Minggu, 03 Juli 2011

Udin Pelor : Sepotong Hikayat Penjual Obat

Foto-foto lama masih tersimpan di album lusuh. Tergeletak begitu saja di atas meja kerjanya, berbaur dengan buku-buku dan kertas-kertas. Selalu dibawa kemana-mana, puluhan potret dirinya dulu terekam di sana, saat Mahyuddin masih muda dan melakoni penjual obat keliling.



Meja kerjanya hanya seperti meja siswa di sekolah, mengisi sudut ruangan sebuah rumah yang dikontraknya di kawasan Peuniti, Banda Aceh. Di situ dia tinggal sendiri, tidur beralaskan kasur kapuk yang ditaruh begitu saja di lantai. Baju-baju bergantung tak teratur, tripleks sekat kamar dipenuhi poster-poster pameran budaya, juga foto bersama istri lagi-lagi fotonya di masa muda. “Istri saya tinggal di kampung, di Bireuen,” sebutnya.



Mahyuddin mengaku kerap pulang kampung, saat ini aktivitasnya di Banda Aceh adalah untuk budaya, bersama seniman yang lain dia tergabung dalam pengurus Dewan Kesenian Aceh (DKA) yang bermarkas di Taman Budaya, Banda Aceh.



Nama Mahyuddin mungkin tak banyak dikenal orang. Tapi kalau menyebut nama gelarnya, ‘Udin Pelor’ semua di Aceh pernah tahu. Orang akan langsung terbayang kepada rambutnya yang panjang, tubuh tinggi kurus dan vokalnya yang khas. Sanggup berbicara berjam-jam dan muncul dimana saja dia suka untuk menjajakan obat. Tentunya, saat dia masih muda.



Kini, tubuh lelaki kelahiran 6 Juni 1945 itu makin ringkih. Kulitnya tak seketat dulu lagi, sepertinya lemak tak ada lagi yang menyembunyikan tulangnya. Tapi, tenaganya masih kuat, semangatnya tinggi, bicaranya keras, kerap dengan canda-canda. Udin tak pernah memilih lawan bicaranya, semuanya dilayani dengan akrab.



Kehidupan Udin Pelor tak bisa dipisahkan dengan aktivitas penjual obat keliling, kendati sudah berbilang belasan tahun tak dilakoninya lagi. “Saya berhenti pada tahun 1990, memilih menjadi seniman murni,” sebutnya tersenyum memperlihatkan gusinya yang tak bergigi.



Kenangannya memutar jauh ke tahun 1970. saat Udin Pelor muda mulai berprofesi sebagai penjual obat, berkeliling dari satu daerah ke daerah yang lain. Obat yang biasa dijualnya empat macam, bedak kecantikan, obat batu ginjal, obat cacing dan obat saraf.



Metodenya menjual obat terbilang baru kala itu. Menggunakan hikayat-hikayat lama sambil melucu dengan memasukkan idiom-idiom baru, untuk menarik pengujung memenuhi lapaknya. Obatnya laku berlimpah, kendati si pembali sadar hanya membeli obat untuk menghargai lelucon-leluconnya. “Saya tahu, orang kadang membeli hanya karena omongan saya, bukan karena obatnya,” sebut Udin.



Jarang Udin Pelor memasukkan unsur sulap dalam aksinya. Hanya melakonkan cerita-cerita seru yang beredar menghampiri zaman. Kadang dia berperan sebagai koboy dengan menirukan suara kuda dan senapan, kadang suara kakek tua yang menasehati cucunya. Seringkali juga hikayat kancil dan hikayat manusia bodoh, yang dimodifikasi dari manuskrip lama.



Hampir seluruh pelosok Aceh pernah disinggahi, bahkan sampai sebagian Sumatera Utara. Nama Udin Pelor kian berkibar sebagai penjual obat. Terbukti dengan caranya menghibur, usahanya laku keras dimanapun.



Seiring namanya berkibar, pekerjaan baru pun kerap menghampiri. Tak jarang, dia mendapat undangan sebagai pembawa acara pada sebuah sandiwara atau teater budaya di kota-kota. Perlahan-lahan berjualan obat kian ditinggalkan.



Suatu hari, Ahmad CB, seniman teater di Aceh menasehatinya. “Kau ini seniman atau penjual obat,” sebut Udin mengenang nasehat itu.



Asal bunyi, Udin menjawab, “seniman penjual obat”. Nasehat pun meluncur dari Ahmad yang disegani Udin, memintanya harus melakoni salah satu profesi. Sejak saat itu, penghujung tahun 1990, Udin Pelor resmi meninggalkan aktivitas jual obat.



Kehidupannya kemudian menjelma sebagai seniman murni, mengarang cerita teater, bermain teater, menulis lagu, sampai bernyanyi mengeluarkan album. Tapi, hanya satu album yang baru berhasil ditetaskan, sepanjang hidupnya.



Udin Pelor juga pernah menjadi pemain film Tjut Nyak Dhien karya Eros Djarot pada tahun 1994. Perannya adalah pengkhianat terhadap Tjut Nyak Dhien yang diperankan dengan baik oleh Cristine Hakim. “Saya sampai dibenci orang karena peran itu,” Udin tertawa.



***

Udin Pelor adalah karib (alm) Adnan PMTOH. Pengakuan Udin, mereka pernah sama-sama menjalankan aktivistas berjualan obat dulunya. Pola yang diperagakan juga sama, mensyairkan hikayat-hikayat lama dengan memainkan alat-alat apapun, dari kaleng, tong, sapu, topi sampai kursi.



Perbedaannya, Adnan selalu menjajakan minyak cengkeh. Udin menjual obat cacing dan obat batu ginjal. “Kadang, jika kami bertemu di suatu daerah selalu menjual bersama,” sebutnya.



Kalau mereka sudah bertemu dan bersekutu, orang akan lupa beranjak dari lapak mereka. Tanpa sulap, mereka penghibur yang ulung, penguasa hikayat-hikayat lama, memadu kata untuk menjadi syair yang santun.



Sering juga mereka bertemu di sebuah teater. Kisah Malem Diwa pernah diangkat cerita oleh mereka berdua dan mementaskannya. Saat Adnan melakoni pemain tunggal PMTOH –penutur hikayat- secara utuh, Udin juga kerap mendampingi sebagai pembawa acara.



Tahun berbilang tahun, Adnan dan Udin terus beranjak tua. Hanya saja itu tak pernah disadari mereka saat bertemu. “Kalau kami jumpa, kami adalah anak muda, bukan orang tua. Kami selalu bersemangat,” sebut Udin Pelor.



Pertemuan terakhir dengan Adnan masih diingatnya sampai kini. Saat itu, Udin Pelor keliling Aceh mendampingi Rafli, penyanyi Aceh, sebagai pembawa acara dalam konser Aceh Damai ke-2. Pada 18 Maret 2006, mereka mendapat jatah menghibur warga Blang Pidie, Aceh Barat Daya, tempat Adnan tinggal bersama istri keduannya.



Sore hari, Udin Pelor bersama Muda Belia, seniman PMTOH Aceh yang lain, mengunjungi rumah sang teman. Adnan sudah banyak menghabiskan waktunya di tempat tidur. “Dia sudah sakit-sakitan, dan hanya berbaring,” kisah Udin.



Begitu tahu tamu yang datang adalah Udin, jiwa Adnan langsung melecut seperti muda kembali. Adnan memaksa tubuh lemahnya untuk bangkit menyapa tamu. Tertatih-tatih, lalu tawa dan tawa hiasi rumah itu, lelucon mengalir segar seperti dulunya. “Saya sudah tahu, kalau saya sudah tua,” Udin menirukan pengakuan Adnan saat itu.



Beberapa bulan kemudian, Adnan meninggal dunia. Udin Pelor sedih, lebih menyedihkan lagi jika memikirkan siapa yang akan menggantikan Adnan dalam memelihara tradisi tutur PMTOH di Aceh. Dia khawatir suatu saat hikayat-hikayat Aceh tak ada lagi yang membacanya.



Dalam pantauan Udin, ada beberapa calon pengganti beliau yang sudah teruji dan sempat berguru kepada Adnan; Agus Nuramal dan Muda Belia. “Kalau banyak yang peduli, pasti banyak orang yang bisa menggantikan Adnan. Dia Aceh Selatan masih banyak yang mewariskan keahlian bertutur, budaya itu masih kuat di sana,” jelasnya.



Saat ini, Udin Pelor yang aktif di DKA mengakui sedang berusaha sekuat tenaga mengembalikan kejayaan budaya Aceh, khususnya hikayat-hikayat lama. Caranya, terus mengumpulkan syair-syair dari manuskrip lama. Selain itu, juga menciptakan syair-syair baru, yang mewakili kisah-kisah lama.



***

Kini, Aceh kian sepi dari penjual obat seperti Udin Pelor. Tempo mengamatinya selama sepekan di Banda Aceh, tak ada lagi hikayat yang dilantunkan dengan syair indah, atau seniman penjual obat. “Tak ada lagi yang seperti Udin Pelor dulu,” sebut Effendi, warga Banda Aceh.



Dia menyebutkan, penjual obat saat ini hanya melakukan metode sulap murahan. Bukan menghibur pembeli dengan syair-syair Aceh dan lelucon. Ya... hanya sulap murahan dengan memakai tong besar dan mengikat anak-anak, yang katanya akan menjadi harimau atau binatang lainnya.http://www.blogger.com/img/blank.gif



Udin Pelor bukan tidak tahu. “Ingin rasanya saya turun gunung, menyamar kembali sebagai penjual obat,” sebutnya, sambil membuka kembali album-album di masa jayanya sebagai penjual obat keliling. Saat menggelitik pembeli dengan syair-syair yang hampir punah.



Bersama zaman, seni tutur hikayat Aceh kian jarang dijumpai bersama penjual obat. Yang ada hanya sulap murahan. ***

Sumber : Adi Warsidi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar