Ratu Nur Ilah merupakan salah satu penguasa perempuan yang terkenal dalam sejarah Kerajaan Pasai. Ia mangkat pada tahun 1380 Masehi. Ia diangkat menjadi ratu setelah Pasai diserang oleh Majapahit.
Mengenai sejarah perempuan perkasa ini sudah banyak ditulis oleh para ahli sejarah, diantara Dr Hoesein Djajaninggrat, yang langsung meneliti pahatan tulisan beraksara Arab di makanya. Kemudian Dr Othman M Yatim pakar arkeologi Islam Malaysi bersama Abdul Halim Nasir.
Menurut mereka, inskripsi yang terdapat pada nisan yang bertulisan Arab menyebutkan angka tahun mangkat sang Ratu yaitu Jumat 14 Zulhijah tahun 791 Hijrah, sedangkan yang tertera pada nisan yang berhuruf Jawa Kuno terpahat tahun 781 Hijrah. Jadi, antara kedua nisan itu terdapat selisih 10 tahun.
Menurut Dr W F Stutterheim, hal itu terjadi karena kesilapan pemahat sehingga, baginya, tahun yang tertera pada nisan yang bertulisan Jawa Kuno, yang bertepatan dengan tahun 1380 Masehi tersebut, merupakan tahun mangkatnya Ratu itu. Tulisan Jawa Kuno yang terpahat pada nisan yang sebuah lagi telah diteliti oleh Stutterheim dan dimuat dalam Acta Orientalia, Leiden, tahun 1936.
Hooykaas menerjemahkan syair di nisan itu sebagai berikut : “Setelah hijrah Nabi, kekasih, yang telah wafat, tujuh ratus delapan puluh satu tahun, bulan Zulhijah , 14, hari Jumat, Ratu iman Werda rahmat Allah bagi Baginda, dari suku Barubasa [di Gujarat], mempunyai hak atas Kedah dan Pasai, menaruk di laut dan darat semesta, ya Allah, ya Tuhan semesta, taruhlah Baginda dalam swarga Tuhan.’’
Prof Dr T Ibrahim Alfian adalam tulisannya dimuat dalam buku Wanita-wanita Perkasa di Nusantara, data lain yang berkaitan dengan sang Ratu, maupun yang berhubungan dengan takluknya Kedah kepada Pasai, sampai sejauh ini belumlah ditemukan, kecuali informasi dari nisan Ratu Nurilah yang tersebut di atas.
Meskipun demikian, pertalian kebudayaan antara Pasai dan Kedah telah terjalin lama seperti yang terlihat, antara lain, dari persamaan istilah untuk menyukat hasil-hasil pertanian, misalnya padi dan beras. “Stutterheim juga menganggap penyebutan dua kerajaan itu sangat menarik karena antara Pasai dan Kedah di waktu kemudian terdapat hubungan dagang, mengingat, di Selat Malaka, letaknya berseberangan. Mungkin hubungan inilah yang masih tersisa dari kesatuan Kerajaan Sriwijaya dan Kadara masa lalu, yaitu Sumatra dan Malaya,” jelasnya.
Namun yang menjadi pertanyaan baginya adalah mengapa di antara nisan Ratu Nur Ilah ini terdapat tulisan Jawa Kuno? Ratu Nurilah, sebagaimana disebutkan di atas, mangkat pada tahun 1380, masa Kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk. “Patut dicatat bahwa Majapahit berada dalam puncak kejayaan pada pertengahan abad XIV berkat pimpinan Mahapatih Gadjah Mada. Dalam kitab Negarakrtagama yang digubah oleh Prapanca pada tahun 1365 disebutkan bahwa Samudra, tepatnya Samudra Pasai, adalah salah satu daerah yang ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit,” ungkapnya dalam tulisan tersebut.
Kemudian ia melanjutkan, sumber lain mengenai adanya serangan Majapahit terhadap Pasai terdapat dalam Kronika Pasai atau Hikayat Raja-raja Pasai. Meskipun tidak menyebutkan angka tahun penyerangan itu, hikayat ini masih memberikan indikasi waktu, yaitu dengan menceritakan nama raja yang berkuasa pada waktu serangan itu terjadi, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Ahmad.
Hikayat Raja-raja Pasai mengisahkan bahwa setelah tiga hari tiga malam berperang, kalahlah Pasai sehingga rakyat lari cerai berai. Laskar Majapahit masuk ke dalam kota Pasai dan menduduki istana Sultan Ahmad. Banyak rampasan dan tawanan yang mereka peroleh. Sultan Ahmad meninggalkan istana, melarikan diri ke suatu tempat kira-kira lima belas hari perjalanan dari negeri Pasai.
Setelah beberapa lama di Pasai, segala menteri punggawa dan rakyat Jawa dikerahkan oleh Senapati mereka naik ke bahteranya masing-masing, kembali ke Jawa, dengan memuat segala harta rampasan yang begitu banyak. Setelah sampai ke Majapahit, menurut Hikayat Raja-raja Pasai, Sang Nata bertitah, ‘’Akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, maka kesukaan hatinya’’. Titah itulah, kata Hikayat Raja-raja Pasai selanjutnya, yang menyebabkan ‘’maka banyak keramat di Tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu’’.
Dalam kaitan ini P De Roo de la Faille, dalam tulisannya ‘’Bij de Terreinschets van de Heilige Begraafplaats Goenoeng Djati’’, 1920, mengemukakan bahwa ditemukannya cungkub Puteri Cermen di desa Leran dengan candrasengkala 1313 atau 1308 Saka bertepatan dengan tahun 1391 atau 1386 Masehi menunjukkan telah adanya makam Islam di Gresik pada waktu itu. Hal itu, sesuai dengan dugaan de Roo de la Faile, bahwa koloni orang-orang Islam Gresik pada masa itu sesungguhnya berasal dari tawanan orang-orang Islam Pasai yang dibawa ke Majapahit.
Masih menurut Ibrahim Alfian, Dalam sebuah naskah Jawa, Tapel Adam, nama Pasai tercantum dalam sejarah pendakwah-pendakwah Islam pertama. Didalamnya diceritakan bahwa Syaikh Jumadilkubra adalah keturunan Zainul Abidin, sedangkan putera Jumadilkubra yang tertua adalah Maulana Ishak. ‘’wontening pase negeri, anyelammaken taiya, manjing Islam Nate Pase’’, dan puteranya yang kedua, Ibrahim Asmara, ‘’lumampah dateng Cempa’’.
Di dalam naskah Tapel Adam juga dikisahkan tentang Batara Majapahit yang memperisterikan puteri Raja Pasai dan saudara puteri itu datang ke Majapahit serta kemudian oleh Batara Majapahit dihadiahkan tanah Ampel-denta sebagai tempat kediamannya. Cerita seumpama ini terdapat pula dalam Hikayat Banjar yang juga akan dikemukakan di bawah ini.
Kemudian lanjut Ibrahim Alfian, pada akhir naskah Hikayat Raja-raja Pasai diceritakan sebagai berikut. ‘’Bahwa ini negeri yang takluk kepada Ratu [Raja] Negeri Majapahit kepada zaman pecahnya [kalahnya] Negeri Pasai, ratunya [rajanya] bernama Ahmad.’’
Cerita itu disertai dengan daftar nama-nama 35 buah negeri yang takluk kepada Majapahit, antara lain, untuk menyebutkan beberapa, Tiuman, Riau, Bangka, Sambas, Jambi, Kutai, Bima, Sumbawa, dan Seram. Hikayat Banjar juga menyebutkan bahwa yang takluk kepada Majapahit adalah Banten, Jambi, Palembang, Makasar, Pahang, Patani, Bali, Pasai, Campa, dan Minangkabau.
Nur Ilah Diangkat Jadi Ratu
Masih menurut Ibrahim Alfian, sebelum bala tentara Majapahit meninggalkan Pasai, kembali ke Jawa, rupanya pembesar-pembesar Majapahit telah mengangkat seorang raja, bangsawan Pasai, yang dapat dipercaya untuk memerintah Kerajaan Pasai. Raja ini tiada lain adalah Ratu Nur Ilah, keturunan Sultan Malikuzzahir, yang nisannya ditatah dengan huruf Jawa Kuno atas arahan yang diberikan oleh pembesar-pembesar Majapahit, tentunya.
Antara Kerajaan Majapahit dan Pasai terdapat hubungan persahabatan dan perdagangan yang sangat erat. Malaka yang mulai berkembang sebagai bandar dagang yang besar sekitar tahun 1400 Masehi mengakui peranan Pasai dan Majapahit dalam bidang perdagangan di Selat Malaka.
Tome Pires, yang menulis catatannya di Malaka dan India antara tahun-tahun 1512-1515 dalam Bahasa Portugis, dengan judul Suma Oriental, mengemukakan sebagai berikut. Malaka mengirim dutanya ke Majapahit untuk merayu Raja Jawa agar pedagang-pedagang Jawa mau melakukan kegiatan perdagangannya di Bandar Malaka. Raja Jawa mengemukakan kepada utusan Malaka itu, bahwa jung-jungnya telah lama sekali berlayar ke Pasai untuk berniaga dan ia mempunyai hubungan persahabatan yang erat dengan Pasai.
Di pelabuhan Pasai pedagang-pedagang Jawa memperoleh kedudukan istimewa dalam bentuk pembebasan dari keharusan membayar cukai impor serta ekspor dan perolehan barang dagangan yang baik dang menguntungkan. Raja Majapahit menambahkan, meskipun Raja Pasai menjadi vasal Majapahit, penentuan kebijaksanaannya dalam bidang perdagangan terserah kepada Raja Pasai sendiri. Ia sendiri tidak hendak menghapuskan kebiasaan yang telah lama ada dan telah disepakati sejak lama antara kedua kerajaan itu.
Setelah dutanya kembali ke Malaka, Raja Malaka mengirimkan pesan kepada Raja Pasai, mengharapkan kebaikannya agar menyetujui dan tidak berkecil hati jika Jawa berhubungan dagang dengan Malaka, serta memohon kebaikan Raja Pasai untuk megirimkan pedagang-pedagangnya beserta barang-barang dagangannya ke Malaka.
Raja Malaka juga menyampaikan bahwa ia telah mendapat jawaban dari Raja Majapahit, bahwa jika Raja Pasai bersetuju, Raja Majapahit akan berbesar hati. Raja Pasai kemudian mengirimkan utusannya ke Malaka untuk menyampaikan pesan bahwa Pasai tidak keberatan memenuhi permintaan Raja Malaka apabila Raja tersebut bersedia memeluk agama Islam. Akhirnya, Raja Malaka beserta segenap rakyatnya beriman akan Allah dan rasul-Nya dan sesudah itu banyak sekali pedagang Islam dari Pasai pindah berdagang ke Malaka, terutama bangsa Arab, Parsi dan Bengal.
Tautan antara Pasai dan Majapahit juga diungkapkan oleh Dr J J Ras dalam desertasinya yang dipertahankan pada tahun 1968 di Rijksuniversiteit Leiden, yaitu Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. Di dalamnya dikisahkan tentang Raja Majapahit yang belum Islam, yang mengirim utusannya untuk meminang putri Pasai. Meskipun raja Pasai itu beragama Islam, ia tidak kuasa menolaknya, takut diserang oleh Majapahit. Ia hendak memelihara rakyat dan negerinya dari kebinasaan. Di Majapahit puteri Pasai itu diberi tempat tinggal yang terpisah, tiada bercampur dengan gundik-gundiknya yang lain, agar tiada memakan makanan yang haram.
Selang beberapa waktu datanglah saudara Puteri Pasai, Raja Bungsu namanya. Setelah beberapa lamanya ia di Majapahit, ia ingin kembali ke Pasai. Puteri Pasai itu tiada sekali-kali ingin saudaranya pulang ke Pasai, karena ia tidak mempunyai sanak saudara di Majapahit. Oleh karena Raja Bungsu berkeras hendak pulang juga ke Pasai maka puteri itu merasa sangat sedih. Karena Raja Majapahit sangat sayang kepada Puteri Pasai itu, dimintanya kepada Raja Bungsu agar tinggal saja di Majapahit, agar Puteri itu tidak sampai jatuh sakit. Raja Majapahit bertitah jika Raja Bungsu bersedia tinggal di Majapahit, ia dapat mendirikan rumah ditempat mana saja yang disukainya.
Akhirnya Raja Bungsu memilih Ampel sebagai tempat kediamannya dan Raja Majapahit berkenan meluluskan permohonan Raja Bungsu itu. Ketika menebas hutan di dukuh Ampel itu, Raja Bungsu menemukan kayu gading yang kemudian dijadikan tongkat. Sejak itu, dukuh itu terkenal dengan nama Ampelgading hingga sekarang ini. Karena desa Ampel hendak memeluk agama Islam, Raja Bungsu mengirim utusannya untuk menyampaikan hasrat tersebut kepada saudaranya, Puteri Pasai, yang kemudian meneruskannya kepada suaminya, Raja Majapahit.
Sabda Raja Majapahit menurut Hikayat Banjar, berbunyi demikian: ‘’Katakan arah Bungsu, barang siapa handak masuk Islam itu terima masukkan Islam itu. Jangankan desa itu, maski orang dalam nageri Majapahit ini, namun ia hendak masuk Islam itu, masukkan’’. Setelah suruhan Bungsu kembali ke Ampel, seluruh penduduk Ampel memeluk agama Islam
Sumber: Iskandar Norman - Harian Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar