat kehijauan ditutupi oleh rerumputan. Ada yang bilang, jika Candi Abang disandingkan bak Bukit Teletubies-nya Jogja. Candi Abang yang tertutup oleh gundukan tanah mau tak mau membuat kita penasaran, bagaimana rupa asli dari bangunan candi ini. Imajinasi kita seakan diajak menerka-nerka, membayangkan bagaimana rupa sang Candi Abang di masa lampau sebelum tertimbun oleh material tanah hasil letusan gunung berapi pada masa silam.
Batu Bata Merah
Boleh dikata, Candi Abang memang cukup nyeleneh jika dibandingkan dengan bangunan candi lainnya. Konstruksi bangunannya menggunakan batu bata merah, berbeda dengan bangunan candi pada umumnya di sekitaran Jawa Tengah yang menggunakan batu andesit sebagai bahan bangunannya. Bangunan candi dengan konstruksi batu bata merah mengingatkan kita dengan bangunan-bangunan candi yang tersebar di daerah Jawa Timur yang dibangun pada masa kekuasaan Kerajaan Majapahit. Jika dirunut lagi, keberadaan bangunan candi yang ada di sekitaran Jawa Tengah rata-rata dibangun pada masa kerajaan Mataram Kuno yang memiliki usia jauh lebih tua jika dibandingkan dengan Kerajaan Majapahit bukan? Tapi mengapa, bangunan Candi Abang ini menggunakan batu bata merah sebagai bahan utama pembuatan candi?
Setiap lokasi memiliki cerita tersendiri, begitu juga dengan Candi Abang ini. Konon katanya di Candi Abang ini tersimpan harta karun, sehingga menarik beberapa pihak yang tidak bertanggung jawanb untuk menggali gundukan bukit di Candi Abang ini guna menemukan harta karun tersebut. Ada pula cerita mistik tentang orang-orang yang mengadakan ritual untuk mencari pesugihan, atau kepercayaan warga sekitar kenapa di atas gundukan bukit tersebut tidak ditumbuhi pohon besar melainkan hanya rerumputan.
Kondisi Candi Abang Kini
Walaupun infrastruktur jalan menuju Candi Abang sudah dibilang cukup memadai, namun ada beberapa hal yang sedikit membuat miris saya ketika mengunjungi candi ini. Candi ini terkesan kurang mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait. Papan informasi pun masih terlihat kosong, sehingga pengunjung yang datang tidak bisa mendapatkan informasi tertulis terkait dengan keberadaan Candi Abang ini, seperti sejarah dan tahun penemuan candi misalnya. Perbukitan di sekitar Candi Abang pun juga sebagian "dialih fungsikan" sebagai track offroad sepeda. Namun, ada pula beberapa motor yang juga "mencoba" melewati jalur track ini. Di sisi lain memang keberadaan track offroad sepeda (yang kadang digunakan juga oleh motor untuk mencoba jalur offroad) ini bisa meramaikan lokasi Candi Abang, namun semoga saja keberadaan mereka tidak merusak sebagian kawasan peninggalan cagar budaya.
Pemandangan Cantik dari Atas Bukit
Jika kita menaiki puncak bukit di Candi Abang, maka perhatikanlah kondisi lingkungan sekitar. Kitaakan menemukan pemandangan yang cukup kontras antara bukit di Candi Abang dengan kondisi yang ada di sekitar. Bukit di Candi Abang akan terasa cukup kering dan gersang, berdeda dengan kondisi yang ada di bawah bukit yang terlihat menghijau oleh tanaman padi dan palawija yang tumbuh subur di sana. Kawasan di sekitar Berbah memang dijuluki sebagai salah satu lumbung padi di kawasan Sleman. Maka tak heran jika persawahan di sekitar kawasan ini tumbuh dengan subur.
Bangunan candi yang dibangun di tempat yang gersang juga biasanya menandakan jika candi tersebut merupakan candi untuk pemujaan Dewa Siwa. Candi Siwa biasanya memiliki ciri khas adanya bangunan candi yang memiliki lingga dan yoni. Di kawasan Candi Abang memang belum ditemukan bangunan lingga dan yoni tersebut. Namun, menurut penuturan teman saya yang mengajar sejarah, ciri khas lain dari Candi Siwa biasanya dibangun di tempat gersang berfungsi sebagai tempat memuja Dewa Siwa guna memohon kesuburan di daerah sekitarnya. Entahlah, saya juga masih belum mencari literatur lebih mendalam lagi mengenai candi-candi mengenai corak Hindu maupun Budha, semoga opini di dalam tulisan saya tentang Candi Abang ini tidak menyesatkan, huehehehe !
Oh iya, di sekitar Candi Abang ini juga ada sebuah pohon duwet yang cukup langka sekarang keberadaannya. Pada jaman saya masih kecil, saya sering menjumpai buah ini tumbuh subur di beberapa tempat. Tapi sekarang rasanya saya sudah jarang sekali menemukan buah ini. Buah duwet memiliki bentuk lonjong bulat dengan warna kehitaman. Rasanya sepat-sepat manis. Awalnya saya cukup heran ketika melihat beberapa remaja lokal yang betah lama-lama memanjat pohon. Setelah saya dekati, ternyata mereka sedang mencari buah duwet ini !
Terlepas dari cerita yang ada serta teka-teki tentang candi ini, bangunan Candi Abang memang mengajak kita untuk berimajinasi membayangkan bagaimana bentuk sesungguhnya bangunan candi ini. Bahan materialnya yang terbuat dari batu bata merah yang dirasa cukup nyeleneh dibandingkan dengan bangunan candi yang ada di sekitaran Jawa Tengah semakin membuat penasaran rasa ingin tahu serta imajinasi tentang keberadaan Candi Abang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar