Saya jarang sekali menceritakan pengalaman pahit atau boleh dibilang "sisi gelap" perjalanan yang saya lakukan di dalam blog ini. Terkadang, dalam sebuah perjalanan itu memang tidak selamanya berjalan mulus sesuai dengan rencana. Terkadang ada pengalaman-pengalaman yang mengesalkan, tak jarang juga terdapat pengalaman yang mendebarkan dalam setiap perjalanan yang pernah kita lakukan. Namun, semuanya akan menjadi cerita yang mengesankan untuk kita kenang.
Awal Mei 2015.
Pagi ini saya berjanji untuk bertemu dengan seorang kawan dari Jakarta di Stasiun Gubeng Surabaya. Kami merencanakan untuk melakukan perjalanan bersama menuju Taman Nasional Baluran. Seperti biasa, rute perjalanan yang akan kami lalui adalah menuju Kota Banyuwangi terlebih dahulu menggunakan jasa kereta lalu melanjutkan perjalanan menggunakan bus.. Rencana perjalanan sudah kami susun sedemikian rupa, namun sekitar satu jam sebelum keberangkatan kereta, ada selentingan kabar jika jadwal keberangkatan akan mengalami keterlambatan karena banjir yang menggenangi jalur kereta di daerah Porong, Sidoarjo.
Kami berdua harap-harap cemas menanti kabar kepastian keberangkatan kereta yang akan membawa kami ke Banyuwangi. Penumpang kereta Bima tujuan Jakarta-Malang yang tiba pagi itu pun juga belum mendapat kepastian kabar untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Malang. Suasana tegang jelas terlihat di pintu keberangkatan, di mana para penumpang menunggu kepastian tentang jadwal keberangkatan kereta, terutama kereta-kereta yang melewati jalur Porong. Kereta Mutiara Timur Pagi yang akan kami gunakan pun juga tak luput dari ketidakjelasan jadwal pemberangkatan karena masih menunggu informasi tentang rute jalur di Porong.
Sekitar pukul 10.30 barulah ada kejelasan dari PT KAI bagi penumpang tujuan Banyuwangi. Para penumpang dapat memilih untuk menunggu kereta yang belum jelas kapan bisa diberangkatkan atau memilih untuk refound tiket keberangkatan dan memilih menggunakan moda transportasi untuk ke Banyuwangi. Saya dan kawan saya sejak tadi berunding untuk mencari alternatif lain menuju Kota Banyuwangi. Kemudian dipilihkan transportasi shuttle bus untuk menuju Bumi Gandrung tersebut. Untung saja ada sebuah shuttle yang sedang menunggu penumpang dan masih ada kursi kosong untuk kami gunakan. Usai antri untuk melakukan refound tiket, kami pun menuju shuttle yang akan berangkat menuju Kota Banyuwangi.
Masih di luar dugaan, ternyata kami harus masih berputar-putar selama kurang lebih satu jam di Kota Surabaya untuk menjemput beberapa penumpang. Panasnya Kota Surabaya memang cukup membuat penumpang di dalam shuttle merasa gerah, ditambah lagi dengan AC di dalam kendaraan yang tidak bekerja dengan maksimal. Ditambah dengan jalanan yang cukup padat, bahkan cenderung macet di beberapa ruas jalan, membuat perjalanan siang itu terasa begitu panjang.
Memasuki area Gempol, ada sedikit insiden yang membuat seluruh penumpang teriak histeris. Saat mobil yang akan kami tumpangi akan menyalip truk di depan melalui bagian kanan, tidak disangka truk pun juga melaju menuju kanan. Tak ayal lagi, spion mobil yang kami tumpangi tersenggol oleh bagian belakang badan truk. Setir mobil mengalami sedikit oleng, namun untung sang sopir dengan cekatan dapat mengendalikan laju kendaraan. Oke, kami selamat dari insiden siang itu. Sempat terjadi adu mulut antara driver kami dengan sopir truk yang menyenggol kendaraan yang kami tumpangi. Untung saja perdebatan tersebut tidak panjang sehingga shuttle pun dapat melanjutkan perjalanan kembali.
Sepanjang Gempol sampai dengan Pasuruhan, lalu lintas padat merayap. Hari itu berpetapan dengan libur panjang menjelang akhir pekan. Sopir kami cukup lihai dan cekatan mencari celah jalan sehingga dapat mencari sela-sela jalan yang kosong untuk memacu kendaraan, walau kadang membuat beberapa penumpang wanita berteriak histeris melihat kelakuan si sopir. Perjalanan Surabaya-Pasuruhan yang biasa ditempuh sekitar satu jam perjalanan pun akhirnya molor menjadi beberapa jam karena kondisi padatnya jalan.
Kepadatan jalan masih terus berlanjut ketika kami melanjutkan perjalanan ke Kota Probolinggo. Meluapnya sungai yang menggenangi jalanan di Pasuruhan menjadi salah satu penyebab macetnya jalanan siang itu. Begitu memasuki Probolinggo, ada kejanggalan yang kami rasakan. Laju mobil terasa tersendat dan setiran terasa tidak terkendali. Benar saja, ternyata si sopir sempat tertidur sebentar ketika sedang berkendara. Untung saja penumpang di bagian segera menyadarkan si sopir. Si sopir pun segera memacu kendaraannya menuju tempat makan. Si sopir pun bisa beristirahat, begitu juga dengan para penumpang. Perjalanan siang itu terasa sangat lama, memakan waktu yang lebih panjang dari biasanya. Padahal, normalnya waktu tempuh dari Surabaya menuju Probolinggo hanya memakan waktu sekitar dua jam perjalanan saja.
Setelah beristirahat di tempat makan, suasana antar penumpang di dalam shuttle terasa lebih mencair. Saya malah merasa jika kami sedang melakukan tamasya bersama, bukan sedang menggunakan jasa transportasi umum. Suasana terasa akrab, di mana semua penumpang mulai saling bercanda satu dengan yang lain sambil menceritakan pengalamannya masing-masing. Dan lagi-lagi, kami harus berpacu dengan kemacetan yang terjadi di sepanjang perjalanan Probolinggo menuju Kota Jember. Kali ini kami sudah mulai terbiasa dengan gaya menyetir mas driver yang membawa shuttle kami. Manuver-manuvernya beliau melewati kemacetan panjang memang cukup membuat kami berdebar-debar. Terlebih lagi rute jalan yang sempit dan naik-turun semakin memompa adrenalin kami ketika mas driver memacu kendaraan dengan manuver-manuvernya.
Memasuki Kota Jember lalu lintas jalan sudah mulai cukup lengang. Beberapa kali kami meminta berhenti di pom bensin atau minimarket untuk membeli logistik atau sekedar buang air kecil. Perjalanan menggunakan shuttle kali ini memang benar-benar perjalanan paling santai yang pernah saya lakukan. Barulah ketika memasuki daerah Gunung Gumitir yang berlokasi antara Jember dan Banyuwangi, kondisi jalan kembali padat. Kondisi jalan cukup berkelok, naik-turun dan minim penerangan jalan. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 lebih. Hampir semua penumpang terlihat diam kelelahan menempuh perjalanan. Ada beberapa yang mulai terlelap, termasuk saya.
Mas driver menghentikan laju mobil dan memarkirkannya di dekat rest area di daerah Gunung Gumitir. Beberapa penumpang memilih untuk turun dari shuttle guna meluruskan kaki. Lelah rasanya sudah seharian ini kami terjebak di padatnya jalan. Padahal normalnya, perjalanan darat dari Surabaya menuju Banyuwangi memakan waktu sekitar tujuh jam perjalanan saja. Sedangkan kami sudah hampir lebih dari dua belas jam perjalanan dan belum juga tiba sampai tujuan.
Di sinilah insiden kembali dimulai. Tiba-tiba saja mobil yang sedang berhenti berjalan sendiri karena mobil diparkirkan dalam posisi yang tidak benar. Sepertinya mas sopir lupa untuk menarik tuas rem tangan. Kondisi jalanan yang sedikit menurun membuat mobil meluncur begitu saja. Padahal di bawah sana ada jalanan berkelok yang di sebelahnya jurang, ditambah ada beberapa kendaraan berat yang melaju dari arah bawah menuju ke atas. Sontak seluruh penumpang yang berada di dalam merasa panik dan mencoba untuk melompat keluar. Saya berhasil melompat keluar dengan posisi mendarat yang tidak sempurna. Dengkul saya cidera dan memar. Perih rasanya memang, namun saya bersyukur masih bisa menyelamatkan diri. Naas, ada seorang penumpang yang berhasil melompat namun bagian kakinya terlindas ban mobil. Namun untung saja tidak mengalami cidera yang serius. Sungguh sebuah pengalaman yang mendebarkan dalam perjalanan-perjalanan yang pernah saya lakukan.
Dengan cekatan mas driver dibantu warga sekitar segera mengendalikan mobil yang tiba-tiba meluncur sendiri tersebut. Untungnya mobil bisa dikendalikan dan kami semua selamat, tidak mengalami kejadian yang lebih parah. Perjalanan pun dilanjutkan dengan raut muka yang tegang para penumpang. Sudah lebih dari pukul 12 malam, saya dan kawan saya diturunkan di salah satu hotel di kawasan Genteng untuk beristirahat. Sepertinya mas sopir shuttle ini sangat paham dengan kondisi fisik kami yang sudah mulai kelelahan setelah melakukan perjalanan yang super panjang. Ya, tanpa pikir panjang kami memilih untuk beristirahat di hotel tersebut dan melanjutkan perjalanan pada keesokan hari.
Awal Mei 2015.
Pagi ini saya berjanji untuk bertemu dengan seorang kawan dari Jakarta di Stasiun Gubeng Surabaya. Kami merencanakan untuk melakukan perjalanan bersama menuju Taman Nasional Baluran. Seperti biasa, rute perjalanan yang akan kami lalui adalah menuju Kota Banyuwangi terlebih dahulu menggunakan jasa kereta lalu melanjutkan perjalanan menggunakan bus.. Rencana perjalanan sudah kami susun sedemikian rupa, namun sekitar satu jam sebelum keberangkatan kereta, ada selentingan kabar jika jadwal keberangkatan akan mengalami keterlambatan karena banjir yang menggenangi jalur kereta di daerah Porong, Sidoarjo.
Hotel Mahkota, Genteng, Banyuwangi, tempat kami menginap setelah perjalanan panjang |
Sekitar pukul 10.30 barulah ada kejelasan dari PT KAI bagi penumpang tujuan Banyuwangi. Para penumpang dapat memilih untuk menunggu kereta yang belum jelas kapan bisa diberangkatkan atau memilih untuk refound tiket keberangkatan dan memilih menggunakan moda transportasi untuk ke Banyuwangi. Saya dan kawan saya sejak tadi berunding untuk mencari alternatif lain menuju Kota Banyuwangi. Kemudian dipilihkan transportasi shuttle bus untuk menuju Bumi Gandrung tersebut. Untung saja ada sebuah shuttle yang sedang menunggu penumpang dan masih ada kursi kosong untuk kami gunakan. Usai antri untuk melakukan refound tiket, kami pun menuju shuttle yang akan berangkat menuju Kota Banyuwangi.
Masih di luar dugaan, ternyata kami harus masih berputar-putar selama kurang lebih satu jam di Kota Surabaya untuk menjemput beberapa penumpang. Panasnya Kota Surabaya memang cukup membuat penumpang di dalam shuttle merasa gerah, ditambah lagi dengan AC di dalam kendaraan yang tidak bekerja dengan maksimal. Ditambah dengan jalanan yang cukup padat, bahkan cenderung macet di beberapa ruas jalan, membuat perjalanan siang itu terasa begitu panjang.
Memasuki area Gempol, ada sedikit insiden yang membuat seluruh penumpang teriak histeris. Saat mobil yang akan kami tumpangi akan menyalip truk di depan melalui bagian kanan, tidak disangka truk pun juga melaju menuju kanan. Tak ayal lagi, spion mobil yang kami tumpangi tersenggol oleh bagian belakang badan truk. Setir mobil mengalami sedikit oleng, namun untung sang sopir dengan cekatan dapat mengendalikan laju kendaraan. Oke, kami selamat dari insiden siang itu. Sempat terjadi adu mulut antara driver kami dengan sopir truk yang menyenggol kendaraan yang kami tumpangi. Untung saja perdebatan tersebut tidak panjang sehingga shuttle pun dapat melanjutkan perjalanan kembali.
Sepanjang Gempol sampai dengan Pasuruhan, lalu lintas padat merayap. Hari itu berpetapan dengan libur panjang menjelang akhir pekan. Sopir kami cukup lihai dan cekatan mencari celah jalan sehingga dapat mencari sela-sela jalan yang kosong untuk memacu kendaraan, walau kadang membuat beberapa penumpang wanita berteriak histeris melihat kelakuan si sopir. Perjalanan Surabaya-Pasuruhan yang biasa ditempuh sekitar satu jam perjalanan pun akhirnya molor menjadi beberapa jam karena kondisi padatnya jalan.
Kepadatan jalan masih terus berlanjut ketika kami melanjutkan perjalanan ke Kota Probolinggo. Meluapnya sungai yang menggenangi jalanan di Pasuruhan menjadi salah satu penyebab macetnya jalanan siang itu. Begitu memasuki Probolinggo, ada kejanggalan yang kami rasakan. Laju mobil terasa tersendat dan setiran terasa tidak terkendali. Benar saja, ternyata si sopir sempat tertidur sebentar ketika sedang berkendara. Untung saja penumpang di bagian segera menyadarkan si sopir. Si sopir pun segera memacu kendaraannya menuju tempat makan. Si sopir pun bisa beristirahat, begitu juga dengan para penumpang. Perjalanan siang itu terasa sangat lama, memakan waktu yang lebih panjang dari biasanya. Padahal, normalnya waktu tempuh dari Surabaya menuju Probolinggo hanya memakan waktu sekitar dua jam perjalanan saja.
Setelah beristirahat di tempat makan, suasana antar penumpang di dalam shuttle terasa lebih mencair. Saya malah merasa jika kami sedang melakukan tamasya bersama, bukan sedang menggunakan jasa transportasi umum. Suasana terasa akrab, di mana semua penumpang mulai saling bercanda satu dengan yang lain sambil menceritakan pengalamannya masing-masing. Dan lagi-lagi, kami harus berpacu dengan kemacetan yang terjadi di sepanjang perjalanan Probolinggo menuju Kota Jember. Kali ini kami sudah mulai terbiasa dengan gaya menyetir mas driver yang membawa shuttle kami. Manuver-manuvernya beliau melewati kemacetan panjang memang cukup membuat kami berdebar-debar. Terlebih lagi rute jalan yang sempit dan naik-turun semakin memompa adrenalin kami ketika mas driver memacu kendaraan dengan manuver-manuvernya.
Memasuki Kota Jember lalu lintas jalan sudah mulai cukup lengang. Beberapa kali kami meminta berhenti di pom bensin atau minimarket untuk membeli logistik atau sekedar buang air kecil. Perjalanan menggunakan shuttle kali ini memang benar-benar perjalanan paling santai yang pernah saya lakukan. Barulah ketika memasuki daerah Gunung Gumitir yang berlokasi antara Jember dan Banyuwangi, kondisi jalan kembali padat. Kondisi jalan cukup berkelok, naik-turun dan minim penerangan jalan. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 lebih. Hampir semua penumpang terlihat diam kelelahan menempuh perjalanan. Ada beberapa yang mulai terlelap, termasuk saya.
Mas driver menghentikan laju mobil dan memarkirkannya di dekat rest area di daerah Gunung Gumitir. Beberapa penumpang memilih untuk turun dari shuttle guna meluruskan kaki. Lelah rasanya sudah seharian ini kami terjebak di padatnya jalan. Padahal normalnya, perjalanan darat dari Surabaya menuju Banyuwangi memakan waktu sekitar tujuh jam perjalanan saja. Sedangkan kami sudah hampir lebih dari dua belas jam perjalanan dan belum juga tiba sampai tujuan.
Di sinilah insiden kembali dimulai. Tiba-tiba saja mobil yang sedang berhenti berjalan sendiri karena mobil diparkirkan dalam posisi yang tidak benar. Sepertinya mas sopir lupa untuk menarik tuas rem tangan. Kondisi jalanan yang sedikit menurun membuat mobil meluncur begitu saja. Padahal di bawah sana ada jalanan berkelok yang di sebelahnya jurang, ditambah ada beberapa kendaraan berat yang melaju dari arah bawah menuju ke atas. Sontak seluruh penumpang yang berada di dalam merasa panik dan mencoba untuk melompat keluar. Saya berhasil melompat keluar dengan posisi mendarat yang tidak sempurna. Dengkul saya cidera dan memar. Perih rasanya memang, namun saya bersyukur masih bisa menyelamatkan diri. Naas, ada seorang penumpang yang berhasil melompat namun bagian kakinya terlindas ban mobil. Namun untung saja tidak mengalami cidera yang serius. Sungguh sebuah pengalaman yang mendebarkan dalam perjalanan-perjalanan yang pernah saya lakukan.
Dengan cekatan mas driver dibantu warga sekitar segera mengendalikan mobil yang tiba-tiba meluncur sendiri tersebut. Untungnya mobil bisa dikendalikan dan kami semua selamat, tidak mengalami kejadian yang lebih parah. Perjalanan pun dilanjutkan dengan raut muka yang tegang para penumpang. Sudah lebih dari pukul 12 malam, saya dan kawan saya diturunkan di salah satu hotel di kawasan Genteng untuk beristirahat. Sepertinya mas sopir shuttle ini sangat paham dengan kondisi fisik kami yang sudah mulai kelelahan setelah melakukan perjalanan yang super panjang. Ya, tanpa pikir panjang kami memilih untuk beristirahat di hotel tersebut dan melanjutkan perjalanan pada keesokan hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar