Minggu, 10 Juli 2011

Tarmizi Abdul Hamid Selamatkan Secarik Kebesaran Aceh

Nama : Tarmizi Abdul Hamid,
Lahir: Pidie, 31 Desember 1964
Pekerjaan: PNS di Balai Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Banda Aceh Pendidikan terakhir: Fakultas Pertanian Universitas Abul Yatama, Banda Aceh (1997) • Istri: Nurul Husna (39)
Anak: 1. Salsabila Humaira (12) 2. M Rafi Halis (5)



Kekaguman memang layak ditujukan teruntuk Tarmizi Abdul Hamid. Beliau merupakan warga Lampineung, Banda Aceh, Provinsi Aceh, yang sejak 16 tahun silam giat mengumpulkan lembar demi lembar manuskrip kuno yang masih tersisa. Menyelamatkan secarik kebesaran masa lalu Aceh adalah tujuannya. Apa yang sudah dilakukan oleh beliau seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah Aceh atau mungkin pemerintah pusat.

Sangat ironis memang, pemerintah yang sudah diberikan anggaran untuk mengelola dan mengamankan naskah-naskah kuno justru kurang peduli terkait masalah yang sangat penting ini.

Tahun 1995, Tarmizi mendapat tugas dinas ke Brunei. Di Brunei, dia berkesempatan mengunjungi perpustakaan nasional. Di situ dia mendapati ribuan manuskrip kuno Aceh bernilai sejarah tinggi terpajang. ”Saya sangat prihatin. Naskah-naskah kuno itu tak pernah saya lihat di Aceh. Di Aceh juga tak ada perpustakaan yang mempunyai koleksi sejarah Aceh selengkap itu,” tuturnya sebagaimana dikutip DuniaPerpustakaaN.Com dari kompas.com (19/6/2011).

Abad ke-17 hingga ke-19 adalah masa kegemilangan tradisi literasi di Aceh. Puluhan ribu manuskrip berupa mushaf kitab suci, tasawuf, tauhid, fikih, astronomi, sejarah, seni, sastra, hingga ilmu pengobatan ditulis oleh intelektual dan ulama besar masa itu. Sayangnya, keberadaan warisan luhur masa lalu itu kini terancam punah. Sebagian musnah oleh waktu, ribuan terpampang di negeri seberang, sisanya tercecer tidak dipedulikan.

Adalah Tarmizi Abdul Hamid, warga Lampineung, Banda Aceh, Provinsi Aceh, yang sejak 16 tahun silam giat mengumpulkan lembar demi lembar manuskrip kuno yang masih tersisa. Menyelamatkan secarik kebesaran masa lalu Aceh adalah tujuannya.

Dia bukanlah akademisi, sejarawan, ataupun kolektor benda antik bermodal besar. Keseharian Tarmizi hanyalah seorang pegawai negeri level menengah di Badan Pengembangan Teknologi Pertanian Banda Aceh.

Tidak kurang dari 500 manuskrip kuno Aceh kini tersimpan di sudut rumahnya. Ada mushaf Alquran kuno, buku tasawuf, tauhid, hukum Islam, falak, hingga ilmu pengobatan. Lembaran-lembaran naskah kuno tersebut sudah berwarna kecoklatan. Sebagian tidak utuh lagi karena rusak atau hilang. Beberapa lembar tampak berlubang dimakan rayap dan ngengat.

Manuskrip tersebut umumnya dibuat pada abad ke-16 hingga abad ke-19. Dengan demikian, usia buku-buku koleksi Tarmizi rata-rata sudah 3-5 lima abad.

Sore itu, Tarmizi dengan bangga menunjukkan kitab Luffat al Tullab, salah satu koleksinya. Kitab ini karangan Syeikh Zakaria Ansari yang ditulis tangan pada abad ke-16. Bagian luarnya sobek, bekas gigitan rayap menghias pinggir buku. Manuskrip ini bertutur bermacam topik, mulai dari hukum Islam, cara berjihad, seni dan sastra, sejarah, hingga pengobatan.

Dari tuturan mengenai pengobatan di kitab itu, Tarmizi beberapa kali mencoba mempraktikkannya dengan meramu obat. Ramuan itu sangat jelas disebutkan di buku tersebut. Hasilnya tak mengecewakan. Penyakit batuk dapat disembuhkan dengan ramuan tradisional itu.

Kitab Luffat al Thulab dibuat pada masa akhir Kerajaan Samudera Pasai. Saat itu kertas adalah barang yang sangat langka di Aceh. Media tulisan sebagian besar berupa kulit kayu. Kertas didatangkan dari Eropa dan China oleh kerajaan. Itu pun sangat jarang karena membutuhkan waktu pesan 10-20 tahun.

Koleksi Tarmizi yang terbanyak berasal dari masa abad ke-17 hingga ke-19. Menurut Annabell Gallop, peneliti sejarah Asia Tenggara dari British Library, London, yang sore itu ikut berkunjung ke rumah Tarmizi, banyaknya temuan manuskrip dari abad ke-17 hingga ke-19 karena pada masa itu tradisi tulis-menulis memuncak di Aceh. Hal ini tak lepas dari kehadiran para penjajah dari Eropa yang memungkinkan kertas dapat didatangkan ke Aceh.

Kitab-kitab tersebut ditulis dalam aksara Arab-Jawi. Sebagian besar dituturkan dengan bahasa Melayu. Bahasa ini digunakan karena menjadi bahasa serantau atau lingua franca masa itu.

Di Perpustakaan Nasional Inggris di London tersimpan sekitar 10 manuskrip kuno asal Aceh. Dibandingkan dengan manuskrip kuno dari Jawa dan Malaysia, manuskrip kuno Aceh memang tidak banyak yang dikoleksi di Inggris. Hal tersebut karena Inggris tidak pernah masuk ke Aceh, kecuali saat Thomas S Raffles pesiar ke daerah ini pada pertengahan 1800-an.

Manuskrip kuno Aceh mempunyai keunikan dan bercitarasa seni tinggi. Setidaknya ini terlihat dari ornamen pada setiap bagian penanda halaman kitab koleksi Tarmizi. ”Walau, memang tak sebagus ornamen manuskrip dari Pattani dan Trengganu,” kata Gallop yang mengaku heran dengan minimnya kepedulian pemerintah terhadap koleksi Tarmizi.

Keprihatinan

Tahun 1995, Tarmizi mendapat tugas dinas ke Brunei. Di Brunei, dia berkesempatan mengunjungi perpustakaan nasional. Di situ dia mendapati ribuan manuskrip kuno Aceh bernilai sejarah tinggi terpajang. ”Saya sangat prihatin. Naskah-naskah kuno itu tak pernah saya lihat di Aceh. Di Aceh juga tak ada perpustakaan yang mempunyai koleksi sejarah Aceh selengkap itu,” tuturnya.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Tarmizi bertekad mencari dan mengumpulkan manuskrip kuno Aceh. Itu tidak mudah. Manuskrip tersebar di seluruh wilayah Aceh, bahkan di provinsi-provinsi sekitarnya. Banyak orang yang masih menyimpan manuskrip tersebut, tetapi tidak menyadari betapa pentingnya itu sehingga tak dipelihara dengan baik.

Tidak hanya di Aceh, Tarmizi bahkan berburu manuskrip kuno Aceh hingga ke pelosok-pelosok Sumatera Utara dan Riau. Kadang dia menukar kitab kuno itu dengan Alquran baru, beras, atau padi.

”Kalau semuanya diganti dengan uang, saya jelas tidak mampu. Apalagi, tak ada standar harga pasti atas kitab-kitab itu,” ujarnya.

Ratusan juta rupiah sudah dia keluarkan untuk mendapatkan manuskrip-manuskrip tersebut. Enam petak sawah warisan orangtuanya di Kabupaten Pidie sudah habis demi upaya tersebut.

Karena ketiadaan biaya, Tarmizi pun hanya bisa merawat koleksinya dengan cara tradisional. Kitab-kitab berusia ratusan tahun itu dibungkus kain putih, diberi kapur barus, lada hitam, lada putih, dan cengkih. ”Yang penting tak dimakan rayap,” katanya.

Tak sekalipun dia mendapat bantuan dari pemerintah untuk pemeliharaan. Bantuan restorasi manuskrip kuno justru pernah datang dari Pemerintah Jepang usai tsunami 2004 lalu. Dari sekitar 500 koleksi Tarmizi, sebanyak 56 naskah kuno berhasil direstorasi. Sayangnya, Tarmizi kesulitan merestorasi naskah-naskah lain karena ketiadaan biaya.

Tarmizi tidak menyerah. Dia pun mendigitalisasi naskah-naskahnya ke komputer. Sebanyak 23 naskah kuno berhasil didigitalisasi. Namun, biaya lagi-lagi menjadi kendala. Dia juga kesulitan mendapatkan orang yang mampu membaca teks kuno.

Dia kemudian mengajak kawannya yang peduli pada naskah kuno untuk mengalihaksarakan naskah koleksinya dari Arab-Jawi ke latin. Tak sia-sia, dua kitab rampung, yaitu Nazam Aceh (Syair Perempuan Tasawuf Aceh) karangan Pocut di Beutong dan Hujjah Baliqha Ala Jama Mukhashamah karya Jalaluddin bin Syekh Jamaluddin Ibnu Al Qadhi.

Saat ini, Tarmizi dan kawannya sedang menyelesaikan alih aksara kitab lainnya.

Ia tak pernah menjual atau mengomersialkan koleksinya. Jerih payah dan uang ratusan juta rupiah yang digunakan untuk mendapatkan dan memelihara manuskrip-manuskrip kuno itu didedikasikannya untuk pengetahuan generasi masa kini dan mendatang.

”Saya sangat senang dan bangga jika ada orang yang mau belajar dan meneliti manuskrip-manuskrip kuno ini,” katanya.

Sumber :Dunia Perpustakaan 19 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar