Tak ada bayangan di benak sebelumnya jika pada akhirnya kaki ini pernah menyusuri jalan-jalan setapak yang terkadang datar, namun tak jarang pula memiliki kontur yang terjal. Berjalan kaki dengan beban yang dipanggul di pundak, melawan tipisnya udara yang ada, namun setiap perjalanan selalu memiliki beragam makna.
Entah ada angin apa tiba-tiba saja saya meng-iya-kan ajakan teman saya untuk melakukan ekspedisi pendakian ke Gunung Lawu. Jujur saya tidak punya pegalaman sebelumnya untuk melakukan sebuah pendakian. Mungkin hanya sedikit pengalaman mendaki Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunung Bromo, dan terakhir adalah Bukit Sikunir ketika saya sedang melakukan KKN di kawasan Dieng. Lokasi-lokasi tersebut boleh dikatakan trek pendakian gunung "bukan sebenarnya", karena medan yang ditempuh masih tergolong mudah. Perburuan sunrise di Bukit Sikunir inilah yang seolah menimbulkan rasa "ketagihan" untuk kembali menikmati suasana pagi dari atas pegunungan. Tanpa ada sebuah persiapan fisik sebelumnya, hanya membawa bekal seadanya, mengandalkan pengalaman dari dua orang yang pernah melakukan pendakian sebelumnya, dengan bermodalkan nekat dan tekat, akhirnya enam anak manusia berkelana memulai perjalanan untuk melakukan pendakian menuju puncak Gunung Lawu.
Apa saja yang saya bawa? Saya tak punya tas carrier, cari pinjaman pun tak sempat, akhirnya saya "hanya" membawa daypack berukuran 20 liter yang setia menemani saya ketika sedang berkelana. Hanya membawa sleeping bag, mie instan 2 bungkus, air minum 2 botol besar, beberapa bungkus cemilan, pakaian 3 potong, satu buah celana pendek, rain cover, jas hujan, uang seperlunya dan juga kamera. Sial, sleeping bag yang saya punya ternyata terlalu memakan tempat dan memiliki bobot yang lumayan berat, ditambah bantalan pada pundak tas daypack yang cukup tipis sehingga cukup membuat pundak terasa sakit jika mengangkat beban yang cukup berat di dalam tas. Untung saja rasa sakit ini bisa diakali dengan menggunakan jaket, sehingga bagian pundak tidak terlalu terasa sakit.
Rabu, 30 Januari 2013
Sesuai kesepakatan dua hari sebelumnya, kami memutuskan Stasiun Lempuyangan sebagai meeting point pemberangkatan. Kami sepakat pukul 9 pagi seluruh anggota berkumpul untuk melanjutkan perjalanan menuju Kota Solo menggunakan jasa kereta Prameks, kereta komuter kebanggaan warga Jogja maupun Solo untuk melakukan mobilitas dari dan menuju kedua kota tersebut. Sekitar pukul 09.10 terlihat beberapa orang menggendong tas carrier dengan ukuran hampir setinggi anak usia balita. "Ah, akhirnya mereka datang juga !", tapi entah apa yang mereka bawa, sepertinya barang bawaan saja terlalu simpel jika dibandingkan mereka. Pukul 09.36 pun kereta datang. Sial, pagi itu si kuning sudah cukup sesak dengan penumpang, namun saya beruntung masih mendapatkan tempat duduk di antara deretan panjang kursi yang terpasang. Estimasi waktu keberangkatan satu jam seperti jadwal yang terpajang pada tiket harus molor gara-gara si Prameks "ngambek", berhenti di tengah-tengah perjalanan beberapa kali. Ah, mungkin saja rangkaian besi bermesin ini seharusnya sudah memasuki masa perawatan barangkali.
Hampir pukul 11 siang akhirnya kami tiba di Stasiun Balapan, stasiun terbesar di Kota Solo yang melegenda karena pernah dijadikan sebagai judul sebuah tembang. Tujuan berikutnya adalah Terminal Tirtonadi, untuk mencari bus dengan tujuan daerah Tawangmangu. Kami berenam berjalan kaki menyusuri perkampungan yang terletak di antara stasiun dan terminal. Terik matahari yang menyengat seolah tak kami hiraukan, hanya candaan di sepanjang perjalanan seolah melupakan beban yang kami bawa. Tak selang berapa lama kami berjalan akhirnya masuk juga di area terminal. Tanpa ragu sang petugas pun memberitahukan letak bus yang kami tuju. Sebuah bus ekonomi pun siap membawa kami menuju daerah Tawangmangu, sebuah sudut di lereng Gunung Lawu. Sang kernet cukup cekatan menata barang-barang yang kami bawa, sepertinya dia sudah terbiasa menata barang-barang bawaan miliki pendaki yang menumpang bus mereka. Perjalanan Solo-Tawangmangu pun terasa cukup menyengat. Bus ekonomi ini harus beberapa kali "nge-time" berhenti untuk mencari penumpang.
Solo-Tawangmangu sepuluh ribu, satu jam perjalanan memakan waktu. Seolah saya berada di dalam sebuah mesin waktu, melihat anak-anak sekolah berseragam pulang bersama dalam satu bus yang saya tumpangi. Sepertinya baru saja kemarin saya memakai seragam seperti yang mereka kenakan, namun sekarang tak terasa saya sudah memasuki angkatan tua pada jurusan saya. Dalam sebuah pemberhentian nampak seorang bapak tua yang berjuang menjajakan buku-buku "usangnya". Usang dalam artian entah tahun kapan buku-buku tersebut sudah diterbitkan. Para penjaja asongan beserta musisi jalanan datang silih berganti dan kadang tak saya hiraukan. Ah sepertinya lebih nyaman jika memejamkan mata sejenak sekedar untuk menghemat tenaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar