Tak ada jembatan penghubung antar pulau yang kokoh, pun demikian dengan kapal-kapal besar yang mengangkut penumpang, barang bahkan kendaraan untuk menyeberang. Hanya ada perahu motor sebagai sarana transportasi yang mengantarkan penumpang dan barang menuju ke pulau seberang. Suasana Pelabuhan Tanjung Tembaga pagi itu masih cukup lengang. Hanya terlihat beberapa kapal nelayan yang bersandar dan bongkar muatan.
Di hari ketiga ini, panitia Tour De Probolinggo mengajak para peserta menyeberang ke Pulau Gili Ketapang, sebuah pulau kecil dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam perjalanan dari Pelabuhan Tanjung Tembaga. Usai berkemas dan membereskan tenda, dengan penuh semangat kami berjalan kaki menuju pelabuhan untuk kemudian naik ke atas perahu dan bersiap untuk menyeberang. Cuaca pagi ini pun cukup bersahabat. Ombak laut cukup tenang, pun demikian dengan sinar matahari yang tidak terlalu terik membakar kulit.
Sayang, ketika kami akan bersandar, perahu yang kami tumpangi tidak dapat sampai ke tepian karena air laut yang surut. Sebuah perahu sederhana yang terbuat dari rangkaian gabus datang menjemput. Ada seorang bapak-bapak yang mendorong perahu sederhana tersebut, sembari membatu kami untuk naik ke atas dan menata barang. Ada yang memilih untuk menumpang perahu, ada pula yang memilih nekat menceburkan diri dan berjalan kaki menuju tepi pantai.
Pulau Gili Ketapang memiliki keunikan tersendiri bagi saya. Pulau ini terkenal dengan penduduknya yang hampir keseluruhan adalah masyarakat keturunan Madura dengan mata pencaharian sebagian besar sebagai nelayan. Walaupun mereka adalah Suku Madura, namun sebagian besar dari mereka belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Madura. Keramahan masyarakatnya sangat terasa di saat kami tiba. Masyarakat di sini cukup murah senyum dan ramah kepada para pendatang. Namun perlu diingat, sebagian besar masyarakat di Gili Ketapang hanya bisa berbahasa Madura, mereka tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia, walaupun mengerti artinya. Jadilah kami sering menggunakan bahasa isyarat ketika berkomunikasi. Kami memakai bahasa Indonesia ketika berbincang, sedangkan mereka akan menjawab dengan bahasa Madura yang memiliki logat yang khas. Di antara keterbatasan bahasa untuk berkomunikasi, ada sebuah bahasa universal yang kami gunakan, yaitu senyuman dan sapaan.
Masalah Sampah, Kambing, dan Abrasi
Pulau Gili Ketapang memang bukan sebuah lokasi wisata dan saya berharap pulau ini tidak dilacurkan menjadi sebuah destinasi wisata. Di balik pasir putih dan ombak lautnya yang biru jernih, Pulau Gili Ketapang menyimpan sebuah kisah yang cukup memilukan. Sampah berserakan di mana-mana ! Entah di lingkungan sekitar tempat tinggal, bahkan sampai di tepi pantai. Berbagai macam sampah pun dapat ditemui di tepian pantai, mulai sampah organik, sampah anorganik, bahkan bangkai binatang pun ada di sini. Menurut penuturan penduduk setempat, memang kesadaran masyarakat masih kurang dalam mengelola sampah. Selain sampah rumah tangga dari penduduk setempat, banyak sampah yang berserakan di tepi pantai juga berasal dari sampah di Pulau Jawa yang terbawa oleh ombak. Saya berharap terdapat manajemen pengelolaan sampah yang lebih baik lagi di pulau ini agar sampah-sampah tidak menumpuk di sekeliling Pulau Gili Ketapang lagi.
Selain dihuni oleh manusia, Pulau Gili Ketapang juga dihuni oleh kambing. Jumlahnya cukup banyak dan mereka seperti hidup dengan cara diliarkan, tak ada seorang pun yang menggembalakan kambing-kambing tersebut. Jangan heran jika Anda akan menemui kambing-kambing yang berkeliaran di tepi pantai, di jalan kampung, dan di manapun. Tak ada satu sudut pulau yang tidak ada kambing. Banyaknya populasi kambing yang dibiarkan liar tentu saja memberikan efek yang kurang nyaman bagi lingkungan. Banyak kotoran kambing berceceran di mana-mana. Bahkan di tepi pantai pun akan terasa bau kambing, terlebih setelah kita bermain-main di air.
Kambing-kambing di Pulau Gili Ketapang juga memiliki keunikan tersendiri. Jika Anda pernah mendengar kambing yang doyan makan kertas, kain, maupun sampah, Anda akan dengan mudah menemui kambing-kambing tersebut di pulau ini. Mungkin karena kurang tersedianya rumput hijau dan banyaknya sampah di pulau ini, menjadikan kambing-kambing yang menghuni Pulau Gili Ketapang kemudian beradaptasi. Sudah bukan rahasia umum lagi jika kambing-kambing di sini doyan memakan sampah-sampah yang berserakan di tepi pantai. Untuk membuktikannya, berilah uang kertas, maka kambing-kambing tersebut akan memakannya. Seingat saya, dulu pernah ada sebuah stasiun televisi swasta yang pernah melakukan liputan di Pulau Gili Ketapang ini.
Selain masalah sampah dan kambing, Pulau Gili Ketapang juga menghadapi sebuah masalah yang cukup serius. Ketika kami tiba di pulau ini dan iseng untuk berjalan-jalan, banyak warga setempat sedang sibuk memasukkan pasir ke dalam karung untuk kemudian dijadikan tanggul. Menurut penuturan warga setempat, abrasi yang terjadi di pulau ini sudah berlangsung beberapa bulan terakhir. Angin yang kencang berpadu dengan gelombang air laut yang cukup besar telah mengakibatkan beberapa sudut di pulau ini terkikis. Hal yang paling parah adalah abrasi yang terjadi di pulau ini sudah cukup dekat dengan pemukiman penduduk yang ada ditepi pantai. Jika hal ini terus-menerus dibiarkan maka akan ditakutkan rumah penduduk tersebut akan hanyut diterjang ombak. Ketika saya berjalan ke arah timur pulau ini, banyak bangunan jalan setapak yang amblas terkena terjangan ombak. Cukup disayangkan jika banyak infrastruktur yang rusak tergerus oleh abrasi ombak air laut.
Goa Kucing yang Dikeramatkan
Selain memiliki pasir putih dan air laut yang jernih, Pulau Gili Ketapang juga memiliki sebuah tempat yang dikeramatkan. Namanya Goa Kucing, yang konon dihuni oleh seekor kucing gaib bertubuh besar dari rata-rata kucing biasa. Goa Kucing merupakan petilasan Syech Maulana Ishaq, seorang ulama penyebar agama Islam. Lokasi Goa Kucing terletak di sebelah timur pulau, berdekatan dengan sebuah masjid. Goa Kucing memiliki bentuk seperti lubang sumur yang bisa dimasuki oleh satu orang. Di dalam goa tersebut terdapat mata air tawar. Menurut penuturan sang juru kunci, konon hingga saat ini lokasi Gua Kucing ini masih digunakan untuk tirakat bagi orang yang mencari berkat di malam-malam tertentu.
Kisah Guru di Pulau Gili Ketapang
Jika sedang di pulau-pulau kecil seperti ini ada satu hal yang selalu menjadi pertanyaan bagi saya. Bagaimanakah akses pendidikan dan kesehatan masyarakat di pulau kecil semacam ini? Mungkin keberuntungan sedang berpihak kepada saya siang itu. Sambil bermain dan melihat pemandangan di dermaga, saya berjumpa dengan seorang guru yang mengajar di salah satu sekolah di Pulau Gili Ketapang tersebut.
Saya salut dengan perjuangan dan pengabdian guru-guru tersebut. Setiap hari mereka menyeberang ke Pulau Gili Ketapang dengan perahu. Saya tidak bisa membayangkan jika setiap hari mereka harus terombang-ambing oleh gelombang untuk berangkat ke sekolah demi menyalurkan ilmu kepada anak didik mereka. Di Pulau Gili Ketapang sudah ada sekolah dasar hingga sekolah menengah tingkat pertama. Menurut penuturan guru yang saya temui tersebut, beberapa tahun silam sempat dibuka sekolah setingkat SMA. Namun, murid yang masuk di SMA tersebut hanya sedikit, tidak lebih dari lima orang. Maka dari itu dibuatklah kebijakan untuk menutup sekolah SMA tersebut. Jadi, jika ada anak-anak dari Gili Ketapang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMA, mereka harus melanjutkannya ke Kota Probolinggo.
Pulau Gili Ketapang memang memiliki cerita tersendiri bagi saya. Pulau yang konon selalu bergerak menjauhi Kota Probolinggo ini memiliki pemandangan alam yang cukup menarik. Perlu diingat jika Pulau Gili Ketapang bukan merupakan sebuah destinasi wisata. Anda tidak akan menemukan penginapan dan fasilitas penunjang pariwisata lainnya. Pulau Gili Ketapang merupakan sebuah kampung nelayan dengan kondisi yang cukup menyenangkan. Keramahan masyarakatnya akan selalu saya ingat, walaupun ada sedikit hambatan ketika berkomunikasi.
keterangan :
Untuk menyeberang ke Pulau Gili Ketapang, Anda dapat menggunakan jasa perahu motor dari Pelabuhan Tanjung Tembaga. Tarif untuk menyeberang adalah Rp 5.000,00 per-orang (data Februari 2014)
Sayang, ketika kami akan bersandar, perahu yang kami tumpangi tidak dapat sampai ke tepian karena air laut yang surut. Sebuah perahu sederhana yang terbuat dari rangkaian gabus datang menjemput. Ada seorang bapak-bapak yang mendorong perahu sederhana tersebut, sembari membatu kami untuk naik ke atas dan menata barang. Ada yang memilih untuk menumpang perahu, ada pula yang memilih nekat menceburkan diri dan berjalan kaki menuju tepi pantai.
Pulau Gili Ketapang memiliki keunikan tersendiri bagi saya. Pulau ini terkenal dengan penduduknya yang hampir keseluruhan adalah masyarakat keturunan Madura dengan mata pencaharian sebagian besar sebagai nelayan. Walaupun mereka adalah Suku Madura, namun sebagian besar dari mereka belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Madura. Keramahan masyarakatnya sangat terasa di saat kami tiba. Masyarakat di sini cukup murah senyum dan ramah kepada para pendatang. Namun perlu diingat, sebagian besar masyarakat di Gili Ketapang hanya bisa berbahasa Madura, mereka tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia, walaupun mengerti artinya. Jadilah kami sering menggunakan bahasa isyarat ketika berkomunikasi. Kami memakai bahasa Indonesia ketika berbincang, sedangkan mereka akan menjawab dengan bahasa Madura yang memiliki logat yang khas. Di antara keterbatasan bahasa untuk berkomunikasi, ada sebuah bahasa universal yang kami gunakan, yaitu senyuman dan sapaan.
Masalah Sampah, Kambing, dan Abrasi
Pulau Gili Ketapang memang bukan sebuah lokasi wisata dan saya berharap pulau ini tidak dilacurkan menjadi sebuah destinasi wisata. Di balik pasir putih dan ombak lautnya yang biru jernih, Pulau Gili Ketapang menyimpan sebuah kisah yang cukup memilukan. Sampah berserakan di mana-mana ! Entah di lingkungan sekitar tempat tinggal, bahkan sampai di tepi pantai. Berbagai macam sampah pun dapat ditemui di tepian pantai, mulai sampah organik, sampah anorganik, bahkan bangkai binatang pun ada di sini. Menurut penuturan penduduk setempat, memang kesadaran masyarakat masih kurang dalam mengelola sampah. Selain sampah rumah tangga dari penduduk setempat, banyak sampah yang berserakan di tepi pantai juga berasal dari sampah di Pulau Jawa yang terbawa oleh ombak. Saya berharap terdapat manajemen pengelolaan sampah yang lebih baik lagi di pulau ini agar sampah-sampah tidak menumpuk di sekeliling Pulau Gili Ketapang lagi.
Selain dihuni oleh manusia, Pulau Gili Ketapang juga dihuni oleh kambing. Jumlahnya cukup banyak dan mereka seperti hidup dengan cara diliarkan, tak ada seorang pun yang menggembalakan kambing-kambing tersebut. Jangan heran jika Anda akan menemui kambing-kambing yang berkeliaran di tepi pantai, di jalan kampung, dan di manapun. Tak ada satu sudut pulau yang tidak ada kambing. Banyaknya populasi kambing yang dibiarkan liar tentu saja memberikan efek yang kurang nyaman bagi lingkungan. Banyak kotoran kambing berceceran di mana-mana. Bahkan di tepi pantai pun akan terasa bau kambing, terlebih setelah kita bermain-main di air.
Kambing-kambing di Pulau Gili Ketapang juga memiliki keunikan tersendiri. Jika Anda pernah mendengar kambing yang doyan makan kertas, kain, maupun sampah, Anda akan dengan mudah menemui kambing-kambing tersebut di pulau ini. Mungkin karena kurang tersedianya rumput hijau dan banyaknya sampah di pulau ini, menjadikan kambing-kambing yang menghuni Pulau Gili Ketapang kemudian beradaptasi. Sudah bukan rahasia umum lagi jika kambing-kambing di sini doyan memakan sampah-sampah yang berserakan di tepi pantai. Untuk membuktikannya, berilah uang kertas, maka kambing-kambing tersebut akan memakannya. Seingat saya, dulu pernah ada sebuah stasiun televisi swasta yang pernah melakukan liputan di Pulau Gili Ketapang ini.
Selain masalah sampah dan kambing, Pulau Gili Ketapang juga menghadapi sebuah masalah yang cukup serius. Ketika kami tiba di pulau ini dan iseng untuk berjalan-jalan, banyak warga setempat sedang sibuk memasukkan pasir ke dalam karung untuk kemudian dijadikan tanggul. Menurut penuturan warga setempat, abrasi yang terjadi di pulau ini sudah berlangsung beberapa bulan terakhir. Angin yang kencang berpadu dengan gelombang air laut yang cukup besar telah mengakibatkan beberapa sudut di pulau ini terkikis. Hal yang paling parah adalah abrasi yang terjadi di pulau ini sudah cukup dekat dengan pemukiman penduduk yang ada ditepi pantai. Jika hal ini terus-menerus dibiarkan maka akan ditakutkan rumah penduduk tersebut akan hanyut diterjang ombak. Ketika saya berjalan ke arah timur pulau ini, banyak bangunan jalan setapak yang amblas terkena terjangan ombak. Cukup disayangkan jika banyak infrastruktur yang rusak tergerus oleh abrasi ombak air laut.
Goa Kucing yang Dikeramatkan
Selain memiliki pasir putih dan air laut yang jernih, Pulau Gili Ketapang juga memiliki sebuah tempat yang dikeramatkan. Namanya Goa Kucing, yang konon dihuni oleh seekor kucing gaib bertubuh besar dari rata-rata kucing biasa. Goa Kucing merupakan petilasan Syech Maulana Ishaq, seorang ulama penyebar agama Islam. Lokasi Goa Kucing terletak di sebelah timur pulau, berdekatan dengan sebuah masjid. Goa Kucing memiliki bentuk seperti lubang sumur yang bisa dimasuki oleh satu orang. Di dalam goa tersebut terdapat mata air tawar. Menurut penuturan sang juru kunci, konon hingga saat ini lokasi Gua Kucing ini masih digunakan untuk tirakat bagi orang yang mencari berkat di malam-malam tertentu.
Kisah Guru di Pulau Gili Ketapang
Jika sedang di pulau-pulau kecil seperti ini ada satu hal yang selalu menjadi pertanyaan bagi saya. Bagaimanakah akses pendidikan dan kesehatan masyarakat di pulau kecil semacam ini? Mungkin keberuntungan sedang berpihak kepada saya siang itu. Sambil bermain dan melihat pemandangan di dermaga, saya berjumpa dengan seorang guru yang mengajar di salah satu sekolah di Pulau Gili Ketapang tersebut.
Saya salut dengan perjuangan dan pengabdian guru-guru tersebut. Setiap hari mereka menyeberang ke Pulau Gili Ketapang dengan perahu. Saya tidak bisa membayangkan jika setiap hari mereka harus terombang-ambing oleh gelombang untuk berangkat ke sekolah demi menyalurkan ilmu kepada anak didik mereka. Di Pulau Gili Ketapang sudah ada sekolah dasar hingga sekolah menengah tingkat pertama. Menurut penuturan guru yang saya temui tersebut, beberapa tahun silam sempat dibuka sekolah setingkat SMA. Namun, murid yang masuk di SMA tersebut hanya sedikit, tidak lebih dari lima orang. Maka dari itu dibuatklah kebijakan untuk menutup sekolah SMA tersebut. Jadi, jika ada anak-anak dari Gili Ketapang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMA, mereka harus melanjutkannya ke Kota Probolinggo.
Pulau Gili Ketapang memang memiliki cerita tersendiri bagi saya. Pulau yang konon selalu bergerak menjauhi Kota Probolinggo ini memiliki pemandangan alam yang cukup menarik. Perlu diingat jika Pulau Gili Ketapang bukan merupakan sebuah destinasi wisata. Anda tidak akan menemukan penginapan dan fasilitas penunjang pariwisata lainnya. Pulau Gili Ketapang merupakan sebuah kampung nelayan dengan kondisi yang cukup menyenangkan. Keramahan masyarakatnya akan selalu saya ingat, walaupun ada sedikit hambatan ketika berkomunikasi.
keterangan :
Untuk menyeberang ke Pulau Gili Ketapang, Anda dapat menggunakan jasa perahu motor dari Pelabuhan Tanjung Tembaga. Tarif untuk menyeberang adalah Rp 5.000,00 per-orang (data Februari 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar