Mendengar kata "djiancuk" atau biasa diucapkan dengan sebutan "jancuk" mengingatkan kita pada sebuah kata umpatan khas daerah Jawa Timuran yang memiliki makna yang kasar. Namun apa jadinya jika kata "djiancuk" dijadikan sebagai salah satu branding tempat makan? Tentu saja pemberian embel-embel "djiancuk" ini akan menciptakan rasa penasaran bagi siapa saja yang mendengarnya. Ya, di salah satu sudut Kota Yogyakarta terdapat sebuah warung soto yang bernamakan "Soto Djiancuk".
Warung Soto Djiancuk ini terletak di daerah Sonopakis, sebelah barat Universitas PGRI Yogyakarta.
Terletak di samping Kali Bayem serta berdampingan dengan deretan persawahan, menjadikan warung soto Djiancuk ini memiliki suasana khas pedesaan di daerah pinggiran perkotaan yang cukup kental. Selain memiliki branding yang unik, bangunan serta interior warung soto ini tergolong cukup menarik. Terlihat dari bagian luar, bangunan warung soto ini memiliki kesan asimetris dengan dinding yang sengaja dibiarkan tidak disemen halus sehingga terlihat tekstur tatanan batu batanya. Memasuki ruang utama, kita harus menuruni beberapa anak tangga karena kontur tanah di bagian dalam bangunan lebih rendah daripada bagian depan. Di ruang yang tak seberapa luas ini terlihat sebuah meja bundar yang cukup besar dengan aksesoris gantungan lampu hias sederhana di bagian tengahnya. Sama seperti bagian dinding di luar bangunan, bagian dinding di dalam bangunan pun sengaja tidak diberi semen halus. Bagian dinding-dinding ini diberi hiasan dengan beberapa poster dan juga foto Bung Karno dengan ukuran yang cukup besar. Dilihat dari desain interiornya, saya mengira pemilik warung ini adalah seorang seniman. Beliau dengan lihai memadu-padankan beberapa barang bekas dari mobil yang ditata sedemikian rupa sebagai penghias bangunan. Saya pun memilih tempat duduk di dekat meja bulat sembari mengamati keindahan interior bangunan warung soto ini yang terkesan "berantakan" namun memiliki unsur seni yang dominan.
Tak berapa lama seorang ibu-ibu datang menghampiri saya untuk menanyakan pesanan. Tanpa pikir panjang saya pun memesan satu porsi soto dan satu gelas es teh manis sebagai pelepas dahaga di tengah teriknya sinar matahari yang cukup menyengat. Tak lama kemudian pesanan saya datang, semangkok kecil soto dengan kuah kecokelatan dicampur dengan irisan telur rebus di atasnya siap tersaji di atas meja. Dari aromanya saja soto Djiancuk ini sangat mengundang selera. Aroma rempah sangat terasa dari sajian soto dengan gaya Jawa Timuran ini. Soto Djiancuk ini berasal dari Kota Blitar, seperti asal-muasal dari pemilik warung yang memang asli orang sana. Mencicipi soto memang tak lengkap jika tidak diberi perasan jeruk nipis untuk menambah aroma dan cita rasa. "Wah, djiancuk, jan enak tenan soto iki rek !" mungkin seperti itulah ungkapan orang-orang yang mencicipi cita rasa dari soto ini. Soto Djiancuk memiliki cita rasa yang gurih dengan balutan bumbu rempah yang cukup kuat. Irisan dagingnya pun cukup lembut, tidak alot, namun tekstur dari daging masih terasa di mulut. Campuran tauge segar serta irisan tomat segar semakin menambah kesegaran dari sajian soto Djiancuk ini. Campuran kentang goreng juga menambah tekstur kriuk pada hidangan soto.
Satu porsi soto Djiancuk dibandrol dengan harga Rp 9.000,00 saja. Selain menikmati hidangan soto yang memang "djiancuk" cita rasanya, kita pun juga dimanjakan dengan semilir angin dari hamparan sawah serta gemericik air dari aliran Kali Bayem yang berada persis di samping bangunan warung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar