Rela Bertahun-tahun Tak Disapa Anak-anaknya
Selama puluhan tahun Otto Syamsuddin Ishak akrab dengan tubuh terluka, diintimidasi, diculik, bahkan hampir mati. Tapi, itu sama sekali tak menggoyahkan tekadnya untuk menjadi seorang investigator untuk kasus-kasus hak asasi manusia (HAM). Apa yang membuat dirinya kuat?
Peristiwa tersebut selalu diingat Otto. Waktu itu sekitar akhir September 1991. Dia sedang berjalan sendiri di tepi hutan Geumpang, Aceh (kini Nanggroe Aceh Darussalam). Tiba-tiba, tiga orang bersenjata tajam muncul dari kanan dan kiri bukit. Tanpa basa-basi, parang-parang itu hampir terayun ke tubuhnya.
Otto mundur setapak sembari mengamati tiga lelaki berwajah garang itu. "Lho, Otto... Kau Otto kan?" tiba-tiba seorang di antara mereka berseru. "Dia ternyata teman saya bermain layang-layang waktu kecil. Kami lantas berpelukan, lalu tertawa bersama," ujar Otto mengisahkan pertemuan mengesankan yang masih segar di memorinya itu.
Kejadian tersebut hanyalah salah satu di antara belasan insiden yang kenyang dinikmati Otto. Putra asli Aceh yang lahir pada 14 Oktober 1959 tersebut selama bertahun-tahun memang aktif keluar-masuk hutan Aceh selama berlakunya daerah operasi militer (DOM) di sana pada era Orba sampai masa damai 2005. "Mereka memang ditugaskan oleh seseorang untuk menghabisi saya. Alhamdulillah masih selamat," katanya.
Jumat pekan lalu (17/6), Otto yang kini mengampu mata kuliah sosiologi di Universitas Syiah Kuala, NAD (Nanggroe Aceh Darussalam), tersebut sedang berada di Jakarta. Pria berkumis melintang dengan sorot mata tajam itu menjadi salah seorang instruktur pelatihan investigasi yang diprakarsai Yayasan Pantau. Jawa Pos menjadi salah satu peserta.
Otto tampil santai dengan celana jins dan baju lengan pendek tanpa dimasukkan ke pinggang. Dengan cekatan dia menulis bagan-bagan grafis di whiteboard soal tip dan trik investigasi. "Menekuni ilmu investigasi itu harus total. Agar lancar, kita harus berkawan dengan semua pihak. Saat itu dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) saya baik, dengan intel tentara juga baik," jelasnya.
Ayah lima anak dari pernikahannya dengan Dyah Rahmani Purnomowati itu terjun ke Aceh dengan LSM yang didirikannya, Cordova, pada 1990. Otto juga ikut mendirikan Imparsial bersama almarhum Munir, pejuang HAM. Karena kedekatannya dengan GAM, termasuk sempat mendirikan Komite Independen Pemilu, dirinya dipetakan sebagai "musuh" oleh TNI. "Saya tahu itu, tapi tetap jalan saja," katanya.
Prinsip Otto sederhana. Ketika melakukan pendampingan atau investigasi, dia berharap akan ada satu nyawa yang bisa diselamatkan. "Kalau saya lima menit berkunjung di satu kampung, lima menit itu pula korban yang saya dampingi merasa nyaman. Itu saja yang bisa saya lakukan," ungkapnya.
Pendidikan Otto awalnya adalah ilmu geografi regional. Dia menimba ilmu di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta pada 1977. Pulang ke Aceh pada 1989, dia menjadi aktivis dan sesekali mengajar di Universitas Syiah Kuala. Baru pada 1995 dia bisa menamatkan S-2 sosiologi, juga di UGM.
Sejak menjadi aktivis di pedalaman hutan-hutan Aceh, Otto tak memberitahukan profesinya itu kepada keluarga. Terutama anak-anaknya. Dia tak ingin aktivitasnya tersebut membahayakan nyawa keluarga. "Kalau ditanya teman sekolah atau teman bermain di rumah soal pekerjaan saya, anak-anak saya tak tahu hendak menjawab apa," kata Otto.
Tentu saja hal itu berdampak terhadap psikologis anak-anak Otto. "Bayangkan, ketika yang lain bisa bangga bilang ayahku dokter, ayahku polisi, atau apa, anak saya bingung saya ini kerja apa sebenarnya," tuturnya.
Salah seorang anaknya sampai ngambek dan enggan berbicara dengan Otto. Hal itu terjadi bertahun-tahun. "Pokoknya, setiap saya hendak berangkat, istri hanya pesan hati-hati Bang tanpa tahu tujuan saya ke mana," ungkapnya.
Keluarga besar Otto juga cemas. Sebab, kakek Otto pernah meninggal dalam perjuangan melawan Belanda. "Apa kau mau bernasib macam kakekmu?" kata Otto menirukan nasihat pamannya.
Tapi, berbekal tekad, langkah Otto tak surut. Caranya bertahan dan masuk ke komunitas-komunitas asli Aceh juga unik. Misalnya, dia tak pernah mau berfoto bersama. Baik dengan TNI maupun dengan warga Aceh. "Coba cari foto saya saat itu, sama sekali tak ada. Orang tahu nama saya, tapi tak tahu yang mana wajahnya," tegasnya.
Dia juga melarang sumber-sumbernya memberi tahu kekuatan militer masing-masing. "Kalau misalnya pasukan GAM memberi tahu jumlah senjatanya, saya langsung pergi. Saya tak ingin itu membahayakan mereka karena siapa jamin saya tak buka rahasia kalau ditangkap," ujarnya.
Saat DOM pada zaman Orde Baru diterapkan, tercatat 8.344 korban sipil tak berdosa berjatuhan di Aceh. "Kami berusaha mendampingi mereka dan mengadvokasi hak-hak sipilnya," ungkapnya.Aktivitas Otto sampai ke dunia internasional saat diundang Sub-Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pada 1999.
Dia juga pernah diculik aktivis GAM. Dirinya dipertemukan dengan panglima GAM saat itu, Teungku Abdullah Syafei atau yang populer disebut Teungku Lah. Pertemuan tersebut berlangsung akrab dan hangat. "Beliau mengundang saya kapan saja main ke kediamannya. Kami bertukar cerita soal HAM dan hak-hak sipil," jelasnya.
Berkat kedekatannya dengan Teungku Lah itu, Bondan Gunawan, menteri sekretaris negara era Presiden Abdurrahman Wahid, meminta bantuan Otto sebagai mediator. Diantar Otto, Bondan bertemu Teungku Lah. Itulah cikal bakal jeda kemanusiaan pertama untuk konflik Aceh.
Setelah Teungku Lah wafat dalam kontak tembak, Otto pernah nyaris ditangkap TNI. Saat itu, secara kebetulan dirinya mendapat kesempatan untuk kursus tentang hak asasi manusia di Amerika Serikat. "Saya jadi saksi mata tragedi WTC karena saya sedang berada dua blok dari gedung itu saat runtuh," ungkapnya.
Pulang ke Indonesia, Otto terus aktif mengadvokasi hak-hak sipil. Dia sangat bahagia ketika suatu hari anaknya menelepon dan meminta maaf sambil menangis. "Tampaknya, dia iseng-iseng ketik nama Otto di Google, lalu pahamlah dia apa profesi bapaknya," tuturnya. Aktivitas terbaru Otto saat ini adalah mendampingi aktivis di Papua. "Sampai sekarang saya masih hilir mudik di Bumi Cenderawasih," katanya.
Dia kerap bertemu aktivis-aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) di gunung-gunung, lengkap dengan persenjataan mereka. "Yang ini belum bisa dhttp://www.blogger.com/img/blank.gificeritakan secara detail dulu," ujarnya.
Secara khusus, Otto mengkritik jurnalis yang enggan melakukan prinsip investigasi. Media, kata dia, lebih cenderung tak mau bersusah payah menembus narasumber untuk menggali informasi secara utuh.
"Misalnya, dalam kasus terorisme, media hanya mengutip polisi. Tidak ada yang mengadvokasi korban. Misalnya, setelah seseorang ditembak Densus, apa yang terjadi di keluarga itu," tegasnya.Hal itu membuat masyarakat jenuh. "Jurnalisme yang hanya bersumber katanya orang dengan sendirinya akan ditinggalkan warga. Masyarakat sekarang sudah cerdas," ujarnya. (c5/kum)
Sumber : RIDLWAN-THOMAS AQUINO, Jakarta - JPNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar