Melihat bangunan yang terbuat dari batuan andesit tersebut, pikiran serasa melayang membayangkan kejayaan di masa kerajaan. Candi, sebuah bukti kejayaan sekaligus bukti tingginya peradaban seni arsitektural dari masa lampau dari sebuah kerajaan.
Menemukan bangunan candi di Malang merupakan sebuah kejutan. Saya sebelumnya memang belum mengetahui tentang keberadaan bangunan candi di kota ini. Kebetulan melintas di kawasan perumahan Bukit Tidar, saya melihat tulisan "menuju ke Candi Badut", kemudian saya meminta teman saya untuk mampir ke bangunan tersebut. Secara administratif, Candi Badut terletak di Dusun Badut, Desa Karang Widoro, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Untuk berkunjung ke candi ini cukup melapor saja kepada petugas jaga yang berjaga di post penjagaan. Bedanya masuk ke area candi di daerah Jogja/Jawa Tengah dengan candi di Malang ini adalah kita tidak perlu membayar iyuran sepeser pun. Berbeda dengan candi-candi di Jogja maupun di Jawa Tengah
yang ada retribusi, baik yang resmi dari pemerintah maupun retribusi yang bersifat "suka rela".
Candi Badut memiliki satu buah bangunan induk candi. Candi ini masih dalam kondisi yang cukup terawat, namun sayang bagian atap candi sudah tidak ada. Mungkin saja sudah dalam kondisi yang rusak, atau mungkin dalam proses rekonstruksi. Di bagian candi utama terdapat sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan ini terdapat lingga dan yoni, lambang dari kesuburuan yang merupakan ciri khas dari bangunan candi dengan corak agam Hindu. Pemberian nama "badut" oleh penemunya yaitu Dr. Brandes dan Dr. VDK Bosch sendiri terkait dengan nama "liswa" yang tertulis dan prasasti Dinoyo. Prasasti ini memiliki angka tahun 862 saka atau 760 Masehi. Prasasti ini menceritakan daulu ada seorang raja yang bijaksana yang bernama Dewasinga. Di bawah naungan pemerintahannya, memancarlah api Putrikecwara yang menerangi sekelilingnya. Dewasinga ini memiliki anak yang bernama Raja Gajayana. Pembuatan prasasti ini juga bertepatan dengan diresmikannya Arca Agastya yang baru yang terbuat dari batu hitam yang sangat indah sebagai pengganti arca lama yang terbuat dari kayu cendana dan sudah lapuk. Di dalam prasasti Dinoyo ini pula disebutkan bahwa Raja Gajayana membuat sebuah bangunan suci yang sangat indah untuk Agastya dengan maksud untuk membinasakan penyakit. Nama "liswa" sendiri merupakan nama lain dari Raja Gajayana. Di dalam kamus bahasa Sansekerta, liswa memiliki arti yaitu anak kemidi atau tukang tari, di mana dalam bahasa jawa disebut badut (sumber : tulisan yang terpasang di papan informasi).
Perpaduan gaya arsitektural candi khas Jawa Tengah terlihat dari bagian kaki candi yang rata tidak diberi hiasan serta bagian bilik pintu yang berpenampil. Pada bagian sisi badan candi memiliki relung-relung tempat menyimpan arca. Ciri khas dari candi dengan corak agama Hindu adalah adanya arca Ganesha, arca Durga, dan arca Agastya. Perpaduan ciri khas antara candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini dikaitkan dengan tahun pembuatan prasasti Dinoyo dan dikaitkan dengan pindahnya pusat kerajaan dari Dinasti Sanjaya yang bergeser ke arah timur karena terdesak oleh raja dari Dinasti Syailendra. Di bagian depan candi utama diperkirakan ada bangunan candi perwara (candi pengiring), terlihat dari bekas konstruksi bangunan. Di sekiataran candi utama terdapat reruntuhan batu bekas dari bangunan candi yang ditata sedemikian rupa. Di antara tumpukan batu tersebut terlihat arca Nandi (arca berbentuk sapi) dalam keadaan yang cukup memprihantinkan.
Saya memperhatikan beberapa batuan yang terangkai di sudut candi ini. Beberapa batuan memiliki pola seperti ukiran yang indah. Saya kurang tau apakah candi tersebut memang memiliki ukiran pada dinding bebatuannya, ataukah memang terbentuk secara alami. Satu hal yang cukup disayangkan adalah adanya tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab mengukirkan nama mereka di bebatuan candi. Ini dapat kita lihat di bagian dinding pada ruang utama candi. Saya sendiri juga masih belum paham dengan sejarah penamaan candi ini. Apa hubungannya tukang tari dengan sebutan "badut", yang jelas belum bisa masuk di dalam logika saya. Dari sumber lain yang saya baca, nama badut sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu bha-dyut yang berarti sorot bintang Canopus atau sorot Agastya.
Terlepas dari pemberian nama Badut pada candi ini, menurut saya candi ini recomended untuk dikunjungi. Selain kondisi candinya yang hampir 80% dalam keadaan utuh, kita pun dapat menikmati keindahan taman sederhana yang dibangun mengelilingi kompleks candi.
keterangan :
Bagi Anda yang ingin berkunjung ke candi ini, Anda dapat menggunakan angkot dengan rute AT dan turun di pangkalan Perum Tidar, lalu melanjutkan perjalanan dengan ojek maupun jalan kaki. Lokasi candi ini berada di tengah-tengah pemukiman penduduk, jadi jangan ragu untuk bertanya kepada penduduk sekitar jika tidak ingin kesasar.
Jam buka mulai dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00 sore.
yang ada retribusi, baik yang resmi dari pemerintah maupun retribusi yang bersifat "suka rela".
Candi Badut memiliki satu buah bangunan induk candi. Candi ini masih dalam kondisi yang cukup terawat, namun sayang bagian atap candi sudah tidak ada. Mungkin saja sudah dalam kondisi yang rusak, atau mungkin dalam proses rekonstruksi. Di bagian candi utama terdapat sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan ini terdapat lingga dan yoni, lambang dari kesuburuan yang merupakan ciri khas dari bangunan candi dengan corak agam Hindu. Pemberian nama "badut" oleh penemunya yaitu Dr. Brandes dan Dr. VDK Bosch sendiri terkait dengan nama "liswa" yang tertulis dan prasasti Dinoyo. Prasasti ini memiliki angka tahun 862 saka atau 760 Masehi. Prasasti ini menceritakan daulu ada seorang raja yang bijaksana yang bernama Dewasinga. Di bawah naungan pemerintahannya, memancarlah api Putrikecwara yang menerangi sekelilingnya. Dewasinga ini memiliki anak yang bernama Raja Gajayana. Pembuatan prasasti ini juga bertepatan dengan diresmikannya Arca Agastya yang baru yang terbuat dari batu hitam yang sangat indah sebagai pengganti arca lama yang terbuat dari kayu cendana dan sudah lapuk. Di dalam prasasti Dinoyo ini pula disebutkan bahwa Raja Gajayana membuat sebuah bangunan suci yang sangat indah untuk Agastya dengan maksud untuk membinasakan penyakit. Nama "liswa" sendiri merupakan nama lain dari Raja Gajayana. Di dalam kamus bahasa Sansekerta, liswa memiliki arti yaitu anak kemidi atau tukang tari, di mana dalam bahasa jawa disebut badut (sumber : tulisan yang terpasang di papan informasi).
Perpaduan gaya arsitektural candi khas Jawa Tengah terlihat dari bagian kaki candi yang rata tidak diberi hiasan serta bagian bilik pintu yang berpenampil. Pada bagian sisi badan candi memiliki relung-relung tempat menyimpan arca. Ciri khas dari candi dengan corak agama Hindu adalah adanya arca Ganesha, arca Durga, dan arca Agastya. Perpaduan ciri khas antara candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini dikaitkan dengan tahun pembuatan prasasti Dinoyo dan dikaitkan dengan pindahnya pusat kerajaan dari Dinasti Sanjaya yang bergeser ke arah timur karena terdesak oleh raja dari Dinasti Syailendra. Di bagian depan candi utama diperkirakan ada bangunan candi perwara (candi pengiring), terlihat dari bekas konstruksi bangunan. Di sekiataran candi utama terdapat reruntuhan batu bekas dari bangunan candi yang ditata sedemikian rupa. Di antara tumpukan batu tersebut terlihat arca Nandi (arca berbentuk sapi) dalam keadaan yang cukup memprihantinkan.
Saya memperhatikan beberapa batuan yang terangkai di sudut candi ini. Beberapa batuan memiliki pola seperti ukiran yang indah. Saya kurang tau apakah candi tersebut memang memiliki ukiran pada dinding bebatuannya, ataukah memang terbentuk secara alami. Satu hal yang cukup disayangkan adalah adanya tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab mengukirkan nama mereka di bebatuan candi. Ini dapat kita lihat di bagian dinding pada ruang utama candi. Saya sendiri juga masih belum paham dengan sejarah penamaan candi ini. Apa hubungannya tukang tari dengan sebutan "badut", yang jelas belum bisa masuk di dalam logika saya. Dari sumber lain yang saya baca, nama badut sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu bha-dyut yang berarti sorot bintang Canopus atau sorot Agastya.
Terlepas dari pemberian nama Badut pada candi ini, menurut saya candi ini recomended untuk dikunjungi. Selain kondisi candinya yang hampir 80% dalam keadaan utuh, kita pun dapat menikmati keindahan taman sederhana yang dibangun mengelilingi kompleks candi.
keterangan :
Bagi Anda yang ingin berkunjung ke candi ini, Anda dapat menggunakan angkot dengan rute AT dan turun di pangkalan Perum Tidar, lalu melanjutkan perjalanan dengan ojek maupun jalan kaki. Lokasi candi ini berada di tengah-tengah pemukiman penduduk, jadi jangan ragu untuk bertanya kepada penduduk sekitar jika tidak ingin kesasar.
Jam buka mulai dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00 sore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar