Pembangunan jalur Kereta Api Aceh sampai kini masih tersendat. Satu train dari Madium sudah lama tiba di Kreung Geukuh Lhokseumawe, namun relnya belum juga selesai. Sekedar proyek prestisekah?
Sebuah kota mungil kotor dan tua tampak kokoh di tepi tikungan patah itu. Dari arah turunan Gunong Seulawah jelas terlihat bangunan demi bangunan yang atapnya sudah karatan. Genangan air di badan jalan negara Banda Aceh-Medan kontras silaukan mata. Tapi semakin dekat mata memandang, air itu lenyap entah kemana, ternyata hanya fatamorgana yang dipicu terik mentari hari.
Seorang lelaki renta melambai tanyannya pada setiap minibus (L-300) yang melintasi bengkolan “maut” di jantung Pasar Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie. Sesekali beberapa kerutan dikeningnya terlihat jelas saat sopir L-300 menggeleng-gelengkan lengan sambil belalu di hadapannya.
“Nyoe na dua doe sewa treuk, ka dua jeum hana meteumee moto,” kata pak tua itu sambil menyipitkan matanya menahan terik sengatan mentari dan antisipasi debu dihempas angin ke rumannya. Namun ia tetap tersenyum sesekali tawanya meledak saat saat sopir L-300 tak mampu menampung penumpangnya.
Namun ia tetap sabar menunggu dan menghibur dua orang calon penumpang itu. Mungkin ia tak mau beberapa lembar rupiah yang ada didepannya lenyap karena mereka batal berangkat ke kota tua Banda Aceh. Sungguh sikap tak lazim bagi seorang harlan (agen penumpang) lainnya. Mungkin faktor pengalaman dan pahit getir hidup ini telah menempa Bukhari atau Ayah Bukhari hingga begitu sabar dan tabah.
Ia tampak terdiam sejenak, sepertinya pak tua itu sedang menerawang. “Seandainya waktu bisa bisa berputar kembali ke masa lalu,” celotehnya datar, tapi tetap diiringi senyum, kali ini ia sedikit mengulum haru. “Mangapa bapak bertutur demikian,” kata salah seorang penunggu bus umum, heran. “Saat aku muda dulu, transportasi memang sulit, namun ada kereta api yang bisa mengangkut banyak orang,” ujarnya datar saja.
Menurut Bukhari, dulu di pinggiran pasar Padang Tiji pernah dibangun stasiun singgah kereta api yang hendak ke Banda Aceh atau ke Sumatera Utara. Stasiun tersebut dulu adalah tempat ia mengais rezeki. Ia pun mulai semangat bercerita, kali ini semangatnya berapi-api.
Sebelum tahun 1971 yang menamat riwayat kereta api Aceh, Padang Tiji termasuk kota stasiun termaju di Pidie setelah Meureudu. Berbagai komoditi rakyat diangkut dengan kereta api. Masyarakat yang hendak berpergian ke Banda Aceh atau sebaliknya semua pakai kereta api, mungkin karena belum ada kendaraan jenis lain, kecuali sado (kereta tradisional roda dua yang ditarik lembu atau kuda). Namun bagi Bukhari dan jutaan masyarakat Aceh saat itu sangat menikmatinya. Apalagi dia sendiri “orang stasiun”.
Sementara di Banda Aceh sendiri (Artikel atas nama M. Joenoes Joesoef di www.acehforum.or.id), Dulu ada sebuah pojokan di sisi utara kerkhof, kira-kira di belakang deretan kantor-kantor eks DKA, Djawatan Kereta Api. Tempat itu disebut “Depot Minyak”. Ada rel kereta api yang menghubungkannya dengan stasiun, sehingga gerbong-gerbong BBM dari Brandan dapat dikirimkan di situ, untuk dibongkar (isinya dipindahkan ke tangki-tangki penimbun yang ada di situ). Dari situlah BBM beredar.
Ada lagi sebuah moda transpor yang pernah hadir untuk masyarakat pada waktu itu. Kereta api. Untuk keperluan dalam kota, trayeknya memang terbatas sekali. Cuma antara stasiun Kutaraja dan stasiun Ulheu Lheu. Relnya membentang mulai dari stasiun, melalui Jalan Diponegoro, menyeberangi Jalan Merduati, masuk ke Lampaseh, melewati Deah Alue, Deah Baro, lalu stasiun Ulheu Lheu. Di Pasar Aceh, ada sebuah halte, sehingga penumpang bisa naik dan turun di situ.
Trayek antar kota dari kereta api ini menghubungkan Kutaraja sampai ke Medan. Tetapi kereta api Aceh sendiri harus mengakhiri tugasnya sampai di Besitang saja. Tugas selanjutnya diambil alih kereta api Deli. Masaalahnya, ada perbedaan sarana. Lebar rel saja sudah tidak sama. Lebar rel kereta api Aceh hanya sekitar 75 centi meter. Sementara lebar rel selanjutnya sudah mencapai satu meter lebih. Banyak yang membandingkan, kereta api yang dipakai di Aceh ini, ditempat lain hanya dipakai sebagai sarana perhubungan dalam usaha perkebunan-perkebunan belaka, seperti perkebunan tebu misalnya.
Dalam artikelnya, penulis “Seri Femina: Bumi Yang Membara” yang pernah mencicipi nikmatnya perjalanan naik kereta api, sekitar tahun 1952, ikut dalam rombongan keluarga menuju ke Sigli. Berkunjung ke tempat abangnya, yang menjadi guru Sekolah Teknik di Kampung Keuramat. Perjalanan yang rasanya asyik dan santai. “Jas-jos-jas-jos! Tuit!” tulisnya.
Sejarah kereta api di Aceh sepertinya berakhir dengan berkobarnya “Peristiwa 21 September 1953” atau saat Tgk Daud Beureueh, pada 21 September 1953, memutuskan perang melawan Pemerintah Indonesia. Ia menyatakan bergabung dengan gerakan SM Kartosuwiryo dibawah bendera DI/TII, yang sudah mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat pada 17 Agustus 1949. Dengan demikian, Aktivitasnya jadi tersendat-sendat. Lebih banyak hanya memelihara aset saja.
Trayek Kereta Api
Pada tahun 1930 kereta api yang ada di Aceh beroperasi dengan titik pemberangkatan dari kota Medan dan biasanya dimulai pada pagi hari, kereta akan berjalan ke arah utara melalui tempat pengilangan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) Pangkalan Brandan. Di perbatasan Aceh, yaitu di Besitang, jenis kereta api diganti dari kereta api DSM dengan kereta api Atjeh Tram yang mempunyai jalur lebih sempit dan gerbong lebih kecil.
Perjalanan hingga Langsa melalui daerah-daerah perkebunan karet. Pemandangan kampung-kampung dengan pohon-pohon kelapa dan pisang, rumpun bambu yang rimbun dan persawahan menjadi hiburan tersendiri bagi pengguna kereta api.
Di sepanjang perjalanan banyak dijumpai stasion-stasion kecil. Pada pukul 18.00 sore kereta api sampai di Lhokseumawe, selanjutnya keesokan harinya pada pukul 13.00 siang tiba di stasion Sigli. Di Padang Tiji kereta api berhenti sekitar 10 menit untuk ganti lokomotif yang lebih kuat, sebab jalan mulai menanjak melalui batas air antara Gunung Seulawah Agam dan Gunung Seulawah Inong yaitu melewati krueng Empat Puluh Empat.
Pukul 15.00 kereta api berangkat dari Seulimum melalui Indrapuri menuju Lambaro, di Lambaro kondektur kembali memeriksa karcis penumpang. Pada pukul 18.00 sore kereta api baru tiba di stasion Kutaradja. Jadi perjalanan dengan memakai kereta api untuk lintas Medan – Kutaradja memakan waktu selama dua hari.
Pemberhentian terakhir Atjeh Tram melalui sebuah tanggal kecil yang berujung dekat jembatan kereta api yang terbentang di atas kuala, muara Krueng Aceh. Tempat itu berada dekat hutan bakau. Di tempat itu sekarang sudah berdiri dengan kokoh pertokoan Barata Department Store. Jadi, dengan kehadiran kereta api yang diramalkan akan segera beroperasi di Aceh, diharapakan suasana perjalanan seperti tempoe doeloe yang menyenangkan terhidang di depan mata.
Penolakan dari Aceh
Seiring perjalanan waktu, kereta api beserta rel-relnya yang membentang di belahan bumi timur Aceh lenyap dilumat waktu. Selaku saksi hidup yang pernah merasakan nikmatnya trasportasi Aceh di masa silam, M Joenoes tergugah saat mendengar bahwa kereta api akan dihidupkan kembali sebagai salah satu moda transportasi dari berita yang disajikan Radio Republik Indonesia (RRI).
Pada artikelnya dia juga menulis bawa pernah mendengar beberapa tokoh masyarakat di Lhokseumawe yang menolak ide itu. Menurut tokoh itu, yang diminta rakyat Aceh bukan membuka kembali jalur kereta api, tetapi jalur jalan-jalan baru untuk membuka keterisolasian daerah-daerah di pedalaman Aceh.
Mungkin yang dimaksudkan M. Joenoes, tokoh tersebut yakni mantan Anggota DPRK Lhokseumawe, yakni Tgk H Basyaruddin Daud (F-PPP), H Ismet Nur Aj. Hasan (F-PAN), Muzakkir Ibrahim (PDI-P), Jamal Mildad (Ketua komisi D dari PKS). Mereka sepakat, pembangunan jalur tersebut lebih cenderung kepada menghambur-hamburkan uang rakyat dan “Cet langet”, dan ini juga merupakan proyek politis, dengan ada proyek tersebut nantinya bisa mendapatkan untung yang lebih besar. Seperti yang dilansir wikimu.com.
Mengenai pembangunan jalur rel kereta api di Aceh belum saat saatnya dibangun. “itu hanyalah proyek politik atau proyek “Abunawas”, ujar Muzakkir Ibrahim. Menyangkut istilah Abunawas yang diutarakan Muzakkir mengarah pada indikasi gagal untuk yang kesekian kalinya terhadap beberapa program-program besar di Aceh yang langsung didanai oleh pusat dan pembangunannya saat ini tidak sempurna dan berkesinambungan. (lagee rumoh abu nawah, na pinto, hana pageue).
Barang Pajangan
Sebuah Mini bus melaju kencang di jalan dua jalur yang membelah lading gas di pinggiran Kota Lhokseumawe. Satu meter dari badan jalan terbentang rel kereta api yang sepertinya sudah berkarat. Di beberapa tempat, ada yang sudah ditimbun warga untuk melintas. Sebagian lagi ada yang sudah dicopot dan ditumpuk begitu saja oleh warga setempat. Ternyata, untuk saat ini, rel itu menggagu aktivitas masyarakat atau setidaknya tak elok dipandang mata.
Begitu juga dengan gerbongnya. Setelah lama menanti, lokomotif dan satu train dari Madium pun tiba di Kreung Geukuh Lhokseumawe. Namun sampai saat ini masih jadi barang pajangan unik baik anak-anak yang belum melihatnya secara langsung. Mengapa proses pembagunganan kereta api di Aceh denial lamban? Apa sebenarnya yang terjadi? Benarkah itu hanya sekedar proyek politik seperti yang diutarakan beberapa anggota DPRK Lhokseumawe.
Salah satu kendalanya adalah penkondisian lahan, untuk jalur lama, sedangkan untuk pergeseran jalur tentu butuh biaya besar pembebasan lahan. Menurut Kepala Satuan kerja (Satker) Kereta Api Aceh Muhammad Dahlan, pembangunan kembali jalur dan kereta api Aceh menghadapi banyak kendala, khususnya masalah lahan yang sudah beralih fungsi, baik rumah penduduk maupun jalan.
Ia mengatakan, pihaknya tidak bisa menyalahkan masyarakat, karena jalur kereta api sebelumnya sudah lama tidak berfungsi, sehingga mereka menganggap lahan tersebut tidak digunakan lagi. Ketika jalur kereta api di Aceh dibuka kembali, rakyat terkejut, sehingga membutuhkan waktu agak lama untuk menyakinkan masyarakat. Padahal, Dalam program lanjutan tahun 2009, Departemen Perhubungan menyediakan dana Rp32 miliar yang akan digunakan membangun fasilitas pendukung pada proyek 2007-2008 untuk operasional, seperti kantor dan stasiun.
Bayak kalangan berharap besar Pemerintah Pusat dan Pemeritah Aceh diminta segera merealisasi proyek kereta api tersebut dengan sebijak mungkin. Agar bunga tidur rakyat benar-benar menjadi sebuah kenyataan sejarah Aceh modern dengan jenis transportasi yang kerap dibualkan pemeritah sejak 1998.
Sebenarnya, bila tak dijanjikan pemerintah, meski sejarah perkereta apian aceh sangat romantic, mungkin rakyat Aceh tak pernah bermimpi untuk menghayalkannya lagi (meu lam ulee tan le). Lagi pula sudah banyak jenis trasportasi lain yang lebih sederhana dan simple. Apa dikata, rakyat sudah terlanjur berharap. Mau tidak mau, ya lanjutkan! Meunyoe hana apui, pane na asap!
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga petang. Sebuah mini bus berhasil dihentikan Ayah Bukhari. Dua calon penumpang (Aku dan istriku) yang sedari tadi menunggu pun pindah kursi ke dalam L-300. Sang Harlan pun lenyap saat mini bus mengintari tingan jalan ke arah seulawah.
Semoga kenangan manis menikmati bisa bukhari ulangi dalam waktu dekat sebelum ajal menjemput. Pemerintah harus membuktikan pada publik bahwa pembukaan jalur kereta api Aceh bukan proyek politik atau proyek Abunawah. Semoga Keinginan warga Aceh benar-benar menikmati Kereta Api Aceh (KAA) tahun 2010 sesuai janji Dirjen Perkeretaapian Departemen Perhubungan. Semoga saja!
Sumber : Rahmat RA - Harian Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar