Minggu, 03 Juli 2011

UDIN PELOR - Sang Maestro Penebar Pesona

Dengan berperawakan Ala Coboy, Udin Pelor menyerigai penonton dengan suara-suara desing peluru dan dentuman bom begitulah aksi Udin Pelor setiap kali dia menjadi Master Ceremony (MC) di berbagai acara. Lelaki gaek yang lahir di Matang Geulumpang Dua, 6 Juni 1945 masih saja berpenampilan perlente dengan rambut dikuncir ke belakang dan celana jeans belel, namun inilah Sang Maestro penebar pesona, yang lahir sebagai bagian dari alam Aceh yang di naungi budaya yang serba specifik, dia adalah karakter yang sulit di cari ganti.



Mengenalnya bagaikan mengenal angin yang berlalu, datang dan pergi sesuai suara hati. Pengembara yang satu ini terlihat tak pernah kenal henti untuk berkiprah di dunia kesenian, meski umurnya sudah terbilang tidak muda lagi, udin tetap menjalankan aktifitasnya sebagai insan seni yang konsisten.

Udin pelor tidak pernah merasakan bagaimana nikmatnya hidup di gaji pemerintah, biaya hidupnya hanya tertumpu pada berbagai usaha mandiri yang dilakukannya sejak berusia 16 tahun, dari mulai bisnis durian, buku bacaan pengarang-pengarang zaman Balai Pustaka, hingga berkesenian semua dijajakinya.

Dalam berkesenian Udin Pelor adalah pendobrak komposisi musik Aceh untuk pertama kali, di mengubah tone dan ritmik musik Aceh. Keberaniannya meletakkan pondamen dasar musik berbahasa Aceh yang lain dari yang pernah ada, merupakan sumbangan besar bagi perkembangan musik Aceh pada saat ini.

Coboy Aceh yang satu ini memiliki mental yang terasah oleh pengalaman berpuluh-puluh tahun menjadi tukang obat. Pengembaraannya dari kota ke kota, dari kampung ke kampung sebagai Gypsi Aceh menjadikannya maestro yang belum bisa dicari gantinya, sikapnya yang tenang mencerminkan kedalaman pengetahuan yang tidak bisa dinilai dengan materi. Vigur ini sudah sepantasnya di beri penghargaan setinggi-tingginya atas jasa-jasanya menghidupkan kesenian tradisional baik itu Susastra Aceh maupun Teater Tradisi Aceh, Geulanggang Labu atau dapat juga disebut Teater Arena di zaman sekarang.

Menurut pengakuannya, Nama Udin Pelor diberikan oleh kepala pabean yang bernama Ramli, saat gawat-gawatnya DI/TII. Udin Pelor yang bernama asli Mahyuddin Ismail memiliki perahu bot yang cukup memadai untuk menelusuri kuala langsa. Dalam situasi sedemikian Udin bersikukuh untuk ikut dalam pencarian meski sudah di larang oleh salah satu tentara yang saat itu ikut patroli. “saya katakan pada mereka saat itu kalau takut mati, di tempat tidurpun kita bisa mati, Kalau Allah berkehendak apapun bisa terjadi, termasuk mati di tembak.” ujarnya

“Saat kami di serang, cuma saya yang tidak mati, mungkin orang-orang DI/TII tahu bot saya dan saya ada di dalam bot itu, makanya saya selamat. Lantas saya membawa pulang mereka yang sudah tidak bernyawa lagi menuju pangkalan, nah dari situlah Ramli memberikan julukan saya Udin Tse Pelor, yang artinya Udin sisa pelor, namun belakangan saya di panggil oleh kawan-kawan Udin Pelor, karena mereka tidak dengar perkataan Tse yang di lontarkan pertama kali oleh Ramli.” Kenangnya.

Mulai saat itulah Udin memiliki prinsip seperti pelor, jika ada pekerjaan harus tepat sasaran, dan menghasilkan. Istilah Udin memanfaatkan satu pelor untuk menembak sekaligus dua objek, paling tidak salah satunya pasti kena.

Kariernya dalam kesenian di mulai dari Gelanggang Labu, yaitu sandiwara rakyat yang formatnya sederhana dan sering pentas keliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Semula Udin Pelor berniat untuk menjadi anak buah kapal, namun salah pemilik kelompok Geulanggang Labu memanggilnya untuk ikut bergabung dan menjadi pelatih tari dalam sandiwara. Sejak itu Udin terus ikut kemanapun rombongan sandiwara Geulanggang Labu ini tampil.

Berada dalam kelompok Sandiwara ini, memberikan motifasi baru bagi Udin disaat remajanya, banyak hal yang dilewatinya bersama kelompok ini, baik susah maupun senang. Masyarakat yang menyaksikan setiap pertunjukannya juga sangat antusias, sebab di dalam sandiwara ini banyak disampaikan petuah adat, nasehat orang tua, hukum-hukum Islam hingga berbagai kontek sosial kemasyarakatan yang positif dilahirkan lewat sandiwara Geulanggang labu ini dan Udin menjadi salah satu tokoh yang sangat mentukan berhasil tidaknya pertunjukan Geulanggang Labu pada saat itu

Sandiwara Geulanggang Labu ibarat para pendakwah yang tidak kenal lelah, mereka terus saja menarik simpati masyarakat sebanyak-banyaknya kala itu, tentunya semakin banyak yang menonton makin banyak pula rezeki yang di dapat. Udin Pelor bersaksi untuk itu.

Kehidupan menjadi “Gypsi” bukanlah paksaan yang senantiasa harus berkeluh kesah, persoalan kesenian dan hidup kadang-kadang menjadi satu dan tidak ada ujung pangkalnya. Dari 30 orang anggota kelompok, kadang-kadang hasil yang didapatkan tidak dapat di bagi sama, bahkan ada beberapa anggota yang tidak kebagian jatah uang saat itu, hal ini menurut Udin Pelor sering terjadi dan ini sangat lumrah. Namun saat itu honor bukanlah tujuan, tetapi pertunjukanlah yang paling utama, masyarakat terhibur dan misi tersampaikan.

Dengan kondisi inilah Udin Pelor harus memutar otak dengan keras, sampai suatu ketika datanglah seseorang yang mengajaknya untuk berjualan obat. “Waktu itu saya tidak mengerti bagaimana berjualan obat, kata teman saya, tugas saya cuma mengumpulkan banyak orang sebelum jualan obat dimulai, saya pun faham maksud teman saya itu langsung saja saya mulai beryanyi dan melawak, sesekali saya bercerita mengenai kasiat obat yang akan kami jual pada penonton yang mengerubungi kami, kalau kata-kata sekarang petunjuk penggunaan obat, saudara-saudara, kalau anda terkena penyakit cacing maka pakailah ramuan kami ini, yang paling top dan ampuh membasmi cacing yang bersarang di perut anda, ingat saudara-saudara, cacing yang ada pada tubuh kita dan paling berbahaya bukanlah cacing gelang, tapi cacing yang kecil-kecil, alias cacing keremi, maka untuk membasminya minumlah ramuan ini secara teratur, di jamin sembuh seratus persen, kalau tidak uang kembali,” kenangnya

Menurutnya semua ini terjadi ketika gelanggang labunya tampil di Bireun, tepatnya Krukuh Aceh Utara,

Hiburan penjual obat menjadi trand pada masa itu, dan Udin Pelor adalah ujung tombak yang kerap dipakai sebelum jualan obat berlangsung, hiburan Udin Pelor yang semakin akrab di berbagai tempat membuat obatnya laku terjual padahal obat yang dijual Udin Pelor hanya obat cacing dan obat penyakit batu karang serta ramuan untuk kecantikan.

Jika di telisik lebih jauh, Udin Pelor bukanlah seorang penjual obat jalanan yang tulen, tetapi dia adalah seniman yang ikut dalam proses penjualan obat. Banyak orang salah tanggap dengan keberadaan seniman gaek yang satu ini, Udin memang benar meracik obat cacing, obat batu karang dan ramuan kecantikan, tetapi perfomancenya tidak layak dikatagorikan sebagai penjual obat yang benar-benar serius, seperti teman-temannya karena vorsi yang di tampakan Udin pelor lebih banyak berkesenian dari pada menjual obat yang meski diraciknya sendiri. Hal ini senada dengan pengakuannya, “Sebenarnya orang-orang membeli obat saya bukan gara-gara obat itu manjur, tetapi karena mereka menghargai kesenian yang saya tampilkan,” ungkapnya

Kakek dua cucu ini juga mengakui, selama berjualan obat dia banyak ruginya, karena komposisi berjualan obat dengan hiburan lebih banyak hiburannya, masyarakat kita waktu itu sangat haus akan hiburan, mereka maunya dihibur terus hingga kadang-kadang lupa beli obat, padahal maksud Udin, kesenian adalah alat untuk menggiriring masyarakat yang ada di tempat itu agar membeli obatnya. Melihat kondisi ini teman-teman Udin memberikan nasehat, agar Udin lebih memfokuskan kesenian dari pada berjualan obat, sebab akan terus mengalami kerugian jika udin terus berjualan obat.

Aksi tebar pesona Udin terikut saat dia menjadi MC di berbagai acara. Udin Pelor acap kali mengeluarkan jurus-jurus andalannya sebagai bumbu pengikat agar audiens tidak beranjak dan tidak riuh dalam acara yang sedang berlangsung, dia juga sangat ahli membuat perhatian penonton sebuah acara jadi terfokus, sehingga Acara yang sedang berlangsung sukses tanpa cela.

Udin Pelor yang kini seumur dengan Republik Indonesia; 64 tahun, memiliki keluarga yang sangat sederhana, dia dikarunia satu orang anak dari seorang istri bernama Halimah dan kini sudah memiliki dua orang cucu.

Perjalanan sang maestro ternyata belum semua tercatat, terutama kisah cintanya dengan sang istri yang di boyongnya darai Lueng Putu Pidie 1972, dalam mencari jodoh Udin sangat selektif, dan banyak berguru pada orang tua. Dia juga sempat disarankan agar mencari gadis yang bernama Siti Hawa, “ Coba bayangkan nama Siti hawa itu sangat jarang ada di Aceh, saya sampai bingung mencarinya, namun saya terus mencoba mencarinya. Untuk mendapatkan jodoh saya menjual tanah di paya maneng, uangnya saya sewa satu kelompok drama dari Medan untuk berkeliling bermain sandiwara di Aceh. Di dalam kelompok sandiwara ini ada tiga orang gadis yang lumayan cantik, lantas saya mengetesnya, ternyata ketiganya tidak memenuhi syarat bagi saya, alasannya cuma sepele, dia tidak bisa masak. Akhirnya ini pun gagal. Tapi saat saya berada di Pidie, saya tertarik dengan seorang gadis yang kini menjadi Istri saya. Satu yang cuma saya langgar saat saya memperistrikan Halimah, dinamanya tidak ada kata yang berbunyi wa tapi yang dapat akhiran mah” ujarnya sambil tertawa.

Dari sisi penciptaan lagu, Udin Pelor sempat menelurkan satu buah album Trio bersama Istri dan anaknya, lagu ini berformat musik gaya baru berbau country dan India, kekhasan tone yang di pilih Udin dalam Album ini menjadi penomenal saat itu, namun nama besar Udin Pelor mengalahkan segalanya. Inilah yang dikatakan pembaharu dalam musik Aceh, mulanya selalu di cerca kemudian generasi berikutnya mengambilnya sebagai bahan rujukan terhadap musik yang dimainkan saat ini.

Salah satu syair Udin Pelor yang sempat di berikanya beberapa waktu yang lalu pada Sipil berjudul Taba Peusuna; “Ingat-ingat wahe rakan droe/ Bak tatiek duro bak jalan raya/ Han binasa ta jak binasa ta wo/ Peunyakit tablo utang tapeuna//Tameututo bek leupah-leupah/ Peukara lidah yoe cok binasa/ Seubab lidah juwah ban rimoung/ Keumeunan neukheun le ureung tuha//Taba peusuna keugob tapeugah/ Narit fitnah asai bak gata/Di yaumil masya kateusuet lidah/ Panyang meuleumpah meuribe deupa//Gunteng neuraka meu yue koh lidah/Teumpat keuneubah dalam neuraka.”

“Saat ini di umur saya yang sudah tidak muda lagi ini, karya yang saya buat semakin banyak. Inilah kekayaan saya yang sesungguhnya. Dulunya saya pernah mengecap bagaiman rasanya kaya materi dan tinggal di hotel selama bertahun-tahun, dan saya berhenti menginap di hotel itupun gara-gara hotelnya harus di gusur, kalaulah hotel itu masih ada saya mungkin masih menikmati kemewahan tersebut. Tapi yang lebih penting bagi saya saat ini, adalah semangat untuk terus berkiprah di dunia kesenian dan saya tidak akan hentikan itu hingga saya tidak lagi punya umur, dan kepada istri saya juga saya sudah katakan, cuma syair-syair inilah harta paling berharga saya, biasanya kalau penciptanya sudah tidak ada, syair-syair ini akan di cari orang,” kelakarnya

Seperti yang dikatakan Udin Pelor memang terjadi di Aceh, ketika PMTOH, Toet masih ada, tidak pernah sekalipun ada penghargaan berharga bagi mereka, padahal mereka yang hidupnya hanya berkesenian adalah penjaga budaya dan identitas daerah ini. Terbukti ketika kedua tokoh seni dan budaya ini tiada, ratusan karyanya sama sekali tidak terdokumentasi dengan baik, sementara bangsa asing sudah lebih dahulu memajangnya sebagai aset berharga miliknya.

Udin Pelor juga sangat menyesalkan ketidak pedulian daerah ini kepada kesenian dan pelaku-pelaku seni lainnya, seolah-olah seniman adalah beban yang memberatkan bagi Aceh.

“ Saya tidak memiliki muka untuk mengemis pada mereka yang punya banyak dana, apalagi pemda. Bagi saya adanya kesadaran berbudaya saja sudah cukup bagi kita para seniman. Tidak perlu bantu saya, saya Cuma minta mereka-mereka itu menyadari akan adanya budaya di sekitar dia dan pelakunya adalah seniman, ini kadang-kadang salah cerna, seniman yang punya karya kenapa pejabat yang punya nama. Tidak jauh lah, kita diundang ke luar negeri aja pejabat yang dapat nama sementara seniman hanya pelengkap pelaku saja.” Kelunya.

Sipil juga merncatat, Udin Pelor belum pernah dianggap sebagai bagian dari kesenian Aceh, hal ini terbukti dengan tidak adanya respon pemerintah daerah Aceh terhadap seniman, generasi Udin Pelor sebagai aktor Geulanggang Labu atau Seniman si Tukang obat sudah berakhir, namun namanya sangat populer di berbagai tempat dan masyarakat kita mengklimnya sebagai seniman yang multi telent.

Banyak seniman muda yang saat ini tenar namanya lewat lawakan yang belajar kepadanya, kemampuannya mengartifisialkan pengalaman individunya kepada generasi saat ini sungguh tidak dapat diukur dengan anugerah seni yang hanya berjumlah 10 juta, tetapi dia wajar di beri anugerah yang setimpal dengan hasil kerja kerasnya untuk membangun seni budaya hingga saat ini.

“Di negeri jiran, para penyair itu di biayai hidupnya oleh negara, mereka memiliki gaji tiap bulannya, selain itu negara mereka juga menghormati seniman sebagai satu kelompok tempat berdiskusi persoalan negara, sebab senimanlah yang paling cepat tahu bagaimana kondisi masyarakat beserta pemecahan persoalannya, dapat anda bayangkan betapa berharganya seniman di mata para pejabat negara di Malaysia, sementara di Aceh apa yang kita dapat, paling cuma menambah-nambah jumlah pengangguran, padahal syair dan nasehatnya lewat karya yang di buatnya dapat menterjemahkan daerah ini secara menyeluruh, ini cuma harapan saya bagi setiap yang berkuasa, baik hari ini, esok dan masa mendatang.” Urainya.

Yang Pasti Udin Pelor yang kini bukan bertopi Koboy lagi menginginkan perubahan penanganan seni dan budaya secara baik dan bermutu, kesenian yang mampu melangutkan perasaan sebab menurutnya ada dua bagian dalam hati manusia jika di belah, yang sebelah kanan adalah keimanan dan sebelah kiri adalah kesenian dan budaya, jika keduanya terisi dengan sempurna kita akan tahu siapa diri kita, untuk apa kita dan bagaimana kita akan menyongsong kehidupan yang lebih baik sebagai persiapan mati nanti, tambah Udin Pelor.

Udin Pelor yang masih saja menebar pesona di setiap acara-acara serimonial merupakan pelaku seni yang tidak pernah usai memikirkan seni dan budaya, semangat ini perlu di teladani bagi generasi muda saat ini, karena seni budaya Aceh juga terbentuk dari keseriusan dan pandangan yang jauh ke depan, tidak mengada-ada dan sangat memiliki prosfek cerah di masa yang akan datang. Maestro itu masih tersenyum meski dalam gamang berlangitkan tanda tanya tentang kesenian kita.

Sumber : Rahmad Sanjaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar