Rabu, 13 Juli 2011

UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH ( UUPA )

Sebagaimana kita ketahui, pada tanggal 5 Juli 2006, sepuluh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat secara bulat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, yang terdiri atas 40 Bab dan 273 Pasal. Ini momentum agar masyarakat Aceh bisa memulai pembangunan dan melupakan masa lalu. Undang-Undang Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan isi nota kesepahaman Helsinki, yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka demi penyelesaian secara damai konflik panjang di Aceh.

UUPA adalah undang-undang tahun 2006 yang mengatur pemerintahan provinsi Aceh, Indonesia, sebagai pengganti Undang-Undang Otonami Khusus dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang dikenal dengan MoU Helsinki. Penyetujuan pengesahaan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh menjadi undang-undang oleh DPR berlangsung pada 11 Juli 2006, sementara pengesahan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dilakukan pada 1 Agustus 2006.

PERLUNYA Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, kemudian disingkat dengan UUPA adalah kesepakatan yang pertama, tertulis dalam MoU Helsinki. Ketika itu, diamanatkan harus telah dapat selesai pada 31 Maret 2006. Walaupun kenyataannya baru tanggal 12 Juli 2006, Ketua DPRRI baru mengetokkan palu rapat paripurna, yang berarti terlambat sekitar 2 bulan 11 hari. Apalah artinya waktu kurang dari 3 bulan tersebut, dibandingkan dengan lamanya rakyat Aceh menunggu, untuk sampai kepada adanya UU yang merinci tentang berbagai hak Aceh dan rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dalam NKRI, dan hak untuk menerima dan menikmati hasil-hasil dari sumber daya alam yang ada diwilayah dan di perut bumi Aceh, serta untuk dengan bebas pula mengadakan hubungan ke seantero dunia demi kemaslahatan Aceh dan rakyat Aceh. Walaupun lahirnya UUPA ini telah mengundang banyak protes dari kalangan yang mengatas-namakan rakyat, hanya karena kehendaknya tidak semuanya tertampung, namun rakyat Aceh secara keseluruhan dan pada umumnya, merasa lega, walaupun UUPA tidak lah 100% sempurna, sebagaimana layaknya pekerjaan manusia. Tetapi paling tidak, mereka berharap, ini adalah tonggak atau pilar lainnya untuk menuju kepada reintegrasi dan kemudian rekonsiliasi secara tuntas.

Ada banyak komentar tentang hal itu. “Kemajuan” atau tepatnya perubahan yang maha besar telah terjadi menjelang dan dalam pembicaraa awal dalam rangka perundingan di Helsinki, yakni sebagaimana dikatakan oleh Edward Espinall antara lain: GAM mengumumkan pada bulan Februari bahwa nereka akan mengesampingkan tujuannya untuk merdeka, dan menerima penyelesaian atas dasar self government untuk Aceh dalam negara Indonesia, dan sikap itulah menurut Espinall yang memungkian perjanjian dilaksanakan. (An agreement became possible, after GAM announced in February that it was willing to set aside its goal of independent and accept a solution based on self government for Aceh within the Indonesian state). Jika kita napak tilas kepada berbagai pernyataan dan sikap pimpinan GAM sebelumnya, ini adalah perubahan besar, dan oleh karena nya dapat pula dianggap sebagai pengorbanan. Memang tidak semua pengorbanan perlu disesali, ada pengorbanan dalam Islam yang sangat positif, dan mulia dimata Allah SWT. Oleh karenanya maka MoU Helsinki sangat menghargai sikap GAM yang sangat bernuansa kehendak untuk damai tersebut. Karena itu pulalah maka MoU Helsinki, teksnya seperti itu.

Namun banyak pesan-pesan MoU Helsinki yang perlu ditindaklanjuti, salah satunya adalah UUPA. Wajarlah jika pihak GAM, atau simpatisan GAM, berkehendak pula agar seluruhnya isi MoU Helsinki yang telah mereka setujui tersebut, ditransfer masuk kedalam UUPA.

Namun itulah demokrasi, sebagimana yang juga diperjuangkan dengan gigih oleh GAM, tidak ada yang puas 100%, yang berarti tidak ada yang tidak puas 100%. Para pihak dalam UUPA tersebut, bukan hanya pemerintah RI dan GAM, sebagaimana dalam MoU Helsinki, tetapi karena dia telah memasuki domain legislatif, maka di sana multi pihak berhadapan dan berperan. Kita tentunya tidak ada yang melarang untuk menyatakan keinginan kita, tetapi yang lebih strategis adalah, ketepatan memilih waktu dan tempat, tidak mungkin dilakukan oleh semua orang; hanya orang-orang bijak (wise) sajalah yang mampu melakukan itu. Semoga kekurangan UUPA, akan dapat disempurnakan di masa yang akan datang pada waktu dan tempat yang lebih tepat dan lebihfavourable.

Berikut ini, dipaparkan secara umum/menyeluruh struktur dan isi pokok dari UU- PA, yang terdiri dari 40 Bab, dengan 273 pasal, yakni:

1. Ketentuan Umum, terdiri atas 1 pasal (pasal 1) dengan 24 butir.

2. Pembagian Daerah Aceh dan Kawasan Khusus, terdiri atas 4 pasal (pasal 2-pasal 5). Dalam pasal 3, ditegaskan tentang batas-batas daerah Aceh, yakni: sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Provinsi Sumut, sebelah timur dengan Selat Malaka, dan sebelah barat dengan Samudera Indonesia.

3. Kawasan Perkotaan, terdiri atas 1 pasal, yakni pasal 6, dengan 7 butir.

4. Kewenangan Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota, terdiri atas 4 pasal, yakni
pasal 7-pasal 10. Dalam pasal 8 ditegaskan antara lain bahwa:

- Rencana persetujuan internasional yang berkaitan dengan Pemerintahan Aceh yang
dibuat oleh pemerintah pusat,
- Rencana pembentukan UU oleh DPRRI yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh,
- Keduanya dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh.
- Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh pemerintah pusat.
- Dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan gubernur.

5. Urusan Pemerintahan, terdiri atas 19 pasal, yakni pasal 11 s/d pasal 19.
Dalam pasal 16, ditegaskan bahwa: Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan pemerintah Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi: penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknyua di Aceh, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama, penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam, penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan sayri’at Islam, peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh, Penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

6. Asas serta bentuk dan susunan penyelenggara pemerintahan, terdiri atas 2 pasal, yakni pasal 20 dan pasal 21, antara disebutkan bahwa “penyelenggara Pemerintahan Aceh adalah pemerintah dan DPRA”

7. DPRA dan DPRK, terdiri atas 17 pasal, yakni dari pasal 22 s/d pasal 38.

8. pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, terdiri atas 17 pasal, yakni dari pasal 39 s/d pasal 55. Dalam pasal 39, disebutkan dengan tegas, bahwa: “Pemerintah Aceh dipimpin oleh seorang gubernur sebagai kepala pemerintah Aceh, dan dibantu oleh seorang wakil gubernur”.

9. Penyelenggara Pemilihan, terdiri atas 9 pasal, yakni dari pasal 56 s/d pasal 64.

10. Pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota, terdiri dari 10 pasal, yakni dari pasal 65 s/d pasal 74. pasal 67, menyebutkan bahwa “pasang calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota sebagaiman dimaksud dalam pasal 65, ayat (1), diajukan oleh:

- Partai politik atau gabungan partai politik
- Partai politik local atau gabungan partai politik local
- Gabungan partai politik dan partai politik local
- Perseorangan

Dalam pasal lain disebutkan bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/ wakil bupati, walikota/wakil walikota, adalah “tidak sedang berstatus sebagai pejabat gubernur/Bupati/Walikota”.

11. Partai Politik Lokal, terdiri atas 21 pasal, yakni dari pasal 75 s/d pasal 95.

Dari beberapa pasal dan/atau ayat yang dikandungnya, menjadi jelaslah bahwa Partai
Politik Lokal (parpol lokal) adalah sebagai berikut:

- Dapat dibentuk/didirikan, dengan akte Notaris, oleh sekurang-kurangnya 50 orang WNI penduduk Aceh, yang telah berusia 21 tahun, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%.
- Dapat mempunyai nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak sama dengan
nama, lambang dan tanda gambar parpol atau parpol lokal lainnya.
- Asasnya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara RI tahun
1945.
- Parpol lokal berkewajiban antara lain: mengamalkan Pancasila, UUD Negara RI tahun
1945, dan peraturan perundang-undangan lain, mempertahankan keutuhan NKRI.
- Dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD Negara RI tahun 1945, atau peraturan perundang-undangan lain, dan juga dilarang melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI
- Keanggotaannya dapat merangkap salah satu partai politik.
- Untuk dapat ikut dalam pemilu anggota DPRA, parpol lokal harus sudah memiliki pengurus lengkap di 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di Aceh, dan untuk dapat ikut dalam pemilu anggota DPRK, harus memiliki pengurus di 2/3 dari jumlah kecamatan, dalam kabupaten/kota yang bersangkutan, serta mempunyai anggota sebanyak 1/ 1000 (satu per seribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan parpol lokal tersebut.
- Parpol lokal, gabungan parpol lokal atau gabungan parpol dan parpol lokal dapat mendaftarkan pasangan calon gubernur/wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati, atau calon walikota/wakil walikota, apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRA, atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRA di daerah yang bersangkutan

12. Lembaga Wali Nanggrou, terdiri dari 2 pasal, yakni dari pasal 96 dan pasal 97. Pada prinsipnya Wali Nanggrou (WN) adalah kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, dan bukan lembaga politik dan lembaga pemerintahan, serta berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam, maupun luar negeri.

13. Lembaga Adat, terdiri atas 2 pasal, yakni pasal 98 dan pasal 99.

14. Perangkat Daerah Aceh dan kabupaten/kota, terdiri atas 14 pasal, yakni pasal 100 s/d
pasal113.

15. Mukim dan Gampong, terdiri dari 4 pasal, yakni pasal 114 s/d pasal 117
.
16. Kepegawaian, terdiri dari 7 pasal, yakni dari pasal 118 s/d pasal 124
.
17. Syariat Islam dan Pelaksanaannya. Terdiri atas 3 pasal, yaitu pasal 125 s/d pasal 127. Syariat Islam, pada prinsipnya berlaku atau ditaati oleh pemeluk agama Islam di Aceh, namun semua oang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.

18. Mahkamah Syar’iyah, terdiri dari 10 pasal, yaitu pasal 128 s/d pasal 137.

Mahkamah Syar’yah, adalah pelaksana dari peradilan agama Islam di Aceh sebagai subsistem dari peradilan nasional, dan merupakan pengadilan bagi setiap orang Islam yang berada di Aceh. Apabila terjadi perbuatan jinayah oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya bukan beragama Islam, maka pelaku yang bukan Islam tersebut dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum dinayah.

19. Majelis Permusyawaratan Ulama, terdiri dari 3 pasal, yaitu, pasal 138 s/d pasal 140. Tugas majelis ini (MPU) adalah: pertama memberikan fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi, dan yang kedua, memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.

20. Perencanaan Pembangunan dan Tata Ruang, terdiri dari 10 pasal, yaitu: pasal 141 s/d pasal 150. Yang agak menonjol dan patut dicatat dalam hubungan dengan pasal-pasal ini adalah yang berkenaan dengan taman nasional, dan kawasan lindung, serta Ekosistem Leuser, di mana pemerintah pusat menugaskan pemerintah Aceh untuk mengelolanya dalam bentuk: melibndungi, mengamankan, melestarikan dan memulihkan fungsinya, serta memanfaatkannya secara lestari.

21. Komunikasi dan Informatika, terdiri dari 3 pasal, yaitu: pasal 151 s/d pasal 153.

22. Perekonomian, te5rdiri dari 22 pasal, yakni: pasal 154 s/d pasal 173. Hal-hal yang
menonjol dalam rangka ini antara adalah:

- adanya keharusan investor dibidang pertambangan, baik meneral, batubara, panas bumi, kehutanan, dan sebagainya untuk menyediakan dana untuk reklamasi dan rehabilitasi, dan sekaligus kewajiban untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi tersebut.
- adanya keharusan bagi investor pertambangan tersebut, untuk menyediakan dana bagi pembangunan masyarakat paling sedikit sebesar 1% dari harga total produksi yang dijual setiap tahun.
- pemerintah pusat dan pemerintah Aceh akan melakukan pengelolaan bersama
sumberdaya alam minyak dan gas bumi di Aceh, baik dilaut maupun didarat.
- pemerintah Aceh berwenang menerbitkan izin penangkapan ikan dan pengusahaan
sumber daya alam laut disekitar Aceh.
- penegasan kembali tentang tekad untuk membangan kembali Sabang, sebagai pelabuhan bebas dan/atau Kawasan perdagangan bebas, dan akan menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi regional

23. Tenaga kerja, terdiri dari 4 pasal, yakni: pasal 174, s/d pasal 177.

24. Keuangan, terdiri dari 24 pasal, yakni; pasal 178 s/d pasal 201.

Hal-hal yang perlu dicatat dalam rangka keuangan ini, adalah bagian dari Aceh dari
berbagai usaha exploitasi dan explorasi SDA yang ada di Aceh, antara lain:

a) Dana bagi hasil:
- bagian dari peneriomaan PBB: 90%,
- bagian dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB,
sebesar 80%).
- bagian dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh), sebesar 20%

b) Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumberdaya alam lainnya,
yaitu:

- Bagian dari kehutanan sebesar 80%
- Bagian dari perikanan sebesar 80%
- Bagian dari pertambangan umum sebesar 80%
- Bagian dari panas bumi 80%, UU NAD tidak menyebutnya
- Bagian dari minyak bumi sebesar 15%
- Bagian dari gas bumi sebesar 30%

c) Tambahan Penerimaan bagi Aceh sebagai Daerah Otonomi Khusus:

- Dari Pertamabangan Minyak Bumi, sebesar 55 %,
- Dari Pertambangan Gas Bumi, sebesar 40 %

Kesimpulannya adalah, bagian yang diterima Aceh dari berbagai sumber penghasilan tersebut, menurut UUPA ini, adalah sama dengan apa yang telah pernah diatur dalam UU NAD (UU No. 18 tahun 2001).

25. Tentara Nasional Indonesia, terdiri dari 2 pasal, yakni pasal 202 dan pasal 203. TNI mempunyai tugas pokok dan tugas lainnya. Yang terkelompok sebagai “tugas lain”, adalah: penanggulangan bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, serta tugas kemanusiaan yang dilakukan setelah berkonsultasi dengan gubernur.

Juga ditekankan bahwa prajurit TNI yang bertugas di Aceh tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, menghormati budaya, dan adat istiadat Aceh.
26. Kepolisian, terdiri dari 4 pasal, yakni: pasal 204 s/d pasal 207. Di bagian ini disebutkan bahwa pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negar RI, dengan persetujuan gubernur, persis sebagaimana pernah diatur dalam UU NAD.

27. Kejaksaan, terdiri dari 3 pasal, yakni pasal 208 s/d pasal 210. Isinya juga hampir mirip dengan UU NAD

28. Kependudukan, terdiri dari 2 pasal, yakni pasal 211 dan pasal 212. Yang menarik dalam bagian adalah adanya rumusan tentang: “orang Aceh”, yakni setiap individu yang lahir di Aceh atau memiliki garis keturunan Aceh, baik yang berada di Aceh, maupun diluar Aceh dan mengakui dirinya sebagai orang Aceh

29. Pertanahan, terdiri dari 2 pasal, yakni pasal 213 dan pasal 214.

30. Pendidikan, terdiri dari 6 pasal, yaitu: pasal 215 s/d pasal 220. Ada beberapa, pengaturan yang patut dicatat, antara lain: bahwa setiap penduduk Aceh berhak mendapat pendidikan yang bermutu dan Islami sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan di bagian lain ditegaskan bahwa: pendudk Aceh yang beursia 7 tahun sampai 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya.

31. Kebudayaan, terdiri dari 2 pasal, yakni: pasal 221 an pasal 222.

32. Sosial, tediri dari sati pasal, yakni pasal 223.

33. Kesehatan, terdiri dari 3 pasal, yakni pasal 224 s/d pasal 226

34. Hak Asasi Manusia, terdiri dari 5 pasal, yaitu: pasal 227 s/d pasal 231. Sesuatu yang relatif baru, dicantumkan dalam UUPA ini, adalah tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi, yang disebutkan akan dibentuk dengan diundangkannya UUPA ini. Padahal telah diketahui umum bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di tingkat nasional belum kunjung dibentuk sampai hari ini. Pengadilan HAM juga disebutkan akan dibentuk di Aceh.

35. Qanun, Peraturan gubernur dan Peraturan bupati/walikota, terdiri dari 14 pasal, yakni
pasal 232 s/d pasal 245.

36. Bendera, lambang, dan himne, terdiri dari 3 pasal, yaitu: pasal 246 s/d pasal 248. Sebagaimana telah pernah dirumuskan dalam UU NAD, dalam UUPA juga disebutkan bahwa: bendera daerah sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. Sementara itu ditegaskan pula bahwa bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam NKRI.

37. Pembinaan, Pengawasan dan Penyelesaian Perselisihan, http://www.blogger.com/img/blank.gifterdiri dari 2 pasal, yaitu:
pasal 249 dan pasal 250. .

38. Ketentuan Lain-lain, terdiri dari satu pasal dengan 4 butir. Nama Aceh yang telah pernah dikukuhkan dengan UU NAD sebagai “Nanggrou Aceh Darussalam”, maka dengan UUPA ini akan ada kemungkinannya untuk berubah dan akan ditentukan nanti oleh DPRA, setelah pemilu tahun 2009.

39. Ketentuan Peralihan, terdiri dari 17 pasal, yaitu: pasal 252 s/d pasal 268.

40. Ketentuan penutup, terdiri dari 5 pasal, yaitu: pasal 269 s/d pasal 273.

Sumber : Buku : Aceh-Dari-Konflik-Ke-Damai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar