Tidak lengkap rasanya bila sudah lama tinggal di Jogja tidak berburu kuliner khas yang cukup melegenda. Bahkan jika harus berburu kuliner khas hingga ke pelosok-pelosok daerah demi terpenuhinya hasrat akan sebuah cita rasa. Perjalanan rasa kali ini membawa saya menyusuri salah satu sudut perkampungan di kawasan Bantul. Berada di antara daerah sentra gerabah Kasongan menuju daerah Gunung Sempu yang terkenal dengan area pemakamannya, terdapat sebuah warung pecel legendaris milik Mbah Warno "Kutang".
Dibutuhkan sedikit kejelian untuk menemukan warung sederhana milik Mbah Warno "Kutang". Papan nama warung yang sangat kecil dan sudah usang cukup menyulitkan saya untuk menemukan warung tersebut. Tak adanya tanda-tanda keberadaan warung membuat saya harus mengitari jalan beberapa kali, kesasar ke beberapa lokasi, hingga akhirnya saya menemukan warung sederhana tersebut berkat bantuan "GPS manual" alias bertanya ke sana ke mari dengan orang-orang yang saya temui.
Memasuki area warung, kita akan disambut dengan beberapa perabot khas jawa yang sangat sederhana dan terlihat apa adanya. Deretan kursi-kursi kayu panjang ditata menghadap meja, sebuah dipan bambu yang dilambari dengan tikar, serta tak lupa sebuah kendi yang ditaruh di atas meja seolah menyambut tamu yang datang. Tanpa pikir panjang, saya pun memesan satu porsi nasi pecel lengkap dengan lauk pauk yang tersedia, serta tak lupa segelas es teh manis sebagai pelepas dahaga.
Sambil meracik pesanan saya, Mbah Warno dan asistennya dengan ramah mengajak saya mengobrol seraya mencairkan suasana. Beliau-beliau ini memang sangat ramah, sesekali gurauan pun keluar dari keduanya, membuat suasana warung ini terlihat akrab. Tak lama kemudian satu piring nasi pecel lengkap dengan lauk-pauk seperti tahu tempe bacem, belut goreng, serta mangut lele yang tersaji di piring yang berbeda pun siap terhidang di meja.
Menu pertama yang saya cicipi adalah pecel racikan Mbah Warno yang cukup ramai diperbincangkan di jagat perkulineran Jogja, khususnya di dunia maya. Bumbu kacang pada sambel pecelnya memang nikmat, berpadu dengan rebusan sayuran seperti bayam, kacang panjang, dan kecambah membuat racikan pecel buatan Mbah Warno ini memang memikat. Jika sedang musim, biasanya pecel Mbah Warno ini ditambah dengan rebusan kembang turi. Racikan sambel pecel Mbah Warno ini memang memiliki ciri khas, baik dari tekstur maupun rasa. Tekstur kacang pada sambel pecel ini masih terasa, berpadu dengan sedikit rasa pedas yang semakin membangkitkan selera. Memang, dari segi racikan bahannya, pecel Mbah Warno ini terlihat sangat sederhana. Walaupun nampak sederhana, namun sama sekali tidak mengurangi kenikmatannya.
Dari sekian lauk-pauk yang dihidangkan, belut goreng dan mangut lele lah yang menggoda saya untuk mencicipinya. Belut yang bagi sebagian orang merupakan hewan yang menggelikan disulap oleh Mbah Warno menjadi sebuah hidangan yang menggugah selera. Jika dilihat sekilas, cara memasak belut ala Mbah Warno ini digepuk (dipukul) hingga berbentuk sedikit pipih, diberikan bumbu-bumbu, kemudian digoreng garing dengan balutan tepung. Entah bumbu apa saja yang dimasukkan, tapi rasa bawang dan ketumbar cukup terasa mendominasi rasa si belut. Belut goreng Mbah Warno memiliki tekstur yang renyah dan ndaging serta bumbu yang terasa gurih, walau ada beberapa yang terasa sedikit alot saking besarnya. Hidangan belut goreng Mbah Warno ini menjadi salah satu hidang favorit bagi saya.
Puas menikmati sajian nasi pecel lengkap dengan lauk belut goreng, mata saya pun tertuju pada sajian mangut lele yang dihidangkan di atas piring. Dua ekor lele yang disiram dengan kuah berwarna cokelat kekuningan pun siap disantap. Hidangan lele ini ditusuk dengan sebatang bambu, kemudian digoreng, lalu disiram dengan kuah. Di dalam kuah tersebut terdapat campuran irisan tempe yang mengingatkan saya pada salah satu sayur ndeso yang biasa saya cicipi di kampung halaman. Rasa lelenya gurih, namun kuahnya condong ke rasa asin. Well, maaf sih, saya kurang menyukai rasa asin, jadi bagi saya mangut lele di warung ini masih kurang nendang di lidah.
Soal harga, sajian makanan di warung Mbah Warno ini cukup terjangkau. Untuk nasi pecel dijual Rp 3.000,00 per-porsi, satu piring belut goreng berisi lima potong belut dijual dengan harga Rp 10.000,00 pun demikian dengan sepiring mangut lele yang terdiri dari dua ekor lele dibandrol dengan harga Rp 10.000,00. Ups, tenang, saya tidak menghabiskan semua menu yang dihidangkan kok, saya cuma makan nasi pecel dengan sepotong tahu bacem dan dua potong belut goreng serta satu ekor mangut lele plus es teh manis hanya dibandrol dengan harga Rp 15.000,00 saja. Cukup terjangkau menurut saya, sebanding dengan rasa dan suasana warungnya.
Selain rasa, ada cerita menarik di balik pemberian embel-embel sebutan nama bagi Mbah Warno. Mbah Warno "Kutang", demikian si empu warung makan ini disebut. Kutang merupakan sebutan untuk bra atau beha dalam bahasa Jawa. Ya, hal ini memang tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan Mbah Warno yang gemar mengenakan pakaian yang biasa disebut kaus kutang, semacam pakaian dalaman sebelum mengenakan kebaya bagi wanita-wanita Jawa di jaman dahulu. Bahkan, karena kebiasaan Mbah Warno inilah membuat sebuah portal pariwisata Jogja membuat branding artikel "pecel baywatch" untuk warung Mbah Warno "Kutang" ini.
Walau mungkin banyak penjual pecel yang dapat kita temui di mana saja, namun pecel di warung Mbah Warno ini memang memiliki "sesuatu" yang membuat orang rela berburu hingga ke pelosok untuk dapat menikmati pecel racikan beliau. Suasana warung ala ndeso, keramahan si Mbah Warno dan asistennya, serta rasa pecel yang memikat, membuat warung pecel milik Mbah Warno "Kutang" ini memang memiliki keistimewaan tersendiri bagi siapa pun yang pernah mampir mencicipi racikan pecelnya.
keterangan :
Walau terkesan mblusuk, namun warung Mbah Warno "Kutang" ini cukup mudah ditemukan. Dari arah Jogja langsung saja menuju Jalan Bantul, tepatnya menuju daerah Kasongan yang terkenal dengan kerajinan gerabahnya. Dari gerbang Kasongan, masuk lurus saja sampai menyeberangi jembatan, lurus lagi hingga menemukan pertigaan yang ada bangunan tugu di tengahnya. Dari pertigaan tersebut belok ke kanan, lurus hingga mentok menemukan pertigaan, lalu belok ke kiri hingga menemukan masjid di kiri jalan. Dari masjid lurus sedikit hingga menemukan pertigaan, lalu belok ke kanan lurus ikuti jalan. Warung Mbah Warno ini terletak tidak jauh setelah gapura Sembungan, tepatnya berada di sebelah kiri jalan. Bila masih bingung, monggo bertanya saja kepada penduduk setempat :)
Dibutuhkan sedikit kejelian untuk menemukan warung sederhana milik Mbah Warno "Kutang". Papan nama warung yang sangat kecil dan sudah usang cukup menyulitkan saya untuk menemukan warung tersebut. Tak adanya tanda-tanda keberadaan warung membuat saya harus mengitari jalan beberapa kali, kesasar ke beberapa lokasi, hingga akhirnya saya menemukan warung sederhana tersebut berkat bantuan "GPS manual" alias bertanya ke sana ke mari dengan orang-orang yang saya temui.
Memasuki area warung, kita akan disambut dengan beberapa perabot khas jawa yang sangat sederhana dan terlihat apa adanya. Deretan kursi-kursi kayu panjang ditata menghadap meja, sebuah dipan bambu yang dilambari dengan tikar, serta tak lupa sebuah kendi yang ditaruh di atas meja seolah menyambut tamu yang datang. Tanpa pikir panjang, saya pun memesan satu porsi nasi pecel lengkap dengan lauk pauk yang tersedia, serta tak lupa segelas es teh manis sebagai pelepas dahaga.
asisten mbah Warno |
Menu pertama yang saya cicipi adalah pecel racikan Mbah Warno yang cukup ramai diperbincangkan di jagat perkulineran Jogja, khususnya di dunia maya. Bumbu kacang pada sambel pecelnya memang nikmat, berpadu dengan rebusan sayuran seperti bayam, kacang panjang, dan kecambah membuat racikan pecel buatan Mbah Warno ini memang memikat. Jika sedang musim, biasanya pecel Mbah Warno ini ditambah dengan rebusan kembang turi. Racikan sambel pecel Mbah Warno ini memang memiliki ciri khas, baik dari tekstur maupun rasa. Tekstur kacang pada sambel pecel ini masih terasa, berpadu dengan sedikit rasa pedas yang semakin membangkitkan selera. Memang, dari segi racikan bahannya, pecel Mbah Warno ini terlihat sangat sederhana. Walaupun nampak sederhana, namun sama sekali tidak mengurangi kenikmatannya.
sajian pecel, belut goreng, dan gorengan |
Puas menikmati sajian nasi pecel lengkap dengan lauk belut goreng, mata saya pun tertuju pada sajian mangut lele yang dihidangkan di atas piring. Dua ekor lele yang disiram dengan kuah berwarna cokelat kekuningan pun siap disantap. Hidangan lele ini ditusuk dengan sebatang bambu, kemudian digoreng, lalu disiram dengan kuah. Di dalam kuah tersebut terdapat campuran irisan tempe yang mengingatkan saya pada salah satu sayur ndeso yang biasa saya cicipi di kampung halaman. Rasa lelenya gurih, namun kuahnya condong ke rasa asin. Well, maaf sih, saya kurang menyukai rasa asin, jadi bagi saya mangut lele di warung ini masih kurang nendang di lidah.
Soal harga, sajian makanan di warung Mbah Warno ini cukup terjangkau. Untuk nasi pecel dijual Rp 3.000,00 per-porsi, satu piring belut goreng berisi lima potong belut dijual dengan harga Rp 10.000,00 pun demikian dengan sepiring mangut lele yang terdiri dari dua ekor lele dibandrol dengan harga Rp 10.000,00. Ups, tenang, saya tidak menghabiskan semua menu yang dihidangkan kok, saya cuma makan nasi pecel dengan sepotong tahu bacem dan dua potong belut goreng serta satu ekor mangut lele plus es teh manis hanya dibandrol dengan harga Rp 15.000,00 saja. Cukup terjangkau menurut saya, sebanding dengan rasa dan suasana warungnya.
sosok Mbah Warno, sang pemilik warung |
Walau mungkin banyak penjual pecel yang dapat kita temui di mana saja, namun pecel di warung Mbah Warno ini memang memiliki "sesuatu" yang membuat orang rela berburu hingga ke pelosok untuk dapat menikmati pecel racikan beliau. Suasana warung ala ndeso, keramahan si Mbah Warno dan asistennya, serta rasa pecel yang memikat, membuat warung pecel milik Mbah Warno "Kutang" ini memang memiliki keistimewaan tersendiri bagi siapa pun yang pernah mampir mencicipi racikan pecelnya.
keterangan :
Walau terkesan mblusuk, namun warung Mbah Warno "Kutang" ini cukup mudah ditemukan. Dari arah Jogja langsung saja menuju Jalan Bantul, tepatnya menuju daerah Kasongan yang terkenal dengan kerajinan gerabahnya. Dari gerbang Kasongan, masuk lurus saja sampai menyeberangi jembatan, lurus lagi hingga menemukan pertigaan yang ada bangunan tugu di tengahnya. Dari pertigaan tersebut belok ke kanan, lurus hingga mentok menemukan pertigaan, lalu belok ke kiri hingga menemukan masjid di kiri jalan. Dari masjid lurus sedikit hingga menemukan pertigaan, lalu belok ke kanan lurus ikuti jalan. Warung Mbah Warno ini terletak tidak jauh setelah gapura Sembungan, tepatnya berada di sebelah kiri jalan. Bila masih bingung, monggo bertanya saja kepada penduduk setempat :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar