Lima tahun setelah masyakarat Aceh memilih mantan pemberontak sebagai gubernur dan bupati dalam pemilukada pertama setelah konflik berakhir, pemilukada berikutnya sudah menjadi persaingan antara dua kubu GAM.
Dalam laporan terbaru, Indonesia: GAM vs GAM dalam Pemilukada Aceh, International Crisis Group melihat bagaimana proses menuju pemilukada yang dijadwalkan untuk tanggal 14 November 2011 sedang mempertajam persaingan lama antara Gubernur Irwandi Yusuf dan kubu mantan “Perdana Menteri” GAM, Malik Mahmud, yang mengendalikan Partai Aceh. Irwandi ingin maju sebagai calon independen sedangkan Partai Aceh sudah mencalonkan mantan “menteri luar negeri” GAM, Zaini Abdullah, sebagai calon gubernur dengan mantan panglima GAM, Muzakkir Manaf, sebagai wakilnya.
“Persaingan di tubuh GAM cukup baik untuk demokrasi di Aceh, apalagi dengan Partai Aceh menunjukkan kecendurungan ke arah otoriter,” kata Sidney Jones, penasihat senior Crisis Group. “Yang penting, persaingan tersebut tidak menuju ke kekerasan.” Pertaruhan sampai sekarang terfokus kepada apakah calon indepen boleh maju apa tidak. Kalau bisa, Irwandi ada peluang menang. Kalau tidak, calon Partai Aceh kemungkinan besar unggul.
Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) 2006, yang telah memberikan sebuah basis hukum bagi perjanjian damai Helsinki, mengatur bahwa calon independen bisa maju dalam Pemilu Kepala Daerah Aceh yang pertama pasca konflik, tapi setelah itu para kandidat seharusnya berasal dari partai-partai lokal atau partai nasional. Pada Desember 2010, Mahkamah Konstitusi menggugurkan ketentuan ini.
Partai Aceh berargumen ketentuan MK tersebut telah melanggar otonomi Aceh, dan merusak prinsip pemerintahan sendiri seperti yang ditetapkan perjanjian Helsinki. Dengan demikian, isu ini dijadikan wewenang pusat versus propinsi. Tapi dengan kendali mereka atas DPR Aceh, Partai Aceh punya kartu lain untuk dimainkan. Pemilukada mengharuskan DPR setempat untuk mengeluarkan qanun (perda) untuk menyusun prosedur pemilu. Awalnya Partai Aceh mengatakan berencana menetapkan sebuah qanun yang melarang calon independen, meskipun putusan MK menetapkan sebaliknya. Tapi mungkin karena tahu bahwa peraturan semacam itu akan dicabut Mendagri, mereka memilih untuk menunda-nunda; anggota DPR Partai Aceh selalu punya kegiatan yang kelihatannya lebih penting daripada menyelesaikan penyusunan qanun pemilu.
Ada yg menduga Partai Aceh punya strategi menunda penetapan qanun hingga masa jabatan gubernur saat ini berakhir. Apabila ini terjadi, Jakarta kemudian harus menunjuk seorang caretaker sampai pemilu bisa dilaksanakan, dan karena incumben tidak boleh ditunjuk, hal ini akan menghalangi Irwandi memanfaatkan jabatannya untuk kampanye. Namun pemerintah pusat telah mengatakan apabila qanun yang baru tidak segera dihasilkan, proses pemilu akan terus diselenggarakan dibawah qanun yang digunakan pada 2006. Hasilnya akan tergantung antara lain pada dukungan dari anggota Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi yg terdiri dari mantan panglima dan pejuang GAM. Ada yg setia kepada Irwandi, ada juga yg merasa harus ikut perintah dari atasan mereka, yaitu Malik Mahmud.
“Tantangan untuk GAM ke depan adalah bagaimana persaingan ini bisa diarahkan untuk memperbaiki kebijakan pemerintah dan pelayanan sosial, tanpa melupakan bagaimana menghidupkan kepakatan Helsinki,” kata Jim Della-Giacoma, direktur ICG untuk Asia Tenggara.
Sumber : Jakarta/Brussels, 15 June 2011 -International Crisis Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar