Kata orang, ajaklah temanmu mendaki gunung, maka kamu akan mengetahui kepribadian asli mereka seperti apa. Tapi apa jadinya, jika kita mendaki gunung bersama orang-orang yang baru saja kita kenal dalam forum para pejalan?
Kumandang Adzan Ashar bergema dari pengeras suara masjid di perkampungan Dieng Kulon. Kami segera mempersiapkan diri melakukan pendakian sore ini karena rombongan teman-teman Komunitas Backpacker Indonesia chapter Cilegon, Bandung, Banyuwangi, Purwokerto, dan Jakarta sudah tiba. Ini adalah kali pertama saya bertatap muka langsung dengan mereka, walaupun sebelumnya kami sudah cukup intens berkomunikasi lewat group Whatsapp. Jadwal pendakian akhirnya kami ajukan menjadi sore hari mengingat anggota pendakian kali ini sebagian besar adalah pemula. Awalnya kami berencana memulai pendakian sekitar pukul delapan malam, sekalian menanti kedatangan anggota dari Semarang. Namun mengingat kondisi dan jumlah anggota dalam pendakian cukup banyak, akhirnya kami putuskan untuk mengajukan jadwal pendakian.
Ada dua jalur pendakian resmi untuk menuju Gunung Prau. Jalur pertama melewati rute Patak Banteng. Rute ini memang memakan waktu pendakian lebih singkat, namun medan jalan yang harus dilalui terlalu menanjak, cukup berat bagi pemula seperti kami. Lalu kami memilih jalur pendakian melalui Dieng Kulon yang dirasa cukup landai, walaupun memakan waktu pendakian yang sedikit lebih lama dibandingkan melalui jalur Patak Banteng. Usai menyiapkan perbekalan dan mengurus administrasi untuk melakukan pendakian, kami bertiga belas pun akhirnya berangkat duluan, sedangkan empat orang anggota rombongan dari Semarang akan menyusul nanti malam.
Ujian pertama yang harus kami lalui adalah jalur anak tangga dengan rute menanjak melewati pemukiman penduduk yang berada di belakang basecamp Dieng Kulon. Rasanya jalur ini cukup membuat nafas kami hampir putus melewati anak tangga yang menanjak. Usai melewati pemukiman penduduk, kami beristirahat sejenak di sekitar ladang, sekedar menghela nafas serta melakukan koordinasi ulang kepada semua anggota. Sebuah "ujian" fisik dan mental sebelum memulai pendakian yang sebenarnya. Kak Ika, seorang anggota pendakian hampir saja memilih untuk membatalkan pendakian, namun akhirnya dia mengurungkan niatnya setelah kami semua meyakinkan bahwa pendakian akan baik-baik saja.
Perjalanan pun kami lanjutkan, melewati kompleks makam berlanjut ke hamparan perkebunan warga yang tampak mengering karena kurangnya pasokan air di musim kemarau. Kami mulai berbincang dengan suara sedikit lantang untuk menghilangkan rasa lelah di badan. Mungkin inilah seninya melakukan pendakian. Kita akan merasa cepat akrab satu dengan yang lain walaupun baru saling kenal. Tak ada rasa canggung di antara kami, seolah sedang bertemu teman lama kemudian terjalin obrolan seru setelahnya. Tak terasa kami sudah melewati pos pendakian pertama dan siap memasuki kawasan di dalam hutan.
Pendakian Malam di Dalam Hutan
Suara adzan Magrib sayup-sayup terdengar ketika kami mulai memasuki rute pendakian di dalam hutan. Kami berhenti sebentar, menyiapkan senter untuk penerangan dalam perjalanan. Tanjakan-tanjakan kecil mulai kami rasakan. Kami pun harus mulai pandai mengatur pernafasan, selain ngos-ngosan dengan beban yang kami bawa, belum lagi ditambah dengan debu-debu pasir beterbangan juga cukup mengganggu pernafasan kami. Masker sudah siaga kami kenakan, namun saya sedikit kurang nyaman menggunakan masker, karena terasa kurang leluasa untuk bernafas, apalagi saya termasuk tipe orang yang cukup boros ketika bernafas.
Semakin malam udara terasa semakin dingin. Hembusan angin gunung membuat kami lumayan menggigil, terlebih jika kami terlalu lama berhenti untuk beristirahat, udara dingin akan terasa semakin menusuk badan. Perjalanan yang cukup berat bagi saya adalah setelah melewati pos dua, yang ditandai dengan tapal batas antara Kabupaten Batang dan Wonosobo. Hutan semakin rapat, jalan setapak yang terasa semakin menanjak, dan adanya jurang di salah satu sisi jalan sehingga membuat kami harus lebih ekstra hati-hati.
Kami sempat kebingungan mencari jalan di salah satu persimpangan jalan. Tapi untunglah, teman-teman yang berada di barisan depan cukup sigap dalam mencari jalan. Pendakian pun dapat kami lanjutkan melalui jalan yang benar. Ada "insiden" kecil ketika kami melalui sebuah tanjakan ke arah tower sinyal provider selular. Ada suara aneh, seolah ada seorang perempuan yang sedang menertawakan kami dengan puas. Saya pikir suara tersebut paling-paling suara hewan atau primata. Tapi menurut penerawangan teman saya itu adalah sejenis suara kuntilanak ! Hahaha ! Untung saja kawan saya baru bercerita keesokan harinya ketika kami sudah turun dari Gunung Prau ! Malam itu pikiran kami biasa-biasa saja, tidak ada pikiran yang macam-macam, mungkin rasa lelah di badan serta terjangan dinginnya angin gunung membuat kami hanya fokus agar segera tiba di tujuan dan mendirikan tenda, lalu mengistirahatkan raga.
Semangat kami semakin memuncak, ketika Mas Vidi yang menjadi pemimpin kelompok kami berkata jika tujuan kami sudah dekat. Tinggal satu tanjakan lagi kami tiba di tempat untuk mendirikan tenda. Rasa lelah di raga memang sedikit meredupkan semangat kami. Kami banyak beristirahat sebelum memulai tanjakan lagi. Banyak pendaki lain yang beristirahat di titik sini. Ada beberapa bapak-bapak menawarkan gorengan. Tapi entah, mereka memang benar-benar menjual gorengan apa hanya sebuah candaan. Rasa lelah yang melanda serta dinginnya hembusan angin gunung membuat kami benar-benar tak menghiraukan dengan kondisi sekitar.
Kami pun melanjutkan perjalanan, mendaki tanjakan terakhir sebelum akhirnya tiba di camping ground area. Cahaya senter pun semakin meredup setelah hampir lima jam kami gunakan terus-menerus dalam perjalanan. Usai tiba di camping ground area, kami bergegas memilih tempat yang cukup datar untuk mendirikan tenda. Kami harus berpacu dengan waktu, karena angin gunung berhembus semakin kencang dan membuat tubuh kami semakin menggigil kedinginan. Kencangnya hembusan angin sedikit menyulitkan dalam proses mendirikan tenda. Untunglah, beberapa tenda yang kami dirikan akhirnya siap digunakan. Tanpa babibu kami memasukkan barang ke dalam tenda. Saya memilih untuk segera beristirahat, menyiapkan sleeping bag untuk menghalau dinginnya angin gunung yang semakin kencang berhembus.
Semakin malam, semakin ramai pendaki yang berdatangan ke camping ground area. Saya tidak memperhatikan mereka dengan seksama, hanya saja suara mereka semakin malam terasa semakin riuh saja. Saya paksakan diri untuk tidur sambil menahan rasa lapar yang mendera, karena siang sebelum pendakian, saya lupa untuk makan. Mungkin rasa lelah sudah mengalahkan rasa lapar yang ada. Saya memilih untuk minum beberapa teguk air kemudian memejamkan mata, daripada sibuk mengaduk-aduk isi tas untuk mencari makanan. Selain ribet, udara dingin pun membuat saya cukup malas untuk mencari makanan di dalam tas.
Menikmati Sasana Pagi dari Ketinggian
Beberapa kali saya terbangun malam itu, kemudian melihat jam di tangan. Jika belum pagi saya mencoba tidur lagi, namun beberapa saat terbangun lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.20. Saya pun membangunkan Mas Yoyok dan Bang Adit, teman satu tenda saya. "Mau lihat sunrise sekarang ga?". Mereka pun ikut terbangun dan bersiap diri keluar dari tenda. Kami melihat kawan-kawan di tenda lain masih tidur dengan lelap. Tak tega rasanya jika membangunkan mereka. Akhirnya kami bertiga melipir duluan untuk melihat matahari terbit di bukit sebelah.
Udara dingin langsung menyapa begitu kami keluar dari tenda sehingga seketika badan saya menggigil kedinginan karenanya. Namun, sorot cahaya kemerahan di ufuk timur menjadi penyemangat saya untuk mendaki bukit sebelah, demi menyambut matahari pagi yang akan segera terbit. Kami mulai berjalan menyusuri camping ground area, kemudian melewati sebuah padang sabana. Ah, pantas saja banyak pendaki yang bilang jika mendaki Gunung Prau via Dieng Kulon memiliki pemandangan yang lebih bagus daripada melewati Patak Banteng. Usai melewati padang sabana, masih ada satu tanjakan lagi yang harus dilewati. Ujian terakhir, batin saya. Pemandangan pagi di atas sana seolah menjadi penyemangat untuk terus mendaki bukit. Beberapa kali saya harus berhenti untuk mengatur nafas. Tanjakannya memang tak seberapa tinggi. Namun lagi-lagi debu halus masih rajin menyapa.
Ketika sampai di puncak bukit saja pun langsung mengambil posisi duduk, meluruskan kedua kaki, lalu mencoba menikmati suasana pagi. Ritual itu memang tidak bisa saya lakukan lama-lama, karena pendaki lain sudah berhamburan datang untuk menyapa mentari pagi. Deretan pegunungan nampak jelas dari atas bukit sana. Semburat warna keemasan terlihat di cakrawala, kemudian perlahan-lahan matahari pun muncul dari ufuk timur sana. Semua terlihat bersemangat pagi itu untuk mengabadikan gambar.
Saya mengamati bagian barat puncak bukit ini. Di sana terlihat perkampungan Dieng, pemandangan Telaga Warna, serta deretan perbukitan yang dijadikan ladang perkebunan oleh warga. Kami bertiga tidak berlama-lama di puncak bukit. Kami lalu memilih kembali ke tenda, menyapa kawan yang lain dan tentu saja rombongan dari Semarang yang menyusul kami tadi malam. Pagi itu cukup meriah, kami menghabiskan pagi dengan membuat sarapan bersama, bercanda bersama, dan diakhiri dengan sesi foto bersama. Sekitar pukul 07.30 kami mulai berbenah, membereskan tenda dan barang-barang, kemudian bersiap melakukan perjalanan pulang. Sebuah pengalaman pendakian yang menarik bersama orang-orang yang baru saja saya kenal !
Kumandang Adzan Ashar bergema dari pengeras suara masjid di perkampungan Dieng Kulon. Kami segera mempersiapkan diri melakukan pendakian sore ini karena rombongan teman-teman Komunitas Backpacker Indonesia chapter Cilegon, Bandung, Banyuwangi, Purwokerto, dan Jakarta sudah tiba. Ini adalah kali pertama saya bertatap muka langsung dengan mereka, walaupun sebelumnya kami sudah cukup intens berkomunikasi lewat group Whatsapp. Jadwal pendakian akhirnya kami ajukan menjadi sore hari mengingat anggota pendakian kali ini sebagian besar adalah pemula. Awalnya kami berencana memulai pendakian sekitar pukul delapan malam, sekalian menanti kedatangan anggota dari Semarang. Namun mengingat kondisi dan jumlah anggota dalam pendakian cukup banyak, akhirnya kami putuskan untuk mengajukan jadwal pendakian.
Ada dua jalur pendakian resmi untuk menuju Gunung Prau. Jalur pertama melewati rute Patak Banteng. Rute ini memang memakan waktu pendakian lebih singkat, namun medan jalan yang harus dilalui terlalu menanjak, cukup berat bagi pemula seperti kami. Lalu kami memilih jalur pendakian melalui Dieng Kulon yang dirasa cukup landai, walaupun memakan waktu pendakian yang sedikit lebih lama dibandingkan melalui jalur Patak Banteng. Usai menyiapkan perbekalan dan mengurus administrasi untuk melakukan pendakian, kami bertiga belas pun akhirnya berangkat duluan, sedangkan empat orang anggota rombongan dari Semarang akan menyusul nanti malam.
Ujian pertama yang harus kami lalui adalah jalur anak tangga dengan rute menanjak melewati pemukiman penduduk yang berada di belakang basecamp Dieng Kulon. Rasanya jalur ini cukup membuat nafas kami hampir putus melewati anak tangga yang menanjak. Usai melewati pemukiman penduduk, kami beristirahat sejenak di sekitar ladang, sekedar menghela nafas serta melakukan koordinasi ulang kepada semua anggota. Sebuah "ujian" fisik dan mental sebelum memulai pendakian yang sebenarnya. Kak Ika, seorang anggota pendakian hampir saja memilih untuk membatalkan pendakian, namun akhirnya dia mengurungkan niatnya setelah kami semua meyakinkan bahwa pendakian akan baik-baik saja.
Perjalanan pun kami lanjutkan, melewati kompleks makam berlanjut ke hamparan perkebunan warga yang tampak mengering karena kurangnya pasokan air di musim kemarau. Kami mulai berbincang dengan suara sedikit lantang untuk menghilangkan rasa lelah di badan. Mungkin inilah seninya melakukan pendakian. Kita akan merasa cepat akrab satu dengan yang lain walaupun baru saling kenal. Tak ada rasa canggung di antara kami, seolah sedang bertemu teman lama kemudian terjalin obrolan seru setelahnya. Tak terasa kami sudah melewati pos pendakian pertama dan siap memasuki kawasan di dalam hutan.
Pendakian Malam di Dalam Hutan
Suara adzan Magrib sayup-sayup terdengar ketika kami mulai memasuki rute pendakian di dalam hutan. Kami berhenti sebentar, menyiapkan senter untuk penerangan dalam perjalanan. Tanjakan-tanjakan kecil mulai kami rasakan. Kami pun harus mulai pandai mengatur pernafasan, selain ngos-ngosan dengan beban yang kami bawa, belum lagi ditambah dengan debu-debu pasir beterbangan juga cukup mengganggu pernafasan kami. Masker sudah siaga kami kenakan, namun saya sedikit kurang nyaman menggunakan masker, karena terasa kurang leluasa untuk bernafas, apalagi saya termasuk tipe orang yang cukup boros ketika bernafas.
Semakin malam udara terasa semakin dingin. Hembusan angin gunung membuat kami lumayan menggigil, terlebih jika kami terlalu lama berhenti untuk beristirahat, udara dingin akan terasa semakin menusuk badan. Perjalanan yang cukup berat bagi saya adalah setelah melewati pos dua, yang ditandai dengan tapal batas antara Kabupaten Batang dan Wonosobo. Hutan semakin rapat, jalan setapak yang terasa semakin menanjak, dan adanya jurang di salah satu sisi jalan sehingga membuat kami harus lebih ekstra hati-hati.
Kami sempat kebingungan mencari jalan di salah satu persimpangan jalan. Tapi untunglah, teman-teman yang berada di barisan depan cukup sigap dalam mencari jalan. Pendakian pun dapat kami lanjutkan melalui jalan yang benar. Ada "insiden" kecil ketika kami melalui sebuah tanjakan ke arah tower sinyal provider selular. Ada suara aneh, seolah ada seorang perempuan yang sedang menertawakan kami dengan puas. Saya pikir suara tersebut paling-paling suara hewan atau primata. Tapi menurut penerawangan teman saya itu adalah sejenis suara kuntilanak ! Hahaha ! Untung saja kawan saya baru bercerita keesokan harinya ketika kami sudah turun dari Gunung Prau ! Malam itu pikiran kami biasa-biasa saja, tidak ada pikiran yang macam-macam, mungkin rasa lelah di badan serta terjangan dinginnya angin gunung membuat kami hanya fokus agar segera tiba di tujuan dan mendirikan tenda, lalu mengistirahatkan raga.
Semangat kami semakin memuncak, ketika Mas Vidi yang menjadi pemimpin kelompok kami berkata jika tujuan kami sudah dekat. Tinggal satu tanjakan lagi kami tiba di tempat untuk mendirikan tenda. Rasa lelah di raga memang sedikit meredupkan semangat kami. Kami banyak beristirahat sebelum memulai tanjakan lagi. Banyak pendaki lain yang beristirahat di titik sini. Ada beberapa bapak-bapak menawarkan gorengan. Tapi entah, mereka memang benar-benar menjual gorengan apa hanya sebuah candaan. Rasa lelah yang melanda serta dinginnya hembusan angin gunung membuat kami benar-benar tak menghiraukan dengan kondisi sekitar.
Kami pun melanjutkan perjalanan, mendaki tanjakan terakhir sebelum akhirnya tiba di camping ground area. Cahaya senter pun semakin meredup setelah hampir lima jam kami gunakan terus-menerus dalam perjalanan. Usai tiba di camping ground area, kami bergegas memilih tempat yang cukup datar untuk mendirikan tenda. Kami harus berpacu dengan waktu, karena angin gunung berhembus semakin kencang dan membuat tubuh kami semakin menggigil kedinginan. Kencangnya hembusan angin sedikit menyulitkan dalam proses mendirikan tenda. Untunglah, beberapa tenda yang kami dirikan akhirnya siap digunakan. Tanpa babibu kami memasukkan barang ke dalam tenda. Saya memilih untuk segera beristirahat, menyiapkan sleeping bag untuk menghalau dinginnya angin gunung yang semakin kencang berhembus.
Semakin malam, semakin ramai pendaki yang berdatangan ke camping ground area. Saya tidak memperhatikan mereka dengan seksama, hanya saja suara mereka semakin malam terasa semakin riuh saja. Saya paksakan diri untuk tidur sambil menahan rasa lapar yang mendera, karena siang sebelum pendakian, saya lupa untuk makan. Mungkin rasa lelah sudah mengalahkan rasa lapar yang ada. Saya memilih untuk minum beberapa teguk air kemudian memejamkan mata, daripada sibuk mengaduk-aduk isi tas untuk mencari makanan. Selain ribet, udara dingin pun membuat saya cukup malas untuk mencari makanan di dalam tas.
Menikmati Sasana Pagi dari Ketinggian
Beberapa kali saya terbangun malam itu, kemudian melihat jam di tangan. Jika belum pagi saya mencoba tidur lagi, namun beberapa saat terbangun lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.20. Saya pun membangunkan Mas Yoyok dan Bang Adit, teman satu tenda saya. "Mau lihat sunrise sekarang ga?". Mereka pun ikut terbangun dan bersiap diri keluar dari tenda. Kami melihat kawan-kawan di tenda lain masih tidur dengan lelap. Tak tega rasanya jika membangunkan mereka. Akhirnya kami bertiga melipir duluan untuk melihat matahari terbit di bukit sebelah.
Udara dingin langsung menyapa begitu kami keluar dari tenda sehingga seketika badan saya menggigil kedinginan karenanya. Namun, sorot cahaya kemerahan di ufuk timur menjadi penyemangat saya untuk mendaki bukit sebelah, demi menyambut matahari pagi yang akan segera terbit. Kami mulai berjalan menyusuri camping ground area, kemudian melewati sebuah padang sabana. Ah, pantas saja banyak pendaki yang bilang jika mendaki Gunung Prau via Dieng Kulon memiliki pemandangan yang lebih bagus daripada melewati Patak Banteng. Usai melewati padang sabana, masih ada satu tanjakan lagi yang harus dilewati. Ujian terakhir, batin saya. Pemandangan pagi di atas sana seolah menjadi penyemangat untuk terus mendaki bukit. Beberapa kali saya harus berhenti untuk mengatur nafas. Tanjakannya memang tak seberapa tinggi. Namun lagi-lagi debu halus masih rajin menyapa.
Ketika sampai di puncak bukit saja pun langsung mengambil posisi duduk, meluruskan kedua kaki, lalu mencoba menikmati suasana pagi. Ritual itu memang tidak bisa saya lakukan lama-lama, karena pendaki lain sudah berhamburan datang untuk menyapa mentari pagi. Deretan pegunungan nampak jelas dari atas bukit sana. Semburat warna keemasan terlihat di cakrawala, kemudian perlahan-lahan matahari pun muncul dari ufuk timur sana. Semua terlihat bersemangat pagi itu untuk mengabadikan gambar.
Saya mengamati bagian barat puncak bukit ini. Di sana terlihat perkampungan Dieng, pemandangan Telaga Warna, serta deretan perbukitan yang dijadikan ladang perkebunan oleh warga. Kami bertiga tidak berlama-lama di puncak bukit. Kami lalu memilih kembali ke tenda, menyapa kawan yang lain dan tentu saja rombongan dari Semarang yang menyusul kami tadi malam. Pagi itu cukup meriah, kami menghabiskan pagi dengan membuat sarapan bersama, bercanda bersama, dan diakhiri dengan sesi foto bersama. Sekitar pukul 07.30 kami mulai berbenah, membereskan tenda dan barang-barang, kemudian bersiap melakukan perjalanan pulang. Sebuah pengalaman pendakian yang menarik bersama orang-orang yang baru saja saya kenal !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar