
Ghufran menjelaskan Gubernur Aceh itu sangat sedikit berkomunikasi dengan DPRA untuk membicarakan banyak hal terkait pembangunan di Aceh. Jarang sekali dilakukan coffe moorning atau makan malam bersama sambil berdiskusi dengan DPRA. Diakui Ghufran, baru satu kali coffe moorning yang dilakukan Gubernur Aceh dengan DPRA yaitu tahun 2009 lalu atau sejak anggota DPRA periode 2009—2014 ini dilantik.
Kalau komunikasi sering dilakukan maka kisruh dan beda pendapat pada Pemilukada kali ini tidak akan terjadi. Ghufran mengatakan masih punya harapan untuk duduk kembali mencari solusi terbaik antara eksekutif dan legislatif. Ketika ditanya aspek apa yang menyebabkan penundaan Pemilukada di Aceh, Ghufran justru mengatakan akan mencari formula terbaik maka tunda dulu Pemilukada. Intinya harus duduk kembali baik acara formal maupun non formal.
Hubungan yang belum baik antara eksekutif dan legislatif di Aceh ini menjadi alot dipresentasikan oleh nara sumber FGD “Meretas Pilkada Damai Di Aceh” itu. Semua nara sumber menganggap penting dilakukan lagi musyawarah bersama antara Gubernur Aceh dan DPRA membahas Pemilukada Damai di Aceh.
Kapolda Aceh, Irjen Pol. Iskandar Hasan justru meminta pihak ketiga untuk melakukan mediasi musyawarah bersama tersebut. “elit politik, cendikiawan, pengamat termasuk LSM harus banyak melakukan diskusi dan memberi pembelajaran kepada masyarakat,” kata Iskandar Hasan. Bila perlu Majelis Adat Aceh (MAA) bisa menjadi penengah agar kisruh regulasi Pemilukada selama ini bisa selesai.
Sumber : The Globe Journal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar