Cahaya bulan purnama menjadi teman setia selama kami melakukan perjalanan menuju Desa Sembungan. Dinginnya udara menjelang fajar terasa menusuk tulang seolah tak kami perdulikan. Diiringi pekatnya kabut pagi yang menyambut kedatangan kami, membuat kami semakin semangat untuk mengejar terbitnya sang mentari di atas bukit nanti.
Suara alarm yang berbunyi nyaring memecah keheningan di salah satu kamar kecil di Losmen Bu Djono. Saya, Ajeng, dan Bang Ari pun segera terbangun, beranjak dari hangatnya selimut yang menepis dinginnya udara Dieng di kala dini hari. Kami segera bergegas, menyiapkan diri untuk memulai pendakian ke Bukit Sikunir. Suasana di depan losmen ternyata cukup riuh oleh pengunjung yang bersiap menuju Desa Sembungan. Tampak beberapa mobil dan motor yang sudah bersiap menuju ke sana, seolah tak satupun orang ingin ketinggalan momen matahari terbit dari atas bukit pagi itu.
Bukit Sikunir merupakan sebuah bukit yang berada di kawasan Dataran Tinggi Dieng dengan ketinggian sekitar 2.463 meter di atas permukaan laut. Dengan mobil pick up sayur yang kami sewa, petualangan menuju Bukit Sikunir pun dimulai. Saya dan Bang Ari duduk di bagian bak pick up, satu kawan lagi, Ajeng, duduk di bagian depan di samping pak sopir. Dinginnya udara Dieng membuai lembut ke sekujur tubuh. ditemani sinar rembulan pun tampak malu-malu mengiringi perjalanan kami menuju Desa Sembungan semakin membuat perjalanan ke Dieng kali ini terasa begitu berkesan. Dua puluh menit perjalanan akhirnya kami memasuki area Desa Sembungan. Jalan aspal yang mulai rusak menjadi teman setia sepanjang perjalanan menuju kemari. Guncangan dari jalan aspal yang sudah banyak berlubang seolah membangunkan kami dari kantuk dan rasa malas akibat udara dingin yang menusuk.
Kami pun tiba di sekitar Telaga Cebong, tempat parkir kendaraan sebelum melanjutkan pendakian menuju Bukit Sikunir. Suasana di pos pendakian Bukit Sikunir kini terasa lebih semarak. Beberapa fasilitas pendukung wisata sudah dibangun seperti mushola, toilet umum, serta camping ground pun juga disediakan di sekitar Telaga Cebong. Kondisi yang terasa cukup kontras ketika pertama kali saya datang kemari pada tahun 2012 yang lalu. Sekarang sudah ada larangan untuk mendirikan tenda di puncak Bukit Sikunir, sehingga disediakan fasilitas arena camping ground di sekitar Telaga Cebong bagi pengunjung yang ingin berkemah di Bukit Sikunir ini. Deretan kios-kios semi permanen milik penduduk setempat pun ikut menyemarakkan suasana di area pos awal pendakian ini. Kios-kios tersebut menjajakan makanan dan minuman hangat serta beberapa souvenir untuk dibawa pulang. Souvenir yang paling banyak dijajakan adalah sarung tangan, syal, dan topi hangat dengan tulisan Dieng.
Bang Ari mengajak kami untuk mampir sejenak di salah satu warung untuk memesan segelas minuman hangat agar perut tidak kembung. Seperti biasa, saya memesan segelas teh hangat. Suasana pun semakin akrab saat kami terlibat obrolan hangat dengan sang pemilik warung. Kami mengobrol ngalor-ngidul tentang lokasi wisata yang menarik Dieng, termasuk beberapa obyek wisata baru yang kini sedang dalam tahap pembukaan dan perbaikan jalur untuk menuju lokasi. Sebenarnya obyek-obyek wisata tersebut sudah ada di Dieng, namun karena minimnya fasilitas serta akses jalan membuat lokasi tersebut jarang dikunjungi. Air terjun Sikarim misalnya, air terjun yang berada di sekitar Desa Sembungan ini sudah dikenal beberapa orang, namun akses jalan ke sana masih belum baik, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang menyambangi lokasi tersebut. Usai menghabiskan satu gelas minuman hangat, kami pun segera membayar dan berpamitan untuk memulai pendakian.
Jalur pendakian Bukit Sikunir kini juga sudah diperbaiki. Beberapa jalur sudah dibuat seperti tatanan anak tangga yang terbuat dari batu-batu yang ditata sedemikian rupa sehingga memudahkan pendaki untuk berjalan. Bagian kiri jalur pendakian pun sudah diberi kayu dan besi pembatas agar pendaki lebih aman dan tidak tergelincir ke jurang saat melakukan perjalanan. Selebihnya, medan pendakian masih terasa seperti dulu, tanjakan demi tanjakan harus kami lalui. Jalur pendakian menuju Sikunir memang tidak memberikan bonus jalan datar, isinya lebih banyak tanjakan-tanjakan. Beberapa kali saya meminta untuk berhenti sekedar untuk mengatur nafas yang mulai tersengal. Kesalahan terbesar saya adalah tidak pernah berolahraga, jarang mengolah fisik sehingga stamina saya lemah ketika menghadapi tanjakan demi tanjakan.
Kesalahan kedua saya adalah tidak membawa senter untuk penerangan selama pendakian. Kurangnya penerangan memang cukup menghambat laju pendakian karena saya harus berjalan perlahan agar dapat memijak jalur yang tepat. Untung saja ada beberapa rombongan di belakang saya yang siap sedia membawa senter sehingga sorot sinarnya cukup menerangi selama pendakian. Kontur tanah di Bukit Sikunir terdiri dari bebatuan dan juga tanah dengan tekstur yang halus. Tekstur tanah halus inilah yang menyebabkan jalur pendakian menjadi sedikit licin, apabila tidak berhati-hati dan salah memijak dapat menyebabkan kita tergelincir. Maka dari itu dibutuhkan kewaspadaan selama melakukan pendakian.
Untuk mencapai puncak Bukit Sikunir diperlukan waktu tempuh sekitar 30-45 menit pendakian, tergantung kondisi fisik masing-masing orang. Bagi penduduk setempat, biasanya mereka dapat mencapai puncak Bukit Sikunir hanya dalam waktu 15 menit pendakian saja. Ada hal yang sedikit berbeda yang saya temui ketika berada di puncak bukit. Di bagian puncak Bukit Sikunir kini terdapat bangunan gubug sederhana dan beberapa potongan batang pohon yang berfungsi untuk tempat duduk. Di sekitar puncak juga terdapat lapak penjual makanan dan minuman serta fasilitas toilet umum. Mungkin juga fasilitas-fasilitas ini ada karena jumlah kunjungan wisatawan yang semakin meningkat ke Bukit Sikunir ini.
Setibanya di puncak, saya mengambil posisi duduk untuk mengistirahatkan badan dan meluruskan kaki. Pemandangan Gunung Sindoro nampak begitu jelas di depan kami. Banyak pengunjung langsung menyiapkan kamera dan ponsel mereka untuk mengabadikan momen pagi itu. Semburat warna orange tampak membelah cakrawala di ufuk timur. Seolah tak mau ketinggalan momen, pengunjung pun sibuk memainkan gadget mereka. Ada yang mengambil gambar pemandangan alam, tak sedikit pula yang mengabadikan diri dengan berbagai macam pose dengan latar belakang pemandangan matahari terbit.
Usai menikmati pemadangan matahari pagi, saya mengajak kawan-kawan saya menuju sisi lain Bukit Sikunir, tepatnya di sebelah belakang puncak. Tujuan saja adalah untuk melihat pemandangan Telaga Cebong dari atas ketinggian. Kami duduk di salah satu batu yang langsung menghadap ke Telaga Cebong. Sambil meluruskan kaki, kami menikmati bekal yang sudah kami sediakan sebelumnya, yaitu sebatang cokelat dan air mineral. Cokelat batangan yang kami bawa teksturnya menjadi keras, hampir mirip seperti dimasukkan ke dalam lemari es. Ada pemandangan yang sedikit membuat risih di Sikunir sekarang ini, apalagi kalau bukan ulah pengunjung yang tidak bertanggung jawab yang membuang bungkus makanan sembarangan. Belum lagi saya melihat banyak bungkus permen yang dibuang begitu saja. Sangat disayangkan bukan, jika tempat dengan pemandangan yang cantik seperti ini banyak sekali sampah bungkus makanan yang berserakan ! Saya dan kawan-kawan mencoba memungut beberapa sampah bungkus makanan tersebut untuk dibawa ke bawah agar tidak mengotori puncak Bukit Sikunir ini.
Usai puas menikmati pemandangan pagi di Bukit Sikunir, kami pun memutuskan untuk turun menuju basecamp. Dalam perjalanan turun kami menyempatkan untuk mengambil beberapa foto sambil menikmati indahnya pemandangan perbukitan yang masih terlihat begitu menghijau di puncak musim kemarau. Kami pun harus lebih ekstra hati-hati dengan jalanan yang menurun selama pulang. Entah mengapa, perjalanan pulang itu terasa lebih cepat daripada perjalanan berangkat ke tujuan bukan?
Suara alarm yang berbunyi nyaring memecah keheningan di salah satu kamar kecil di Losmen Bu Djono. Saya, Ajeng, dan Bang Ari pun segera terbangun, beranjak dari hangatnya selimut yang menepis dinginnya udara Dieng di kala dini hari. Kami segera bergegas, menyiapkan diri untuk memulai pendakian ke Bukit Sikunir. Suasana di depan losmen ternyata cukup riuh oleh pengunjung yang bersiap menuju Desa Sembungan. Tampak beberapa mobil dan motor yang sudah bersiap menuju ke sana, seolah tak satupun orang ingin ketinggalan momen matahari terbit dari atas bukit pagi itu.
Bukit Sikunir merupakan sebuah bukit yang berada di kawasan Dataran Tinggi Dieng dengan ketinggian sekitar 2.463 meter di atas permukaan laut. Dengan mobil pick up sayur yang kami sewa, petualangan menuju Bukit Sikunir pun dimulai. Saya dan Bang Ari duduk di bagian bak pick up, satu kawan lagi, Ajeng, duduk di bagian depan di samping pak sopir. Dinginnya udara Dieng membuai lembut ke sekujur tubuh. ditemani sinar rembulan pun tampak malu-malu mengiringi perjalanan kami menuju Desa Sembungan semakin membuat perjalanan ke Dieng kali ini terasa begitu berkesan. Dua puluh menit perjalanan akhirnya kami memasuki area Desa Sembungan. Jalan aspal yang mulai rusak menjadi teman setia sepanjang perjalanan menuju kemari. Guncangan dari jalan aspal yang sudah banyak berlubang seolah membangunkan kami dari kantuk dan rasa malas akibat udara dingin yang menusuk.
Kami pun tiba di sekitar Telaga Cebong, tempat parkir kendaraan sebelum melanjutkan pendakian menuju Bukit Sikunir. Suasana di pos pendakian Bukit Sikunir kini terasa lebih semarak. Beberapa fasilitas pendukung wisata sudah dibangun seperti mushola, toilet umum, serta camping ground pun juga disediakan di sekitar Telaga Cebong. Kondisi yang terasa cukup kontras ketika pertama kali saya datang kemari pada tahun 2012 yang lalu. Sekarang sudah ada larangan untuk mendirikan tenda di puncak Bukit Sikunir, sehingga disediakan fasilitas arena camping ground di sekitar Telaga Cebong bagi pengunjung yang ingin berkemah di Bukit Sikunir ini. Deretan kios-kios semi permanen milik penduduk setempat pun ikut menyemarakkan suasana di area pos awal pendakian ini. Kios-kios tersebut menjajakan makanan dan minuman hangat serta beberapa souvenir untuk dibawa pulang. Souvenir yang paling banyak dijajakan adalah sarung tangan, syal, dan topi hangat dengan tulisan Dieng.
Bang Ari mengajak kami untuk mampir sejenak di salah satu warung untuk memesan segelas minuman hangat agar perut tidak kembung. Seperti biasa, saya memesan segelas teh hangat. Suasana pun semakin akrab saat kami terlibat obrolan hangat dengan sang pemilik warung. Kami mengobrol ngalor-ngidul tentang lokasi wisata yang menarik Dieng, termasuk beberapa obyek wisata baru yang kini sedang dalam tahap pembukaan dan perbaikan jalur untuk menuju lokasi. Sebenarnya obyek-obyek wisata tersebut sudah ada di Dieng, namun karena minimnya fasilitas serta akses jalan membuat lokasi tersebut jarang dikunjungi. Air terjun Sikarim misalnya, air terjun yang berada di sekitar Desa Sembungan ini sudah dikenal beberapa orang, namun akses jalan ke sana masih belum baik, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang menyambangi lokasi tersebut. Usai menghabiskan satu gelas minuman hangat, kami pun segera membayar dan berpamitan untuk memulai pendakian.
Jalur pendakian Bukit Sikunir kini juga sudah diperbaiki. Beberapa jalur sudah dibuat seperti tatanan anak tangga yang terbuat dari batu-batu yang ditata sedemikian rupa sehingga memudahkan pendaki untuk berjalan. Bagian kiri jalur pendakian pun sudah diberi kayu dan besi pembatas agar pendaki lebih aman dan tidak tergelincir ke jurang saat melakukan perjalanan. Selebihnya, medan pendakian masih terasa seperti dulu, tanjakan demi tanjakan harus kami lalui. Jalur pendakian menuju Sikunir memang tidak memberikan bonus jalan datar, isinya lebih banyak tanjakan-tanjakan. Beberapa kali saya meminta untuk berhenti sekedar untuk mengatur nafas yang mulai tersengal. Kesalahan terbesar saya adalah tidak pernah berolahraga, jarang mengolah fisik sehingga stamina saya lemah ketika menghadapi tanjakan demi tanjakan.
Kesalahan kedua saya adalah tidak membawa senter untuk penerangan selama pendakian. Kurangnya penerangan memang cukup menghambat laju pendakian karena saya harus berjalan perlahan agar dapat memijak jalur yang tepat. Untung saja ada beberapa rombongan di belakang saya yang siap sedia membawa senter sehingga sorot sinarnya cukup menerangi selama pendakian. Kontur tanah di Bukit Sikunir terdiri dari bebatuan dan juga tanah dengan tekstur yang halus. Tekstur tanah halus inilah yang menyebabkan jalur pendakian menjadi sedikit licin, apabila tidak berhati-hati dan salah memijak dapat menyebabkan kita tergelincir. Maka dari itu dibutuhkan kewaspadaan selama melakukan pendakian.
Untuk mencapai puncak Bukit Sikunir diperlukan waktu tempuh sekitar 30-45 menit pendakian, tergantung kondisi fisik masing-masing orang. Bagi penduduk setempat, biasanya mereka dapat mencapai puncak Bukit Sikunir hanya dalam waktu 15 menit pendakian saja. Ada hal yang sedikit berbeda yang saya temui ketika berada di puncak bukit. Di bagian puncak Bukit Sikunir kini terdapat bangunan gubug sederhana dan beberapa potongan batang pohon yang berfungsi untuk tempat duduk. Di sekitar puncak juga terdapat lapak penjual makanan dan minuman serta fasilitas toilet umum. Mungkin juga fasilitas-fasilitas ini ada karena jumlah kunjungan wisatawan yang semakin meningkat ke Bukit Sikunir ini.
Setibanya di puncak, saya mengambil posisi duduk untuk mengistirahatkan badan dan meluruskan kaki. Pemandangan Gunung Sindoro nampak begitu jelas di depan kami. Banyak pengunjung langsung menyiapkan kamera dan ponsel mereka untuk mengabadikan momen pagi itu. Semburat warna orange tampak membelah cakrawala di ufuk timur. Seolah tak mau ketinggalan momen, pengunjung pun sibuk memainkan gadget mereka. Ada yang mengambil gambar pemandangan alam, tak sedikit pula yang mengabadikan diri dengan berbagai macam pose dengan latar belakang pemandangan matahari terbit.
Usai menikmati pemadangan matahari pagi, saya mengajak kawan-kawan saya menuju sisi lain Bukit Sikunir, tepatnya di sebelah belakang puncak. Tujuan saja adalah untuk melihat pemandangan Telaga Cebong dari atas ketinggian. Kami duduk di salah satu batu yang langsung menghadap ke Telaga Cebong. Sambil meluruskan kaki, kami menikmati bekal yang sudah kami sediakan sebelumnya, yaitu sebatang cokelat dan air mineral. Cokelat batangan yang kami bawa teksturnya menjadi keras, hampir mirip seperti dimasukkan ke dalam lemari es. Ada pemandangan yang sedikit membuat risih di Sikunir sekarang ini, apalagi kalau bukan ulah pengunjung yang tidak bertanggung jawab yang membuang bungkus makanan sembarangan. Belum lagi saya melihat banyak bungkus permen yang dibuang begitu saja. Sangat disayangkan bukan, jika tempat dengan pemandangan yang cantik seperti ini banyak sekali sampah bungkus makanan yang berserakan ! Saya dan kawan-kawan mencoba memungut beberapa sampah bungkus makanan tersebut untuk dibawa ke bawah agar tidak mengotori puncak Bukit Sikunir ini.
Usai puas menikmati pemandangan pagi di Bukit Sikunir, kami pun memutuskan untuk turun menuju basecamp. Dalam perjalanan turun kami menyempatkan untuk mengambil beberapa foto sambil menikmati indahnya pemandangan perbukitan yang masih terlihat begitu menghijau di puncak musim kemarau. Kami pun harus lebih ekstra hati-hati dengan jalanan yang menurun selama pulang. Entah mengapa, perjalanan pulang itu terasa lebih cepat daripada perjalanan berangkat ke tujuan bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar